“Be prepared Jakarta, when Public Enemy is on stage we gonna be here for a while..”
Chuck D dengan lantangnya berkata di atas panggung Soulnation festival 2011, dan betul. Yang harusnya mereka manggung kurang dari 1 jam, ternyata usai nyaris 2 jam. Selama Public Enemy manggung, saya yang berdiri di pinggir kanan panggung menyaksikan konser hiphop terbaik yang pernah saya lihat. Bahkan melebihi Glow In The Dark Tour-nya Kanye West di Singapore yang saya tonton 2008 akhir.
Lantang dengan pesan, tanpa surut energi, Public Enemy lagu demi lagu menyuarakan apa yang jadi keprihatinan mereka. Chuck D bukanlah penulis lirik indah, secara teknik mungkin jauh lebih baik Eminem. Chuck D juga bukan tipe rapper seperti Jay-Z atau Lil Wayne yang masuk studio rekaman dan langsung freestyle. Tapi satu hal yang tidak bisa dipungkiri dari setiap liriknya, kita merasakan kejujuran akan keresahannya.
“Elvis, was a hero to most but he never meant nothing to me”
Jelas, jujur dan tajam.
Saya, adalah pria berumur 33 tahun yang hidup melewati banyak fase dalam hidup saya. Lahir di luar negeri, pulang ke Jakarta tinggal di kompleks mewah dengan tetangga tentangga orang asing, orang tua bercerai, keluarga roboh secara ekonomi, Ibu berjuang membangkitkan keuangan bagaikan satu satunya tonggak penyangga yang masih berdiri ketika seluruh tenda pleton roboh, muslim yang masuk sekolah katolik, kuliah ke kota Bandung di era reformasi, belajar berkarya di sebuah kampus seni rupa, bekerja sebagai penyiar dan mewawancara ratusan kehidupan.
Saya punya banyak keresahan.
Hiphop, sebuah kultur yang terdiri dari DJ, MC, Graffitti dan B-Boy, adalah kecintaan saya. Bahkan dihadapkan dengan berbagai jenis musik sebagai penyiarpun, saya selalu cinta hiphop. Hiphop di era 90an ketika masuk Indonesia penuh dengan irama irama selebratif, Dj Jazzy Jeff and The Fresh Prince, Naughty By Nature, RUN DMC, jadi jalan keluar ketika hidup saya lagi terpuruk karena 2 orang yang saya sayangi tidak bisa akur sehingga harus pisah.
Hiphop saved my life.
Di FSRD ITB, seorang senior bernama Sule berkata “Elo kalo suka hiphop jangan Will Smith atuh, NIH gue pinjemin” dan di tangan saya, adalah kaset “Fear Of A Black Planet”, album-nya Public Enemy. Melihat sampul kasetnya saya bingung, ini judulnya kok provokatif banget. Album ini isinya lagu lagu seperti “Fight The Power”, “911 is a joke”, dan “Welcome to the terrordome”. Saya mendengarkan kaset ini, setelah kejadian reformasi 98 karenanya saya sedikit banyak memahami keresahan keresahan yang ada dalam album ini. Semakin saya dengarkan kasetnya semakin saya tambah bingung, albumnya rilis 1990 tapi kenapa saya tidak pernah dengar ya…
***
“Mas Pandji punya 4 album? Nyanyi toh? Kok saya ga pernah tau ya?”
Saya jawab “Ya kalau nyari taunya di Dahsyat dan Inbox ya ga akan pernah ketemu..”
Tahun 2012 adalah 5 tahun saya berkarya di hiphop. Dalam waktu 5 tahun itu, saya melewati banyak keberhasilan dan kegagalan. Keinginan saya untuk terus meneru menelurkan album bertujuan untuk membuat saya lebih terasah dari sisi produksi rekaman, dari sisi penulisan. Orang yang punya album pertama (2008) dan album ke empat (2012) pasti bisa merasakan perbedaan yang cukup signifikan dari teknik rap dan bahkan dari penggunaan kata kata.
Namun jenis musik dan jenis topik saya yang pada akhirnya membuat saya tidak terkenal seantero Indonesia. Dan saya tidak berharap untuk seterkenal Glenn Fredly atau Afgan. Pengen, tapi tidak berharap. Karena saya sadar diri saya, dan sadar musik saya. Musik saya referensinya sempit. Sebuah karya akan bisa dinikmati kalau si penikmat punya referensi yang sama. Kecil kemungkinan remaja se-Indonesia bisa menikmati lagu dengan referensi tentang bekerja (Mulanya Biasa Saja), menikah (Calvin N Susie), punya anak (Maafkan Ayah), mengatur keuangan (Nggak Sekarang), dll
Tapi saya tidak pernah mempermasalahkan itu. Bahkan ketika saya dibecandai “rapper nggak laku” sayapun bisa menertawakan hal itu karena memang, menurut saya lucu. Bedanya adalah, saya tidak benar benar meyakini bahwa saya tidak laku. Saya yakin saya punya jumlah penikmat karya yang sesuai mengingat konteks musik saya. Definisi “laku” dan “sukses” kebanyakan orang adalah hasil dari definisi sudut pandang industri. Saya, di luar industri. Definisi “laku” dan “sukses” kami beda.
“Sukses” menurut industri adalah kaya raya. “Sukses” menurut saya adalah mampu menggerakkan orang untuk melakukan apa yang saya minta dari lagu lagu saya.
“Laku” menurut industri adalah menjual ratusan ribu kopi, ditonton ratusan ribu orang. “Laku” menurut saya adalah dibeli oleh orang orang yang ketika saya manggung bisa ikut melafalkan lagu saya lirik demi lirik selama acara.
Menilik apa yang terjadi di konser peluncuran album 32, di INDONESIA: kemarin, saya bisa berkata bahwa sebagai rapper, saya laku dan sukses. Saya tidak butuh pengakuan industri atau persetujuan publik untuk kesuksesan saya. Kalau anda ada di Museum Nasional hari itu, berdiri di atas panggung dan melihat ke arah penonton anda akan merasakan sensasi yang sama dengan saya.
Mungkin sekitar 500an penonton hadir di Sunken Museum Nasional, dari tiket yang terjual untuk konser hiphop terhitung nyaris 600 termasuk 400 dari tiket terusan. Mereka bayar dari 120ribu-an (tiket terusan) dan 50ribu-an (tiket satuan)
Sekitar setengahnya sudah mengisi Museum Nasional sejak jam 12 siang.
Ketika jam menunjukkan pukul 15.00, Ndru naik panggung dan membuka konser. He went on stage, full of swag. Orang ini, adalah yang membuka pintu untuk saya jadi rapper. Dia ajak saya ke kantor RizkyRekordz di Rempoa. Dia yang memberi dengar beat beat untuk pertama kali, dia yang menemani saya rekaman, dia yang mengarahkan dan membimbing. Endru agak mirip Dr Dre dalam urusan menjadi produser. Menurut Dr Dre sendiri dari film dokumenter “The Art Of Rap” , dia tidak pernah mengubah gaya seseorang, tidak pernah memaksa melakukan sesuatu, Dr Dre hanya membiarkan musisi tersebut jadi dirinya sendiri dan menambahi aspek aspek untuk membuat lagu itu kuat. Soul ID, grup-nya Endru bersama Ms JayDee dan Tabib Qiu bisa jadi grup paling fenomenal di mata saya. Bukan hanya secara industri mereka diterima (Soul ID ini kalau urusan jam terbang manggung di TV udah setinggi Everest) dan album terakhir mereka LIKE LOVE LIFE double CD! Kini dia punya proyek solo dan menelurkan album RAPUTASI II yang bisa diunduh gratis di sini
Ketika Ndru membawakan lagu lagunya, penonton semakin banyak yang merapat. Saya sendiri masih sibuk berdoa supaya tidak hujan. Bahkan ketika Ndru turun, saya nggak sabar ingin segera naik… bukan apa apa, takut keburu hujan.
Intro lagu pertama berkumandang. “Kami Tidak Takut”. Satu satunya lagu saya yang me-nasional. Itu juga bukan karena usaha saya, lebih karena keadaan yang menjadikan demikian. Ketika saya naik panggung, saya sempat lihat ke langit sedikit, lalu menatap ke arah penonton. Setelah saya melihat penonton, saya lupa akan cuaca. Saya terlalu bahagia untuk kuatir soal cuaca
Lagu “Kami Tidak Takut” saya medley dengan “DPR” dua lagu kuat yang hentakannya saya anggap cocok untuk membuka. Dua lagu yang saya cukup yakin penikmat karya saya hafal. Baru kemudian saya lanjutkan dengan single pertama saya dalam karir, lagu pertama yang saya rilis, lagu berbahasa inggris yang isinya keinginan untuk menceritakan Indonesia yang sesungguhnya kepada dunia, “You Think You Know (Indonesia)” bersama istri Gamila Arief. Kemudian saya membawakan LXIX yang saya selalu sukses membuat penonton goyang.
Setelah 4 lagu berturut turut, baru saya menyapa dan membuka konser.
Berbincang dengan penonton adalah kesenangan saya, bahkan kalau nggak dijagain bisa kebanyakan ngomong. Sadar bahwa ada 20 lebih lagu yang harus dibawakan, saya langsung ke lagu selanjutnya GR bersama Abenk dari Soulvibe. Lagu ini versi live-nya keren banget. Salut kepada band saya Soulneta yang level musikalitasnya jauh di atas rata rata. Abenk added the coolness of the song with his own brand of swag and poise. Jomplang banget kerennya antara dia dan saya.
Setelah lagu GR yang membahas isi kepala pria yang menikah, saya lanjutkan dengan lagu “2nd Born” yang sebenarnya adalah lagu Ndru dari album Raputasi II namun Ndru berbaik hati dan membolehkan saya bawakan lagu tersebut di set saya, bersama Saykoji kami langsung membawakan lagu paling oenjoe hari itu. Saya kadang pengen ketawa sendiri setiap kali saya ucapkan lirik saya “Ayah memang dulu sedikit bajingan”, Ndru dan Saykoji selalu nyaut “Emang!”
Setelah membahas menjadi Ayah, saya bawakan lagu “Ode Untuk Ayah” yang saya tulis pada malam ketika Ayah saya meninggal. Ketika intro dimainkan, saya bertanya “Siapa yang sudah ditinggal Ayahnya?” dan saya lihat ada banyak tangan terangkat.. Di depan saya, sebelah kanan panggung ada perempuan yang tidak bisa menahan tangis, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil dirangkul pasangannya. Saya sendiri susah untuk menahan agar tidak nangis tapi saya mati matian menghalau tangis. Karena saya kalau nangis jeleknya ampun ampunan. Masak mau keliatan jelek di konser sendiri? Ketika saya mengucapkan lirik “Kau Adzan di kupingku waktu aku pertama kali dilahirkan di dunia, kini aku Adzan untukmu berlutut di sampingmu, sesaat sebelum kita pisah..” saya langsung mundur dan membiarkan Teddy Adhitya menyanyikan chorus. Sementara saya mencoba untuk menguasai diri.
Setelah itu, di saat keadaan lagi galau, tiba tiba ada suara cempreng kampret yang langsung nyela nyela saya. Si Tompi naik panggung. Kalau sudah berdua satu panggung, neraka dan isi isinya keluar dan nontonin kami saling cela. Rasanya saya dan Tompi sama sama tahu ini adalah tontonan langka yang hanya bisa terjadi kalau ada kami berdua 1 panggung. Kadang saya yang diajak ke acara dia, kadang dia yang saya ajak ke acara saya. Tapi intinya sama, freestyle kami adalah hiburan yang tiada duanya. Sialnya, urat nyela-nya Tompi emang lebih tebal daripada saya, rata rata saya mulu yang kalah kalau battle dengan dia. Biarlah, kalau nggak gitu ntar dia ga mau lagi saya ajak manggung bareng.
Setelah itu kami langsung membawakan lagu “Ada Yang Salah” dari album pertama yang jadi lebih nge-groove karena ketukannya kami buat lebih cepat. Lagunya jadi lebih asik dan tidak dragging. Bawainnya juga lebih nikmat.
Setelah lagu “Ada yang salah” suasana sudah bergeser jadi lebih kritis dan meninggalkan tematik keluarga. Lagu selanjutnya adalah “Atas Nama Kebenaran” tentang polisi korup bersama Bayu dari Soulvibe. Ini lagu favorit banyak orang juga karena mungkin kita semua sama sama pernah mengalami “berdamai” dengan polisi. Orang mungkin bingung mengapa kedua vokalis Soulvibe saya ajak kolaborasi dalam lagu lagu saya. Jawabanya karena mereka bukan hanya suaranya bagus, mereka juga keren. Bayu juga demikian. Saya seneng dengan vokalis yang punya kharisma dan gaya yang bisa memberi warna penampilan di panggung.
Setelah itu, saya berbicara tentang tiadanya idola. Di 2000an ada tokoh Rangga dari AADC, tahun 90an ada Lupus, tahun 80an ada Si Boy. Jaman dulu, belum caem jadi cowok kalau mobilnya nggak ada tasbih gelantungan di spion dan sajadah terlipat di jok belakang. Setelah itu, saya membawakan lagu “Catatan Si Boy”.
Bait pertama saya nyanyikan sendiri, bait ke dua, Mas Ikang Fauzi menerobos masuk panggung sambil teriak “HAI GUUUUUUUYYSSS!!!!”
Mas Ikang semangatnya tidak beda dengan ketika beliau muda di jaman lagu ini baru keluar dan meledak seantero Indonesia. Penonton melihat beliau juga tidak kalah gilanya, langsung nyanyi nyanyi dan teriak teriak.
Ada banyak momen yang tidak terlupakan sore itu.
Ada momen di mana saya mengajak semua penonton nyanyi “Aku Milikmu” Dewa19
Ada momen ketika EMIMEN (Ge Pamungkas) muncul dan kami membawakan “Forgot About Dre”. Banyak yang bertanya mengapa saya membawakan lagu itu, pertama itu lagu favorit saya. Berhubung ini acara saya, kenapa tidak saya bawakan? Kedua, Dr Dre itu semacam idola bagi Ndru orang yang berjasa untuk karir saya, jadi ini semacam kado. Ketiga, saya rapper. Bagian dari kultur hiphop. Saya ingin membawakan lagu ini sebagai penghormatan kepada kultur hiphop terutama hiphop Indonesia yang hari itu hadir di antara penonton. Yang saya lihat ada Remon Nessa, John Parapat dari Sweet Martabak / P-Squad, ada Mbak Gita Riupassa, ada Lady GAN dan kayaknya ada Udet dari NEO tapi saya kurang yakin.
Ada momen di mana saya membawakan “Menolak Lupa” dengan mengangkat gelas berisi orange juice ketika Pangeran Siahaan berkata “Mereka bisa meracuni satu gelas saja, tapi takkan bisa meracuni gelas sebangsa”. Bagian itu selalu Pange yang ambil karena memang kutipan itu saya dapatkan dari dia.
Ada momen merinding ketika kami membawakan lagu “Menoleh” dengan intro gitar ala Rocket Rockers atau Peewee gaskins. Kemudian di tengah tengah Glenn Fredly masuk menyanyikan lagu “Indonesia Pusaka”.
Saya punya pengakuan yang agak aneh. Lagu “Menoleh” mungkin sudah sering saya bawakan. Salah satu yang tersering bahkan. Tapi hampir setiap kali membawakan lagu itu saya selalu merinding terutama bagian setelah nyanyi Indonesia Pusaka kemudian masuk lagi ke lagu “Menoleh”. Saya tidak habis pikir. Kenapa badan saya seperti tidak pernah bosan mendengarkan lagu itu? Kenapa tangan saya selalu merinding? Sering kali saya tunjukkan ke Pangeran atau ke penonton, takutnya mereka tidak percaya. Hal sama terjadi kemarin. Adrenalin meledak ledak dari dalam diri dan ketika tangan terkepal ke udara, seluruh penonton yang hadir ikut mengangkat kepalan mereka.
Amazing.
Momen yang selalu menyenangkan adalah berbagi panggung dengan Angga Puradiredja dari Maliq & D’Essentials. Membawakan lagu “Mulanya Biasa Saja” dengan sedikit potongan lagu “Dia” dari Maliq & D’Essentials lalu medley ke “The Most Beautiful Girl In The World”
Yang juga untuk saya rasanya mengagumkan, melihat reaksi dan antusiasme penonton terhadap “Lagu Putus”. Saya ingat dalam hati berkata “Oooh gini toh rasanya punya hits” karena Lagu Putus ini entah kenapa begitu disukai banyak orang. Padahal secara lirik dan flow biasa saja menurut saya.
“Untuk Sahabatku” kemudian saya bawakan. Bersama Davina Raja yang saya yakin bersama The Extralarge akan jadi Indonesia’s next big thing. And i dont mean literally. Saya sengaja menaruh lagu “Untuk Sahabatku” di bagian belakang acara. Lagu ini saya tulis dengan kesadaran bahwa sudah 5 tahun sejak saya pertama kali berkarya. Dalam 5 tahun tersebut, ada mereka yang menjadi penikmat setia karya saya. Musik, buku, komik, stand-up, acara TV, mereka semua mendukung dan menikmati dan bahkan bersedia mengapresiasi dengan cara membeli. Karena itu ada lirik
“Ku tahu ku jauh dari sempurna, mulutku sembarangan dan perangaiku tak beraturan. Trima kasih kita masih berjalan bersama, tembus badai opini dan tsunami hujatan. Terima kasih atas keyakinan. Agar meragukan tapi argumenku beralasan.
Mencoba memahami sebelum membenci, memperkuat tali persahabatan”
Terakhir saya membawakan “Lagu Melayu” yang ternyata begitu dicintai penonton konser tersebut. Semuanya ikut bernyanyi, semuanya ikut bergoyang, semua ikut bertepuk tangan mengiringi usainya penampilan saya bersama Soulneta.
Keluar dari mulut saya ditengah tengah lagu “Kalau yang nonton Stand-Up Comedy rame mah wajar, soalnya lagi ngetrend. Tapi ini konser hiphop. This is my struggle, this is my hard work”
I meant every single word.
Saya memulai dari nol. Saya berjibaku jungkir balik banting tulang dari album ke album dari panggung ke panggung.
Untuk bisa sampai kepada hari di mana 500 orang datang, bayar, ngerap setiap lirik, melompat, menari, mengepalkan tangan ke udara, adalah hasil dari kerja keras saya. Hasil dari memeras otak saya.
Saya bangga dan ketika saya mengangkat kedua kepalan ke udara, saya merayakan kemenangan saya.
Saya sejenak berhenti dari menulis ini dan menutup mata, mengingat kembali hari itu, merasakan euforianya, merasakan semangatnya..
Ingin nangis rasanya. Saking bahagianya.
Entah anda bisa membayangkan atau tidak, tapi hari itu saya melemparkan lirik yang saya yakini, yang saya percayai, saya tidak menulis untuk publik, saya menulis untuk saya, jadi berdiri di atas panggung melemparkan emosi saya dan disambut dengan penonton enerjik yang ikut melafalkan lagu saya lirik demi lirik itu luar biasa.
Mungkin saya menganggap rendah musikalitas saya, sehingga saya tidak siap dan seakan tidak percaya lihat orang sebanyak itu sehafal itu. Ada orang orang yang bergoyang sambil menutup mata menengadahkan kepalanya ke langit, ada yang sambil menunjuk ke arah kami di panggung meneriakkan setiap lirik sampai berurat lehernya. Dari penonton yang berdiri tepat di depan barikade, hingga yang di belakang berdiri di atas kursi taman bersorak sambil mengangkat tangan. Semua nampak puas dan senang.
Terlihat amatirnya saya, ketika selesai membawakan lagu terakhir, penonton teriak “Lagi, Lagi, Lagi, Lagi!” meminta encore dan saya tidak siap. Kaget dan bingung. Harusnya saya siapkan 1 lagu pamungkas. Atau mungkin kami bawakan saja lagu yang kami sudah sering bawakan.
Tapi saya malah bilang “Nggak ada (encore), latiannya Cuma buat segitu..”
-_-* superstar macam apa jawabannya gitu?
Sebelum turun panggung saya melihat ke arah langit. Tidak satu tetespun turun.
“Gue disuruh pake pawang tapi gue nggak mau, karena gue punya Tuhan” ujar saya tanpa rencana akan berkata demikian, disambut tepuk tangan penonton.
Sambil turun panggung, saya tersenyum puas. Zaindra membuka jalan memastikan saya bisa segera sampai ruang tunggu tanpa tertahan. Saya perlu istirahat sebelum naik lagi 1.5 jam kemudian untuk Stand-Up.
Di ruang tunggu, teman teman dan sahabat mengucapkan selamat.
Saya duduk kecapekan.
Bukan ngerap 2 jam yang membuat saya lemas, tapi energi penonton yang membakar adrenalinlah yang membuat energi saya meledak ledak.
Sementara yang lain lepas bercanda sambil minum soda, saya diam dipojokan, mengatur nafas, seperti bertapa.
Sebentar lagi, saya akan menghibur penonton yang lebih banyak di panggung selanjutnya
I was ready
based on http://pandji.com/8-desember-2012/ “namanya ENINEM. Bukan Eminem, tapi Eninem” 🙂
gak sabar pengen beli DVD-nyaaaaaaaaaaaaa! \(^▽^)/
Sangat menyesal tidak bisa hadir. It looks like helluva show
Bangga jadi bagian INDONESIA: #8Desember2012
Betul, gak sabar buat beli dvd nya. Wongsoyudan takdirnya berjuang ~!
Suka sama yg namanya stand up comedy dan gak pernah tau ttg musik hip hop, tapi rela ngeluarin uang ratusan ribu buat sebuah konser hip hop+stand up comedy show. Mas panji ini emang keren banget, soo inspiring, bosleh jadi fansnya kan? :”’) semoga lain waktu ngadain konser macam ini lagi..
ANJRIT lo bang pandji.. gak pernah gw semerinding ini nonton konser..:)) maju terus yah 😀 semangat..Maju terus musisi Indonesia.
Ngak sekalian promosikan lingkar ganja nusantara tuh .. Cita2 kita belum kesampaian . Ganja bukan narkotika ..
Kenapa gua gaada? xD
Major thankies for the article.Thanks Again. Much obliged.
menganggap rendah musikalitas…? Mr Pandji.. U dont know how your music mean a lot for me and other people outside jakarta. 🙂
sayang saya hanya bisa merasakan emosi anda dan wongsoyudan lain dari tulisan ini.
BAng Musikmu inspiratif dan memotivasi
sering saya merinding ketika denger musikmu..
karena saking Gak sabar buat ayo do something
dan bener dah tulisan ini pun berasa banget soulnya..
Trims
cerita duet lu sama Angga Maliq nggak ada Dji?
padahal lu nyanyi duet ‘mulainya biasa saja’ dan bawain lagu ‘Dia’ Maliq 🙂
Suka banget sm lagunya. Kak Pandji ganteeengggg…