Perkenalkan, nama saya Pandji dan saya adalah seorang Glauconian.
Glaucon adalah nama adik dari Plato.
Glaucon berargumen bahwa orang mematuhi hukum bukan karena memang itu merupakan hal yang baik, tapi agar dilihat orang lain sebagai orang yg baik.
Glaucon berkata bahwa ketika tidak ada yg melihat, bisa saja seseorang melakukan hal hal yg melanggar hukum.
Nah, orang yg percaya kepada pemikiran di atas disebut Glauconian.
Saya mendapatkan ini gara gara membaca buku “The Righteous Mind” karya seorang Psikolog Moral bernama Jonathan Haidt. Psikologi Moral adalah ilmu yg membahas moralitas dari sisi sains. Menarik.
Sebagai Glaucon, saya melihat bukti keyakinan saya di mana mana. Contoh, ketika di Bintaro Jaya saya sedang mengendarai mobil, ada motor yang hampir tertabrak dgn saya karena dia sedang nyalip kanan kiri. Dia langsung menghalangi mobil dan menyuruh saya turun. Kamipun berdebat dan berargumen, dalam satu kesempatan saya berkata “Bapak naik motor aja ga pake helm begini, gimana mau aman?”. Orang tersebut menjawab “Ini komplek perumahan! Ga ada polisi! Di sini boleh ga pake helm”
-_-*
Mari kita cermati alasan bapak tadi, dia mengaku pake helm karena ga ada polisi. Bukan untuk melindungi kepalanya. Lah memangnya aspal di Bintaro empuk?
Satu contoh lagi, supir saya (sebelum saya omelin) pernah menerobos lampu merah. Kejadiannya jam 02.30, saya baru pulang kerja dan kami tertahan di lampu merah. Keadaan kosong. Sepi. Tidak ada siapa siapa, apalagi polisi. Supir saya celingak celinguk lalu melaju menerobos lampu merah. Saya bertanya, “Kok maju pak?”. Dia jawab “Gapapa pak, ga ada polisi”
Glauconian percaya pada dasarnya semua org adalah pelanggar hukum dgn skala masing masing.
Anda mungkin tidak akan tabrak orang yg menghalangi laju mobil anda yg sedang terburu-buru lalu lari, tapi mungkin anda akan masuk jalur busway karena telat.
Anda mungkin tidak akan mencuri uang orang, tapi mungkin anda akan membajak karya seseorang dan mengunggahnya ke internet & membuat pemilik karya kehilangan potensi pemasukan.
Anda mungkin tidak akan korupsi uang negara, tapi anda mungkin pernah minta uang buku sebanyak 100 ribu rupiah ke orang tua padahal harga bukunya 60 ribu rupiah.
Saya bisa bicara ini dengan yakin karena selama beberapa hari, followers saya di twitter mengaku pernah melakukan pelanggaran pelanggaran di atas ketika saya minta berbagi dgn tagar #jujur dan #berani
Sebagai Glaucon, bukan berarti saya pesimis. Justru saya percaya, karena keadaan inilah saya percaya akan hukum & penegakannya.
Kita umat manusia, memang rada rada nyebelin. Kita melakukan hal hal sesuai hukum bukan karena itu hal benar utk dilakukan tapi supaya org tidak menilai kita buruk. Semua org pencitraan, bukan hanya SBY.
Karenanya, perlawanan terhadap korupsi bukan hanya perlu dilakukan dlm level tinggi tapi juga dalam keseharian
Kalau ada yg bertanya “efektif ga sih kampanye via twitter?” jawabannya memang sangat bergantung kepada siapa yang ngetweet dan apa isi tweetnya.
Satu hal yang pasti, kalau kita membiarkan diri kita melakukan pelanggaran pelanggaran kecil dgn dalih “ga ada yg tau” anda sedang memupuk kebiasaan yg ketika dewasa dihadapkan uang banyak, kesempatan untuk korup dan tidak ada yg tau, anda punya kemungkinan untuk benar benar korup.
Korupsi bukanlah sebuah tindakan, korupsi itu buah dari kebiasaan.
Beranikah anda untuk jujur dalam level apapun? Kalau berani jujur, hebat
siapp.. setuju mas pandji.. semua manusia punya level/tingkatan kejujurannya masing2 sama juga dengan sifat baik yang lain.. kita berusaha tingkatkan terus level kejujuran kita, mulai dari hal-hal “kecil” dan meningkat terus.. 🙂
menarik. saya pun glauconian
saya juga percaya bahwa sebagian orang adalah pelanggar hukum pada skala nya masing-masing.
tindkan dan prilaku manusia adalah hasil dari kebiasaan yang telah di lakukan dan masuk ke alam bawah sadar.
dan ini pun kadang jadi kebiasaan saya D
*garuk2 dengkul
Yak.. betul sekali.. kebiasaan buruk itu bisa menjadi-jadi kalo terus-terusan ditumpuk. Suka banget tulisan ini 🙂
Salam sejahtera
kelihatannya buku yang bagus, apalagi media seperti tempo telah khusus membuat acara membedah buku Haidth pada 26 january 2017, mungkin sebagai usaha mencari solusi kenapa bangsa terpecah. Yang dilupakan, mungkin tidak diketahui, atau mungkin ignorant, Haidth adalah liberal atheist dan banyak pendekatan dalam bukunya merupakan pendekatan naturalisme dan materialisme. Akar akar pemikiran atheist dari zaman Renaisanse juga secara pintar dimasukan. Bahkan glauconian yang dibanggakan diatas mempunyai hubungan yang konkrit dengan trilemma problem of evil yang dipopulerkan kembali oleh epicurus. Glauconism sendiri tidak salah yang salah jika dihubungakan dengan atheism. Singkat kata, mau mencari solusi bangsa agar bersatu dengan pemikiran non theist? dunia literatur indonesia harus semakin maju, terutama para pembaca literatur, agar kemudian buku Haidth yang bisa berisi propaganda diatas bisa di saring terlebih dahulu . 🙂