A new star

Setelah saya menulis soal penyelenggaraan, kali ini saya ingin membahas soal performa komika komika Indonesia yang mengisi JakFringe.

Terus terang, di luar penyelenggaraan yang ngadat di sana sini, saya sangat senang ada festival semacam ini. Saya bisa pindah dari panggung ke panggung nonton komika komika yang saya kagumi atau yang saya penasaran aksinya. 2 hari di JakFringe menyisakan sensasi bahagia di kepala saya, seperti makan coklat.

Penyesalan saya adalah tidak bisa menonton komika komika asing karena saya yakin banyak yang bisa saya pelajari. Tapi entah kenapa, sama seperti Java Soulnation, saya selalu lebih tertarik nonton aksi panggung musisi Indonesia. Biasanya selalu spesial dan demikian pula yang terjadi di JakFringe.

Awalnya, saya mau menonton pertunjukan bilingual Ernest karena ini merupakan pencapaian yang keren menurut saya. Belum lagi, saya juga sedang mempersiapkan set dalam bahasa inggris untuk tahun depan. Sialnya, saya sebelumnya ada pekerjaan dan kehadiran Jokowi-Ahok belum beri pengaruh banyak kepada kemacetan ibukota.

Bersama Gamila, kami membeli tiket Reggy Hasibuan. Komika yang di mata saya, bukan hanya lucu banget (itumah wajib sebagai komika), tapi pemilihan topiknya keren keren dan logika yang membawa dari premis ke punchline itu kelas kakap banget. And if there’s one thing Reggy is good at: Finding bits from the given situation to open his set. Reggy itu jago banget ngebuka dengan sesuatu yang terjadi di panggung, di venue atau dalam acara.

Sebelum Reggy, ada Fajar Ardiansyah yang juga set-nya berbahasa inggris. Ketenangannya mengagumkan, bitsnya lucu lucu dan walau dia berbahasa inggris, artikulasinya membuat inggrisnya tetap mudah dipahami.

Reggy, seperti biasa menguasai panggung dengan swagger yang nyaris tdk ada lawan (swagger terjemahan bahasa Indonesianya apa ya). Bit bitnya tentang agama, perpecahan antar umat, FPI adalah bit bit kuatnya yang secara jujur mengungkapkan keresahannya. Membicarakan sesuatu yang berat adalah satu hal, menjadikannya lucu adalah hal lain, dilakukan dengan bahasa inggris adalah hal selanjutnya yang menjadikan kombinasi 3 hal tadi sebagai bukti kehebatan Reggy

Keluar nonton Reggy rasanya puas sekali, saya dan Gamila melanjutkan menonton Lady Comics yang bertabrakan dengan Ryan Adriandhy. Yah namanya juga festival, musti pilih pilih pertunjukan. Karena saya jarang nonton komika komika perempuan ini, apalagi beberapa di antaranya saya belum pernah liat. Mereka adalah Fathya, Emilia, Jessica Farolan lalu Alison BuleBandung.

Fathya, bit bitnya banyak berbicara tentang hubungan pria dan perempuan. Di atas panggung, opininya banyak mengundang sambutan dari penonton perempuan. Lucunya datang dari kebenaran yang dia angkat. Berbahasa inggris, Fathya juga mampu mengantar bitnya tanpa membuat kita kebingungan karena artikulasi dan kecepatan berbicaranya juga sangat baik.

Emilia, adalah kejutan bagi saya. Jelas dia nampak grogi, namun entah apa yang dia lakukan untuk menenangkan diri, dia hasilnya malah bikin semua penonton tertawa. Mungkin karena tubuhnya yang kecil, suaranya yg halus dan cara bertuturnya yang perlahan, kontradiktif dengan apa yang keluar dari mulutnya. Saya dan Gamila ngakaknya ga ketulungan.

Jessica Farolan bisa jadi yang penguasaan panggungnya paling baik. Setnya paling terstruktur, bitnya paling terpoles dengan baik. Nyali dan jujur adalah aset komedinya Jessot (panggilan akrabnya) yang saya rasa dikagumi oleh banyak orang. Bahkan banyak yang mungkin masih belum nyaman dengan kejujurannya. Tapi untuk saya, komedinya terasa menyegarkan

Alison Bule Bandung, memberikan hiburan yang sangat menyenangkan. Saya hanya pernah beberapa kali menonton dia openmic, jadi ketika kemarin Alison manggung beneran saya baru pertama kali menyadari kedalaman materinya. Bitnya tentang Girl’s Logic benar benar seperti kerajinan yang indah. Bitnya tentang keminderan bangsa Indonesia terhadap bahasa asing dan ketidak percayaan diri kepada bahasa sendiri itu emas! Ditulis dengan silogisme yang keren dan tepat sasaran. Alison jelas adalah komika perempuan yang pantas diperhitungkan.

Setelah pertunjukan komika perempuan, muncul kabar semua pertunjukan Indonesia dibatalkan. Seperti yang sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya, ada simpang siur tentang apakah benar dibatalkan atau tidak. Sedikit informasi tambahan, keesokan hari dari WANA dibatalkan (sabtu) ternyata pertunjukan spesial Luqman Baehaqi juga dibatalkan panitia. Infonya Luqman dapatkan dari LO. Namun Luqman ngotot melanjutkan. Kembali ke hari Jumat, akhirnya teman teman We Are Not Alrite memutuskan untuk terus melanjutkan. Saya baru masuk belakangan dan ketika saya masuk teater, Kukuh baru saja turun panggung dan Adriano baru naik.

Saya dengar Pangeran Siahaan yang membuka pertunjukan WANA masih emosi sehingga lebih banyak marah marah di atas panggung, bukan salah dia, saya kalau jadi dia mungkin tidak bisa menguasai diri juga. Kukuh Adi menurut keterangan teman teman seperti marah marah membabi buta tapi dengan lucu luar biasa. Nyesel ga liat Kukuh.

Adriano Qalbi. Saya terus terang tertarik untuk mengamati bit bitnya, beberapa kali saya menonton dia lebih sering larut dalam bit bitnya sehingga tertawa gila gilaan dan gagal mempelajari bitnya. Adriano itu mungkin adalah komika terfavorit saya di Indonesia, kemampuannya menerjemahkan keresahan dalam komedi itu nyaris tidak terbandingkan untuk saat ini. Dia kalau menulis seperti pemahat Bali lagi bikin kerajinan, telaten, detil, sabar (alias tidak cukup puas dengan punchline permukaan) dan hasilnya: brilian. Di atas panggung, emosinya jujur dan tulus sehingga mempertebal keresahan dalam bitnya. Ga punya masalah dalam artikulasi. Ga punya masalah dalam mengurutkan bit. Nonton Adriano menghunjam punchline rasanya seperti Dominique Wilkins (anjir tua) menghajar ring dengan Tomahawk jam. Saya pernah lompat dari kursi, tertawa sambil melempar kepalan ke udara. Persis kayak orang nonton basket. He is that good.

Kemarin malampun sama, walau dia bawa laptop ke atas panggung tapi tidak mengganggu kenikmatan menonton. Dia melakukan itu karena langsung menganggap malam itu seperti openmic dan melempar bit bit baru. Setelah WANA, Rindra menutup. Dia masuk dan langsung menghajar kanan kiri dengan bitnya. Ada satu hajaran kampret yang membuat saya ngakak sambil melempar topi ke layar bioskop yang ada di depan saya. Tidak perlu saya tulis di sini apa yang dia katakan. Biar penasaran. Jangan pernah melepas kesempatan untuk nonton Rindra.

Rindra pernah bilang, modal dia hanya keberanian. Tapi saya rasa bukan hanya itu, kalau berani doang sih Liongky Tan juga berani, tapi Rindra bisa membuat keberanian itu menjelma jadi sebuah kelucuan. Kuncinya kayaknya ada di isi kepala si Rindra yang membuat permainan logikanya tajam ditambah daya khayal yang kampret. Bit dia tentang probabilitas atheis itu brilian menurut saya. Lucu dan benar pada saat yang bersamaan.

Usai pertunjukan tersebut, kami melanjutkan nonton Oji Badjee dan teman temannya dari Stand-Up Indo Medan: Jegel, Babe, Lolok dan Ridho. Komunitas ini mengagumkan. Lolok dan Ridho saya sudah pernah nonton sebelumnya karena mereka membuka turMDB saya di Medan, tapi saya masih ngakak nonton mereka. Ridho dengan bit padangnya, Jegel dengan pantunnya, Babe dengan persona kuatnya, Lolok dengan segalanya hehe segala macem dari diri dia ini lucu. Gestur, intonasi, persona, bit, dan ciri khasnya “Nda shedaap..”

Semuanya pecah dalam durasi sekitar 7 menit. Oji Badjee yang menutup mereka punya tugas yang lebih berat, set yang panjang. Dengan kelasnya 4 anak medan tadi, mudah untuk bisa pecah dalam 7 menit, namun Oji mencoba menaklukkan sesuatu yang berbeda. Kalau saya tidak salah mungkin sekitar 40 menit Oji Stand-up. Bit bitnya banyak yang bekerja dengan baik, tapi mungkin durasi yang relatif panjang membuat Oji mendapatkan pelajaran baru dari sisi mengurutkan bit. Overall dia sangat impresif. Komunitas Medan kontan dapat apreasiasi dari banyak komika via twitter.

Keesokannya, hari Sabtu saya datang dengan niat mengincar nonton Luqman, Acho, Isman-Iwel dan Arief Didu. Beruntung semuanya bisa saya tonton.

Luqman dibuka oleh Heri Horeh yang juga belakangan membuka Acho. Di pertunjukan Luqman dia tidak sepecah ketika di Acho. Mungkin reaksi penonton tidak memancing adrenalin Heri sebagaimana dia di panggungnya Acho karena di situ, dia luar biasa keren. Memang ketika lebih tenang rasanya lebih enak di panggung dan Heri membantai penonton. Bit Heri itu dekat dengan realita kehidupannya, seperti mengintip keseharian dan benak seorang Heri Horeh yang ternyata memang lucu banget. Curhatnya dan deritanya jadi komedi bagi kita.

Setelah Heri membuka, ada Jibsky yang merupakan seorang pesulap. Rasanya hanyalah jam terbang yang membuat Jibsky tidak memenuhi ekspektasi saya. Bukan salahnya, memang proses tidak bisa dipotong dengan jalan pintas.

Luqman Baehaqi, hadir dengan gimmick yang menarik, unik dan lebih kerennya lagi, dia mainkan dengan seru. Si Luqman ini punya kemampuan untuk membuat kita tertawa, tanpa perlu terlalu ngotot kalau bicara. Tapi dari hantarannya, termasuk penggunaan kata dan intonasi, terasa sekali emosi yang ada dalam setiap bahasan. Saya lagi seneng senengnya sama bit dia tentang hewan hewan yang mau punah. Menurut saya, yang dia pertanyakan itu ketika dibandingkan dengan manusia dan terutama ayam, jatohnya lucu parah. Penutupnya si Luqman, rasanya tidak tertandingi penutup komika nasional lain. Karena dia menutupnya dengan unik dan berbeda.

Ketika menonton Muhadkly Acho, saya masuk teater dengan wajah sumringah. Bahagia karena Acho adalah salah satu komika favorit saya. I’ve been expecting this. Setelah Heri membuat kami tertawa, Adjis Doaibu memasuki panggung. Si kampret ini memang diberkahi otak yang supercepat kalau urusan memanfaatkan keadaan untuk menciptakan kelucuan. Dia langsung membuka dengan bertanya “Yang bayar siapa aja?” lalu dia langsung mendekat penonton yang bayar dan bilang “Yang gratisan ga usah dipeduliin lah, gue standup depan yang bayar aja.. jadiii gini….” dan dia langsung melempar bit di depan kursi mereka yang bayar. Adjis ini memang komika yang spesial, apapun keadaan panggung, penonton dan keadaan dirinya, dia selalu bisa membuat pecah pertunjukan. Something about him makes it so easy for us to laugh at the things he say and do.

Setelah Adjis, Muhadkly Acho memulai pertunjukan. Gracefully and effortless. Itu deskripsi saya untuk Acho. Acho punya pesona (bukan persona) yang membuatnya enak ditonton. Kosa katanya selalu jadi daya tarik kelucuan komedinya, efek lucunya berlipat ganda ketika dia menggunakan kata kata tertentu untuk mengganti kata yang umumnya kita gunakan. Malam itu, Acho terasa lebih tebal emosinya karena jarang saya mendengar dia begitu penuh dengan emosi hingga keluar umpatan umpatan kecil yang lucu. Yang keren dari Acho malam itu adalah soal Perempuan dan umur serta perempuan dengan baju yang sama. Malam itu Acho memang banyak membahas soal relationship seperti judulnya “Kencan Pertama”

Setelah ini, saya menonton Iwel dan Isman. Ketika nonton Iwel, saya baru ngeh. Ternyata selama ini saya baru 1 kali nonton dia stand-up secara langsung di depan mata saya. Pertama kali adalah 13 Juli 2011 pada stand-up nite 1 yang legendaris, 2 orang setelah Raditya Dika. Lalu malam itu di Fringe.

Iwel sukses bikin saya dan penonton penonton lain ngakak dengan bit bitnya yang rapih, elegan dan lucu. Punchline Iwel sering kali ga ketebak dan menjadikannya lucu pol. Isman HS, setelah itu hadir dengan cita rasa yang berbeda. Penuh dengan act out dan penggalian materi yang telaten. Hanya Isman yang bisa bikin casting film jadi bit yang kaya. Keresahannya tentang “Bisa Karena Terkenal” menunjukkan subjektifitasnya yang lucu di mata penonton.

Puncak dari rangkaian petunjukan yang saya tonton adalah Arief Didu yang dibuka oleh Bintang Bete dan David

Mari kita mulai dari Bintang Bete. Ini anak gila. Mana ada orang masuk, ngomong satu kata, langsung meledak tawa satu ruangan??? Begini rangkaian ledakan yang terjadi dalam 10 detik:

“Pulpy orange…”

*DHUAR ledakan tawa*

“13 rebu…”

*DHUAR ledakan tawa*

“Tau gitu mending beli Ale Ale..”

*DHUAR ledakan tawa*

Saya tahu yang di benak anda “LUCUNYA DI MANA?”. Saya juga ga tau, tapi saya ikut ngakak parah malam itu. Bersama dengan banyak orang lainnya.

Tapi di luar itu, Bintang punya bit ampuh, persona yang sinting, kemudian struktur komedinya yang beda dengan yang lain saya rasa adalah kunci mengapa kita bisa tertawa jungkir balik nonton dia. Cara Bintang mengurutkan bit lalu memanfaatkan callback, beda dengan cara komika lain. He is a special breed. One of a kind. You have to see it to believe it.

Setelah itu si David Nurbianto naik panggung. Anak ini bisa jadi komika yang sukses. Dia punya segala ciri ciri komika sukses, berani, tenang, ceruk dan sensibilitas komedi yang baik. Yang dia butuhkan adalah lebih banyak panggung untuk dihajar dan menulis lebih banyak materi untuk berkembang

Nah, sekarang saya mau bahas penampilan paling impresif sepanjang 2 hari saya nonton Fringe dan kebetulan juga adalah pertunjukan terakhir yang saya tonton: Arief Didu.

Arief, sering jadi sosok andalan yang didatangi komika komika kalau ingin comedy buddy-an. Sampai sampai Arief sering dijuluki bahwa dia admin @combudindo_BTS

Terakhir saya nonton dia di Stand-Up Nite KompasTV, dan dia sangat sukses menuai tawa. Tapi malam itu di JakFringe, Arief Didu yang sesungguh sungguhnya meledak ke permukaan,

Tenang, jujur, dekat dengan realita kita, Arief Didu tidak terasa ingin melawak, lebih seperti orang yang benar benar lagi curhat tentang realita kehidupannya. Sesungguhnya, dalam banyak hal, Arief sangat mirip dengan Louis CK. CK ga pernah terasa lagi ngelempar bit. CK sering terasa seperti orang yang lagi berkeluh kesah di panggung dan keluhannya lucu. Itulah yang Arief lakukan malam itu.

Bit bitnya seketika jadi memorable, dari becandaan jaman kecil yang berbau darah sampai ke biaya melahirkan yg tinggi, biaya sekolah yang mahal bahkan sampai kematianpun dikejer kejer duit. Keresahan Arief menurut saya universal sekali terutama untuk orang orang Indonesia seumurnya.

Tapi bukan bit bitnya yang membuat Arief mengagumkan malam itu, kehebatannya dalam membuat materi sudah diketahui banyak orang. Yg bikin Arief bersinar paling terang dalam stage pressence dan deliverynya yang hebat. Arief mungkin stand-up sekitar 1 jam lebih, ketika pertunjukan selesai adalah skitar jam 01.30 dini hari. Arief bukan hanya sukses nahan ngantuk, tapi juga sukses membuat penonton lupa ngantuk.

JakFringe 2012, bagaimanapun, meninggalkan kesan yang luar biasa di benak mereka yang hadir.

Who knows, whoever came to JakFringe to watch local acts, might just witness the rising of a new star.

 

 

 

 

7 thoughts on “A new star”

  1. good insight, balanced review, really supportive…. up to the point where my guts seems comparable to Rindra. only not on the funny side.

  2. Is its just be, or you’re being entirely kind in reviewing the performers? Cuz it sounded more like a praise than a critic, but then again your intention was probably to enjoy the whole thing rather that criticizing it. Dugaan gua aja seh. Tapi thanks buat reviewnya ya Pandji, Im humbled reading your review. In my next musical religious-satirical special show, you and Gamilla will be on board for free 🙂

  3. Pas baca postingan soal JakFringe yg sebelumnya, emosi saya dibuatnya. Tapi setelah baca postingan yang ini yg ada cuma rasa nyesel gak bisa ikutan nonton. 😀

    Pandji bisa banget ngegambarin perform komika yg tampil, sampe-sampe pas adegan “10 detik” Bintang gue juga ketawa. Soalnya kebayang intonasi, ekspresi, dan gaya penyampaian si “David Naif” ini.

    Sukses terus deh buat semua komika di Indonesia, mudah2an tahun depan JakFringe dikelola oleh tangan yg tepat sehingga gak terjadi lagi petaka-petaka yang merugikan komika dan para penonton serta penikmat stand up comedy di INDONESIA:

    Viva La Komtung!

Comments are closed.