Daleman dan Luaran

Nama saya Pandji Pragiwaksono, dan orang bingung saya ini sebenarnya pekerjaannya apa.

Padahal saya adalah orang yang berkarya

Karya saya bervariasi dari buku, musik, komik dan stand-up comedy.

Sukses atau tidak, tergantung penilaian anda. Kalau suksesnya karya dinilai dari perolehan finansial, maka ada karya saya yang sukses dan ada yang tidak.

Tapi kalau anda menilai dari dampak yang dihasilkan oleh karya saya, saya yakin sekali, seluruh karya saya sukses.

Patokan saya dalam berkarya hanya 2 hal.

“Daleman” dan “Luaran”

2 hal ini penting dalam berkarya.

“Luaran” adalah hal hal teknis dalam berkarya yang bisa terlihat langsung oleh penikmat karya

Kalau konteksnya buku, maka Luaran adalah sampul, teknik menulis, cara mengembangkan cerita, pemilihan kata, dll.

Dalam rap, maka Luaran adalah pilihan kata, cara menjalin rima, flow, metafora, dll

Dalam komik , teknik gambar, pewarnaan, panel, dll

Dalam Stand-Up Comedy, adalah teknik teknik dasar atau acuan dasar seperti LPM, call back, delivery, act out, dll.

“Daleman” adalah hal hal yang justru tidak bisa dilihat secara langsung. Yaitu ide, konsep, cerita, muatan, pesan, misi, yang ada dalam karya.

Sebuah karya, sebaiknya punya keduanya. Tapi kalau harus pilih satu, pengalaman saya sebaiknya harus kuat di “Daleman”

Alasannya? Begini…

Dalam DVD Pixar Short Film Collections, pernah diceritakan bagaimana pada tahun 1986 untuk pertama kalinya Pixar memperkenalkan teknik animasi terbarunya, sebuah film pendek mengenai Lampu meja besar dan lampu meja kecil (anaknya) yang sedang bermain dengan bola. Kalau lupa atau blum lihat, silakan tonton di sini

Pixar perkenalkan di sebuah eksebisi teknologi komputer tahunan bernama SIGGRAPH yang selalu dihadiri ribuah pelaku profesional dunia komputer. John Lasseter adalah Creative Chief Pixar yang menulis ceritanya, dan tim teknisnya menggunakan sebuah software rendering terbaru yang mereka ciptakan untuk shadow maps dalam animasi ini.

Setelah film 2 menit ini ditanyangkan, seluruh peserta eksebisi tepuk tangan dengan riuh, tapi Lasseter masih belum yakin karena dia ingin mendapatkan pengakuan dari tokoh tokoh terhormat di industri ini. Tiba tiba, Lasseter didatangi seseorang (saya lupa namanya) yang menurut Lasseter adalah sosok yang sangat disegani di industri komputer.

Orang ini berkata “John, saya mau bertanya satu hal…”

Lasseter panik, dia kuatir orang ini akan menanyakan dan mengkritik soal teknik bayangan, pewarnaan, tekstur, dll.

Orang tadi melanjutkan pertanyaan “Si lampu besar itu, ayahnya atau ibunya ya?”

Lasseter tersenyum dan berkata “We did it. Dia begitu terkesima dengan penceritaan sehingga tidak merasa perlu untuk peduli terhadap hal hal teknis”

***

Karya karya saya, kalau diperhatikan kurang kuat di “Luaran” tapi memang sangat kuat di “Daleman”

Itulah mengapa, karya karya saya cukup bisa digemari banyak orang walaupun sebenarnya secara teknik kurang bahkan di beberapa karya, sangat kurang.

Kita ambil contoh Degalings saja yang teknik gambar dan pewarnaannya jauh di bawah banyak komik komik Indonesia lainnya. Tapi jumlah pembacanya dan ketergantungan mereka terhadap Degalings begitu tinggi. Kalau ditanya, jawabannya karena ceritanya bagi mereka sangat bagus. Begitu bagusnya, hingga mereka seakan “memaafkan” kekurangannya.

Namun setelahnya, @kolamkomik meluncurkan komik H20 yang penceritaannya luar biasa bagus dan teknik gambar, warna, dll juga tidak kalah bagusnya. Hasilnya, sebuah karya yang dikagumi dan bertahan selama 1 tahun penuh. Sebuah pencapaian yang jarang jarang dicapai komik lain.

***

Ambil contoh buku NASIONAL.IS.ME, yang harus kita akui sama sama, secara Luaran jelek banget. Bahasa amburadul. Editing juga ngaco. Tapi entah kenapa buku ini luar biasa banyak yg unduh (di atas 20.000 dalam 1 bulan pertama) dan buku fisiknya penjualannya juga begitu memuaskan hingga saya diminta melanjut ke buku “Merdeka Dalam Bercanda” dan “Berani Mengubah”

Namun selanjutnya buku “Berani Mengubah” yang imbang bagusnya Daleman dan Luarannya, berhasil mencapai cetakan ke 4 dalam 4 bulan pertama. Pencapaian cukup baik untuk sebuah buku politik.

***

Dalam musik saya, semua orang juga akan tahu flow saya aneh dan pemilihan rima saya biasa saja. Tapi saya sendiri enggan untuk maksa maksain nemuin rima sampe menggunakan kata yang tidak lazim digunakan sehari hari atau sampai harus mencampur aduk bahasa Indonesia dan inggris (sebuah kebiasaan yang memang saya pribadi hindari). Saya lebih ingin fokus kepada ide lagu, atau pesan yang ingin saya sampaikan.

Terbukti, walaupun banyak rapper punya Luaran yang lebih baik daripada saya, tapi saya yakin tidak banyak rapper yang bisa membuat pendengarnya nangis ketika mendengar di CD atau bahkan menonton langsung sebagaimana penikmat musik saya nangis mendengar lagu “Maafkan Ayah”, “Kembali Tertawa” dan terutama “Ode Untuk Ayah”.

Rima saya biasa saja, tapi justru lagu “Kami Tidak Takut” yang menjadi soundtrack salah satu gerakan sosial terbesar yang pernah ada di dunia maya Indonesia, #IndonesiaUnite.

Luaran saya mungkin saja tidak baik, tapi jaman sekarang rapper Indonesia kesulitan untuk membuat orang mau membeli karya mereka. Penikmat musik saya hadir 500an orang di Konser 32 dan bayar Rp 50.000 – Rp 120.000. Bahkan penonton TwivateConcert saya datang setiap bulan untuk nonton konser hiphop saya dengan tiket seharga Rp 100.000. Tiap bulan.

Karena Dalemannya, mengesankan mereka.

Kini di album ke 5, saya berencana untuk mengejar Luaran dan Daleman yang optimal.

***

Stand-Up Comedy saya apa lagi.

Saya tidak bisa menulis dengan teknik mind-mapping. Saya LPMnya rendah. Secara teori, saya salah karena di bagian set-up selalu panjang. Tapi saya di Mesakke Bangsaku Jakarta bisa memenuhi 1200 kursi di mana 400 kursinya seharga Rp 400.000,-

Pasti Dalemannya yang mereka suka sehingga bersedia menghargai semahal itu oleh orang sebanyak itu. Karena Luarannya, saya tidak sebagus banyak komika komika lain di Indonesia

***

Apa yang terjadi kalau karya kita bagus di Luaran tapi lemah di Daleman?

Jadinya seperti banyak rapper. They’re rapping but they’re not saying anything.

Jadinya seperti banyak penulis. Pembacanya tidak tercuri hatinya oleh apa yang ditawarkan. Padahal di sekolah bahasa Indonesia selalu di atas 8

Jadinya seperti banyak komika. Sibuk mikirin teknik, sibuk baca, sibuk nonton, tapi lupa untuk bertanya siapa sebenarnya dia. Apa yang dia pedulikan. Apa yang dia resahkan. Siapa yang dia wakili. Apa karakternya.

Jadinya seperti banyak komik. Gambarnya baguuuuuus banget tapi seakan lupa. Yang membuat orang tidak sabar untuk membeli terbitan selanjutnya, adalah ceritanya. Tidak ada orang yang tidak sabar pengen beli Kungfu Boy karena “Gue ga sabar pengen liat gambarnya yang bagus”. Orang orang pasti ga sabar pengen beli komik Dragon Ball selanjutnya karena “Dooh gue ga sabar pengen liat apa yang terjadi dengan Songoku setelah dihajar habis habisan oleh Picollo”

***

Semoga membantu dalam berkarya.

Ingat, fokuslah pada Daleman dan Luaran

 

 

12 thoughts on “Daleman dan Luaran”

  1. Gua suka cara lo berpikir dan merealisasikan apa yang ada di pikiran bang.

  2. Makasih pencerahanya bang.. semoga dapet nemu daleman yang pas buat karya saya dalam menulis 🙂

  3. mas pandji yang baik….
    sy cm remaja galau yg bingung.. kalau mas pandji bersedia, tolong jawab pertanyaan saya menurut sudut pandang mas pandji.

    kita semua tahu Indonesia itu bermacam_macam sukunya, dan menurut teori walaupun indonesia sangat multikultural tetapi sebenarnya kita 1.

    menurut saya, mas pandji punya rasa nasionalisme tetapi seperti halnya setiap orang yang ada di Indonesia, mas pandji pasti memiliki suku.
    yang mau saya tanyakan adalah mas pandji lebih bangga menyebut diri mas pandji sebagai orang indonesia atau sebagai orang dari suatu suku tertentu?

    sy minta pendapatnya ya.. terimakasih^^

  4. keren bang pandji,

    betul juga, kebetulan saya ada rencana bikin vlog, dan tulisan bang pandji menjadi pencerahan bagi saya.

    saya suka daleman yang nerawang by the way.. 😀 😀

  5. daleman sama luaran saya semuanya udah jadul, belum punya duit buat beli lagi hehehe
    saya jadi tau kenapa temen-temen rapper sma saya dulu jarang yg suka sama lagunya mas pandji. ternyata emg fokus mas pandji waktu itu daleman nya, dan menurut saya sndiri waktu lg stand-up, candaan mas pandji terasa ga lucu buat saya, tp bikin saya mikir.
    well then, thanks for sharing.

  6. terimakasih sudah diingatkan untuk “memakai daleman”
    suka sering lebih fokus dan memperhatikan luaran aja nih, untung ditampol sama postingan ini 🙂
    sekali lagi terimakasih!

  7. Semoga tulisan ini bukan sekedar pembenaran karena lebih banyak memerhatikan daleman.
    Karena daleman itu bagus, tapi kombinasi antara daleman dan luaran itu luar biasa.
    nb: tapi jelas apabila hanya memperhatikan luaran aja sih hasilnya kemungkinan besar payah.

Comments are closed.