Pemikiran ini diawali oleh pengamatan gue ketika lagi nyetir di jalan.
Kebetulan, entah kenapa gue suka mempelajari apa yang gue liat.
Gue pikirin banget kenapa ini dan itu-nya.
Suatu hari di jalan gue melihat sebuah tempat makan dengan spanduk di bawah ini…
Menurut gue ada yang salah kalau seseorang sampai harus menambahkan “YANG TERKENAL”
pada spanduknya.
Kalau emang terkenal ya sudah pasti dikenal. Ga perlu menambahkan tulisan “YANG TERKENAL” lagi.
Kesannya malah jadi kayak ngarep pengen dianggap terkenal.
Sialnya, gue juga ga kenal dengan TIZI si nasi udug pejagalan ini.
Jadi di kepala gue semakin kuat anggapan bahwa tempat makan ini mencoba untuk menarik perhatian dengan “menempelkan” sebuah reputasi pada tempat makan ini.
We all know, you cant create a good rep.
You have to earn it.
Kemudian nggak jauh dari situ gue ketemu apotik yang menarik pandangan gue.
Yang menarik adalah. Entah siapapun yang memiliki apotik ini merasa “FITUR” lebih baik daripada “NAMA”
Gue sampe berhenti dan ngeliatin apotik ini. “Kok ga ada namanyaaa”
Ternyata setelah gue cari cari emang ga ada.
Di signage-nya cuma tertulis dengan jelas Apotik buka nonstop.
Walaupun pada kenyataannya ga buka non stop juga. Cuma dari jam 7 – 23.
Tapi kenapa kira kira yang punya apotik tidak memberi nama pada apotiknya?
Apakah fitur yang baik cukup utk “menjual” apotiknya.
I would surely doubt that.
Nama adalah sarana yang sangat baik untuk mengkomunikasikan pesan.
If you have a product, a program, or a service you gotta make sure it has a name that’s earcandy and easy to pronounce.
Tanpa nama, bisa dipastikan kejadian seperti ini akan sering muncul:
“Yuk kita pergi ke… itu looh.. yang buka non stop itu.. duuh apa ya namanya.. ya pokoknya di daerah itulah.. ada tulisannya buka nonstop”
Sehingga word of mouth akan program atau produknya tidak bisa berjalan dengan baik.
I believe that there are tons of things we can learn, just by looking around.
we took for granted the everyday things.