Ada 3 pertanyaan berkaitan dengan politik yang sering saya dapatkan ketika berkeliling dari kampus ke kampus di seluruh Indonesia
1. Mengapa tertarik dengan politik?
2. Apakah akan terjun ke dunia politik?
3. Apakah ada harapan di dunia politik?
Semua pertanyaan tersebut, selalu saya jawab dengan jawaban jawaban yang sama.
Saya tertarik kepada politik, karena saya tidak punya pilihan lain. Pada suatu hari, saya sadar bahwa selama kita hidup di Negara dengan satu system pemerintahan, maka kita pasti berpolitik. Mau tidak mau, disadari ataupun tidak. Setiap keputusan politik, berhubungan langsung dengan kehidupan kita semua.
Kita bisa saja tidak peduli dengan politik, tapi dengan itu, kita tidak akan sadar ketika kita dicurangi. Hasil kecurangannya, berdampak kepada diri kita sendiri. Dampak tersebut membuat kita kecewa, kekecewaan tersebut akan tampak ironis, karena diawali dari ketidak pedulian tadi.
Semakin kita buta politik, semakin mereka manfaatkan kebutaan kita.
Inilah yang terjadi pada era kepemimpinan Orde Baru dibawah 32 tahun rezim Soeharto. Orba secara sadar memisahkan rakyat dengan politik. Dibuat jauh. Dibuat bosan. Dibuat tidak peduli. Tiba tiba, seperti yang dilaporakan majalah TIME dan Transparency International, selama 32 tahun Soeharto menjabat sebagai Presiden, hilanglah Rp 350 Triliun dana APBN. Selama 32 tahun tersebut Soeharto yang dijuluki Bapak Pembangunan hanya membangun Pulau Jawa sehingga banyak daerah lain di Indonesia tertinggal bahkan terlupakan.
Ketidak pedulian kita, membawa korban. Korbannya adalah diri kita sendiri. Rakyat Indonesia.
Belakangan saya semakin tertarik dengan politik, karena politik Indonesia seperti sebuah kisah misteri tanpa ujung yang penuh intrik dan polemik. Seru menggali rahasia rahasianya, pusing memikirkan jalan keluarnya.
Lalu apakah saya akan terjun ke dunia politik? Jawabannya, tidak. Karena pokok permasalahan dalam dunia politik, terutama di DPR dan DPRD adalah minimnya wakil rakyat yang benar benar passionate terhadap Indonesia dan memiliki kompetensi. Kalau punya passion terhadap Indonesia tapi tidak punya kompetensi, maka tidak akan bisa berbuat apa apa. Kalau punya kompetensi tapi tidak memiliki kecintaan terhadap Indonesia sebagai jangkar, maka uang akan membuatnya terombang ambing menjauh dari aspirasi warganya.
Saya punya kecintaan yang besar kepada Indonesia, tapi saya harus akui, saya tidak punya kompetensi untuk misalnya masuk DPR ke dalam komisi apapun. Latar belakang pendidikan saya adalah Desain Produk. Andai ada komisi desain di DPR mungkin saya akan masuk, tapi sebelum itu ada maka tidak ada komisi dalam DPR yang bisa memanfaatkan kompetensi saya. Justru anda pembaca, apabila merasa memiliki minat terhadap politik, memiliki kecintaan terhadap Indonesia dan punya kompetensi yang tepat, saya menyarankan anda untuk terjun ke dunia politik. Apabila anda mahasiswa/i atau lulusan hukum, menyukai politik, mencintai Indonesia, harusnya anda yang masuk komisi III DPR RI. Kalau anda mahasiswa/i atau lulusan fakultas kedokteran, suka politik dan cinta Indonesia, sebaiknya anda masuk ke komisi IX DPR RI. Kalau anda mahasiswa/I atau lulusan Hubungan Internasional, mungkin anda cocok masuk ke komisi I DPR RI.
Selama orang orang terbaik kita menolak untuk masuk dunia politik, maka dunia politik itu akan selalu diisi oleh orang orang second best. Susah mengharapkan hasil terbaik, kalau yang mengerjakan bukanlah orang orang terbaik. Jadi buruknya kondisi politik Indonesia, sedikit banyak adalah salah rakyat Indonesianya sendiri yang malas atau tidak peduli. Tentu tidak mudah dan tidak instan. Jangan berharap anda masuk lalu keadaan berubah. Tapi kalau tidak ada yg memulai, lalu kapan perubahan akan terjadi?
Dalam konteks Kepala Daerah, kalau anda merasa mampu memimpin daerah anda, punya solusi untuk permasalahannya, gatal untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik, maka majulah. Tapi, tidak ada jalan yang mudah. Cara pertama, adalah lewat partai. Bisa saja anda masuk jadi DPRD menjadi wakil partai lalu meniti jalan menjadi kepala daerah. Atau anda mengajukan diri kepada salah satu partai dan meminta pinangan. Yang ini agak berat karena salah seorang calon kepala daerah pernah mengajukan konsepnya untuk mengubah Kotanya malah dimintai uang dalam jumlah luar biasa besar. Aneh memang, minta dukungan partai untuk mendapatkan bantuan dana, malah dimintai uang terlebih dahulu. Logikanya berantakan. Cara lain adalah lewat jalur independen yang sejak 2008 sudah dimungkinkan menurut UU. Namun cara ini, berat dari sisi pelaksanaan kampanye karena dari sisi dana, akan berat bersaing dengan calon dari partai., mengingat tidak ada plafon dana kampanye pilkada. Baru baru ini,calon independen walikota/wakil walikota Kota Kupang Jonas Salean dan Hermanus Man menang dalam putaran kedua Pemilukada Kota Kupang dan akan menjabat untuk periode 2012-2017. Namun dalam pilkada 2012 di DKI Jakarta ini seorang calon independen gagal meraih kemenangan. Faisal Basri menurut perhitungan Quick Count hanya mendapatkan 5% suara, namun yang menarik adalah, Faisal Basri & Biem Benyamin yang independen ini, berhasil mendapatkan suara di atas Alex Nurdin dan Nono Sampono yang didukung salah satu partai terbesar Indonesia: Golkar. Plus dukungan 17 partai lainnya. Apakah artinya ini?
Jawabannya, berkaitan dengan pertanyaan terakhir: Masihkah ada harapan?
Besarnya harapan perbaikan dalam dunia politik Indonesia, berbanding lurus dengan besarnya keinginan rakyatnya, terutama anak mudanya untuk memperbaiki keadaan tersebut.
Apabila minim keinginannya, maka minim pula harapannya. Mengapa demikian? Karena dalam sejarah dunia termasuk Indonesia, semua perubahan selalu dipicu oleh pemudanya. 1908 adalah seorang anak muda tingkat pertama kuliah bernama Sutomo yang mendirikan Budi Utomo. Di tahun 1928, adalah segerombol anak muda dari berbagai daerah Indonesia yang melahirkan Sumpah Pemuda. Tahun 1945, adalah pemuda yang memaksan Bung Karno dan Bung Hatta untuk merdeka secepatnya, para proklamator bahkan awalnya mau menunggu sesuai tanggal yang diberikan Jepang. Tahun 1998, adalah mahasiswa/i Indonesia yang merobohkan rezim Soeharto.
Maka, kalau kita berharap ada perubahan dalam dunia politik di Indonesia, harus pemudanya yang memicu perubahannya. Tapi tidak akan pemuda memicu perubahan dalam dunia politik, kalau tidak paham, tidak peduli dan tidak tertarik kepada politik.
Ketika orang orang terbaik Indonesia, memutuskan untuk mengubah Indonesia maka harapan akan perbaikan, selalu menyala. Kemenangan FaisalBiem atas Golkar dan 17 partai politik lainnya, menunjukkan bahwa uang partai bisa dikalahkan uang hasil saweran warga yang jumlahnya tentu tidak sebesar uang dari 18 partai politik. Hasil ini menunjukkan bahwa masih ada harapan. Memang harapan tersebut kecil, namun harapan saya 5% ini bagaikan 300 Spartan yang pada akhirnya kalah di tangan pasukan Persia, namun kisah perjuangannya tersebar ke seluruh penjuru negeri dan menginspirasi lebih banyak untuk berjuang dan melawan.
Kawan kawan 5%, kekalahan kita tidak mengejutkan.
Tidak mengejutkan melihat faisalbiem berada di urutan ke 4.. karena memang diperkirakan kita akan unggul dari 1 partai
Tidak mengejutkan menerima cemoohan setelah kami kalah. Cukup ketebak dari kelakuan penikmat liga inggis selama ini di twitter. Nyindir dan nyinyir sudah jadi makanan sehari hari. Resep menghadapi itu, adalah resep yang sama saya gunakan setiap kali Manchester United kalah: Terima Saja. Lagi pula mereka yang nyinyir akan terlihat aneh, ibarat Manchester United pesta pora atas kemenangannya melawan Persija. Ngapain?? Malah keliatan bloon.
Bang Faisal kemarin sempat berkata, bahwa ada 2 kemenangan dalam Pilkada DKI tahun ini: Kemenangan FaisalBiem atau 18 Partai dan kemenangan JokowiAhok atas Incumbent FokeNara. 2 kemenangan ini menarik mengingat latar belakang keuangan FaisalBiem vs AlexNono dan FokeNara vs JokowiAhok. Menurut Bang Faisal, kemenangan JokowiAhok adalah kemenangan figur. Bukan kemenangan partai. Saya setuju dengan ini dan ini akan saya sebut sebagai pembelajaran pertama
Untuk banyak masyarakat kota Jakarta, pilkada DKI tahun ini merupakan pembelajaran yang sukses. Pembelajaran pertama adalah: Memilih karena percaya.
Ketika saya membaca tulisan dari senior saya (mohon dicatat dia jauh lebih tua dari saya, kendatipun dia suka manggil saya “kakak” -_-* ) @Motulz atas alasan mengapa dia memilih JokowiAhok. Saya tersenyum. Terutama bagian “Saya menulis tanpa bayaran tapi karena percaya”
Ini kuncinya.
Masyarakat Jakarta di mata saya hanya terbagi 2 dalam Pilkada. Yang bisa dibeli suaranya dan yang tidak bisa dibeli.
Yang bisa dibeli biasanya memiliki hambatan ekonomi, yang berpikir praktis untuk mengisi kebutuhan sehari hari. Bukan salah mereka, salah pemerintah dan masyarakat mampu yang tidak mau membantu.
Yang tidak bisa dibeli suaranya, rata rata tidak ikutan mencoblos. Apatis dan kurang yakin suaranya akan berpengaruh dan kurang yakin pelaksanaan akan adil.
Nah ketika masyarakat tak terbeli ini turun tangan dalam proses demokrasi untuk menentukan yang terbaik bagi sesama rakyatnya, maka itu kemenangan tersendiri. Karena mereka pada akhirnya memilih karena percaya. Bukan karena terpaksa, bukan karena ikut ikutan, bukan karena dibayar.
Perubahan ini, disertai aktivisme via situs jejaring sosial macam facebook, blog, terutama twitter.
Kebebasan berpendapat masih harus diimbangi dengan keterbukaan diri.
Aneh kalau kita menuntut kebebasan berpendapat terutama dalam mengritisi orang lain, tapi tidak mau terima ketika diri kita sendiri dikritik.
Soal ini, kita masih harus belajar. Bagaimana caranya berbeda pendapat tanpa harus emosi apalagi dengan saling menghina.
Dalam tulisan tulisan saya untuk pilkada, saya mengungkapkan alasan memilih FaisalBiem dan juga alasan tidak memilih calon yang lain. Bagi saya, tulisan tersebut sebagai jawaban kepada followers yang bertanya mengapa pilih A dan mengapa tidak pilih B. Itu hak saya dan walau ada negative campaign di dalamnya, tapi itu bukan black campaign. Tidak ada fitnah dalam tulisan saya. Negative bahkan diperbolehkan dalam praktek demokrasi terutama ketika kita ingin mengangkat hal hal yang menurut kita perlu diketahui masyarakat. Sederhananya begini, kalau ada orang yang saya tahu pasti adalah seorang maling rumah, dan dia ingin mencalonkan diri jadi ketua RT, maka saya berkewajiban untuk memberi tahu warga RT tersebut bahwa orang itu kerjanya membobol rumah rumah. Terlepas dari percaya atau tidak, setuju atau tidak dan memilih atau tidak, yang penting saya sudah mengungkapkan kebenarannya. Kalau saya diam, maka saya salah.
Namun, sesantun santunnya saya menulis, reaksi dari kubu seberang luar biasa. Bahasa yang digunakanpun bagi banyak orang dirasa kurang pantas. Bagi saya, bahasa hanya masalah semantik. Tidak terlalu saya pusingkan. Tapi dalam rangka kebebasan berpendapat, maka ketika saya bisa bebas menulis pendapat saya tentang orang lain, maka orang lain bebas berpendapat tentang saya.
Kita semua musti belajar:
What you think about me, is your own intepretation which may or may not be true. What you say about me, doesnt define who i am, it is just an image that you project to other people about me. As far as we all know, your projection may be biased, distorted or even, fiction.
I am defined by the actions i take.
S/He is defined by the actions S/he take.
We are all defined by the actions we take.
Untuk memahami seseorang, dengarkan apa yang dia katakan dan bandingkan dengan tindakan
Sekarang, apa yang harus kita lakukan dalam Pilkada DKI putaran ke 2?
Inilah waktunya untuk pembelajaran ke 2
Pembelajaran ke 2 adalah: Memilih karena berpikir.
Seorang sahabat, Adriano Qalbi mengungkapkan kekecewaannya terkait dengan Pilkada “Everybody is either abstain, giving influence or under influence. No one THINKS“
Saya setuju, dan sekarang adalah waktunya kita untuk berpikir. Siapa yang akan kita pilih.
Saya tahu beberapa dari anda, masuk ke blog ini ingin tahu saya mau memilih siapa, ingin membaca alasan saya, dan pada akhirnya, ingin terpengaruh.
Tapi saya menolak, karena sekarang waktunya untuk pelajaran baru.
Saya tidak akan beri tahu pilihan saya. Tapi saya pastikan, saya akan memilih di putaran ke 2.
Saya mengajak anda, untuk tidak abstain. untuk tidak mempengaruhi orang lain. dan untuk tidak terpengaruh atas dorongan orang lain.
Sekarang, adalah waktunya anda untuk duduk dan berpikir.
Membaca dan menimbang.
Berkeyakinan dan meragukan.
Kemudian berdiri dengan hasil yang pasti.
Pada putaran pertama, 4.4 juta orang memilih.
Pertanyaannya, berapa banyak dari 4.4 juta orang ini yang memilih dibawah pengaruh?
How many voters, vote under the influence of money or from someone from some blog?
Berapa banyak dari 4.4 juta ini memilih karena berpikir?
🙂
Selamat berpikir teman teman, baca yang banyak, pertimbangkan yang masak.
Jangan takut, jangan panik.
Golput memang merupakan pilihan, tapi itu pilihan yang mudah. Terlalu mudah.
Waktu kecil, pernah ada tebak tebakan di antara anak anak laki “Kalau kamu tinggal di pulau terpencil, dan di pulau tersebut hanya ada 2 perempuan jelek dan 1 laki laki ganteng. Mana yang akan kamu pacari?”
Walau selalu memicu perdebatan lucu, jawaban yang sering muncul adalah “Nggak akan pacarin siapapun..”. Tapi itu jawaban mudah. Dalam hidup, kenyataannya kita susah untuk bisa hidup tanpa kehadiran seorang pasangan, tanpa seseorang untuk berbagi hal hal terdalam dari diri kita. Nyaris tidak mungkin kita hidup sendirian. Maka apabila ini adalah kehidupan nyata, kita harus mengambi keputusan sulit. “Sebagai laki laki, saya mendingan menghabiskan hidup saya mencintai perempuan yang tidak enak dilihat, atau laki laki yang enak dilihat tapi… ya.. dia laki laki.”
Pertanyaannya mulai dilematis, ketika berpikir “Kalau saya memilih 1 di antara perempuan ini, saya harus pilih yang mana? Saya harus buat keputusan terbaik karena saya akan nyangkut bersama perempuan ini dalam waktu yang sangat lama.”
Mulailah kita berpikir “ah, andai dalam pilihan ada 1 perempuan yang sempurna”
Andai demikian, kenyataannya kita semua tahu, hidup tidak sesempurna itu.
Gambaran dilemma di atas, adalah gambaran sempurna terhadap fenomena Pilkada.
Tidak ada yang sempurna, tapi kita diminta untuk memilih. Bisa saja kita golput, tapi itu pilihan yang mudah. Terlalu mudah.
Dalam hidup, kita selalu dihadapkan kepada pilihan sulit. Kita bisa saja lari dari pilihan tersebut, tapi biasanya, kedewasaan datang dari kemauan untuk mengambil keputusan keputusan rumit dalam hidup.
As a matter of fact, I believe people have to make hard decisions, accept whatever consequences, live through it, learn from it, and by doing so we grow as a person.
Pilihan di tangan anda.
Pembelajaran ke 2 ini, memilih karena berpikir, adalah sesuatu penting, bukan hanya untuk anda dan saya, tapi juga untuk Bangsa Indonesia
ps: Foto di atas ngambil dari avatar twitternya @qronoz hehehe
setuju kata bang panji
memilih karena berpikir dan percaya :))
agree.
sudah bukan waktunya lagi mau dibodohi kelompok politik tertentu atau kepentingan golongan semata.
udah saatnya THINK SMART, CHOOSE SMART, and ACT even SMARTER.
Klo ga dimulai dari generasi muda nya buat TAKE ACTION, mau sampe kapan Indo terpuruk?
tp klo diliat2, susah jg buat berharap…selagi sebagian dari kita membaca dan mencermati website nya Bung Pandji P. ini, sebagian anak muda yg (mustinya bisa) diandalkan malah mungkin lg asyik joged Gangnam Style sambil mengagumi kebudayaan korea dan budaya impor lainnya…
klo gini terus, kapan bangsa Indonesia bisa maju?
Dear Panji,
Kita ketemu sebelum Pilkada DKI di EX bulan2 lalu…
Sedih gak ngeliat team sukses Faisal Basri yang rame2 dukung Foke?
Dulu tai2in sekarang?
Plinplan.com
btw, facebook ada? add ya? itu emailnya…
wah bang,,,Gw lagi Galau mau pilih yang mana, tapi gw juga nga mau Golput….buah simalakama bangets deh bang 🙁
Sedikit mengingatkan, walau saya juga tidak suka dengan rezim suharto, tapi saya tidak setuju pernyataan bahwa era suharto pembangunan hanya dilakukan di pulau jawa, saya orang jawa yg dilahirkan di sumatra, orang tua saya sebagian dari program transmigrasi era suharto, jika penilaian dilakukan 20thn lalu, memang daerah kami belum terlihat berkembang, karena pada masa itu sebagai petani perkebunan, kami sedang memulai,sedang menanam,sedang beradaptasi, wajAr kalau pembangunan masih belum terlihat, tapi lihat sekarang, kalau anda pernah pergi ke sumatra selatan, daerah kab. OKU dan OKI, anda mungkin akan tercengang ketika seorang petani berangkat ke kebun naek FORTUNER, bahkan kendaraan pribadi warga di sana rata2 roda 4, tapi anehnya, jalan2 di daerah kami masih sangat buruk, bahkan jalan yg berAspal kebanyakan masih hasil peninggalan rezim suharto.. Jadi?? Siapa yg tidak membangun ?? Rezim surarto atau??? Ituu sedikit contoh saja.. Mungkin komen ini aka lebih tepat jika diletaKan di tulisan bang panji tentang perbandingan rezim suharto dgn SBY.. Sekalilagi maaf kalau pandangan saya salah