Lebih baik yang datang polisi

Ada 1 hari yang saya sangat sesali dalam hidup.

Sebenarnya, banyak. Tapi terkait menjadi orang tua, ada 1 yang selalu membekas & teramat saya sesali.
Hari itu kami sedang dalam perjalanan mobil menuju sebuah hotel di Bandung. Saya bahkan tidak ingat hotelnya, yang saya ingat adalah kami nyasar menuju ke sana.
Kami yang dimaksud adalah saya, Gamila & Dipo. Shira belum lahir jadi kemungkinan Dipo saat itu berusia 3 tahun. 
Saya tidak ingat apa penyebabnya tapi Dipo teramat rewel. Pada masa itu Dipo masih suka melempar barang ketika marah & bahkan meludah. Sesuatu yang kami berulang kali larang dengan keras. Kelihatannya dia meniru perilaku itu dari anak anak lain & ketika ingin berargumen tapi kesulitan untuk melakukannya secara verbal, protes teatrikal biasanya selalu jadi jalan keluar.
Sesampainya di hotel, saya keluar dari mobil lalu berjalan menghampiri Dipo yang baru turun dari mobil, saya cengkram tangannya, saya bentak dia dengan gelegar suara seperti Singa lalu saya angkat Dipo ke udara & mengguncang tubuhnya keras sambil membentak.
Ketika saya turunkan ke lantai, tubuhnya bergetar. Dia kaget kelihatannya. 

Saya pun terkejut dengan apa yang baru saya lakukan.

Melihat Dipo ketakutan melihat saya seketika membuat saya sedih & ingin menangis.
Dipo meneteskan air mata lebih dahulu. Tangisan dahsyat yang mau keluar dia tahan sekuat tenaga, kelihatannya dia takut saya marah lebih parah. Tubuhnya bergetar karena berusaha menahan tangis.
Saya langsung peluk dia dan meminta maaf, Dipo langsung lepas tangisnya. Dan maha dahsyat tangisannya.
Dipo anak yang baik

Dia sopan

Dia halus pekertinya

Banyak orang yang mengenal dia mengenalnya sebagai anak yang manis.

Setiap kali saya cium & peluk dia sambil berkata “i love you”, dia sering membalas “Love Mama too, as much as you love me” lalu dia mengajak saya & adiknya untuk memeluk Mamanya “Everybody hug Mama!” lalu kami group hug.


Dipo tidak layak mendapat perlakuan tadi.

Tapi seperti yang saya katakan tadi, ketika ingin berargumen tapi kesulitan untuk melakukannya secara verbal, protes teatrikal biasanya selalu jadi jalan keluar.

Saya hilang akal untuk mengatasi Dipo.

Saya kurang fasih menjadi seorang Ayah.
***
Mungkin sudah lewat beberapa minggu kejadian seorang guru mencubit murid.

Murid lalu mengadu, orang tua lapor polisi, guru dikasuskan, lalu Indonesia terbagi dua. Ada yang simpati kepada guru yang menangis, ada yang mensyukuri tindakan sang orang tua untuk mengadukan gurunya.
Bagaimana dengan saya?
Saya berjanji kepada diri saya sendiri, untuk tidak menyakiti anak anak saya.

Karena selain jelas itu penganiayaan, itu juga tidak adil. 

Saya melakukan sesuatu kepada anak anak saya yang tidak bisa mereka lakukan kepada saya. 

Saya bagaikan raksasa di mata mereka.
Kemudian, saya tidak ingin anak anak saya menuruti saya karena takut.

Saya tidak ingin mereka melihat saya seperti saya melihat Ayah saya. Saya ingat dulu setiap Ayah teriak “Mas Pandji!” tubuh saya bergidik sesaat sebelum kemudian berpikir “Salah apalagi nih gue?”

Saya ingin setiap kali pulang ke rumah saya masih mendapatkan perlakuan yang sama. Anak anak berlarian menuju saya sambil berteriak riang “Ayaaaaaaaaah”

Saya ingin mereka terus berebut ingin ngobrol dengan saya. Saya ingin mereka terus menceritakan apapun yang terjadi kepada mereka, kepada saya.
Lagi pula, orang yang menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, pertanda hilang akal untuk menyelesaikannya secara intelektual

Saya bukan orang bodoh. Tindakan saya akan mencerminkannya.
Maka kalau saya tidak akan menyakiti anak saya, tidak ada orang lain yang boleh menyakiti dia. 

Apapun alasannya. Apapun jabatannya.

Guru yang menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, pertanda dia juga hilang akal untuk menyelesaikannya secara intelektual.

Maka dia tidak layak dianggap pemimpin bagi anak saya di sekolah. 

Mengajar adalah pekerjaannya. Kalah kekerasan dipilih jadi jalan maka dia bukan orang yang baik dalam menjalankan pekerjaannya.
Berbincang dengan kawan saya di kementrian pendidikan,

dikatakan dalam PP 74/2008 pasal 39 guru punya kewenangan memberikan sanksi, namun sanksi itu harus berada dalam koridor kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundangan. Penganiayaan, jelas pelanggaran.
Bahkan lebih jelas lagi, perlindungan terhadap siswa juga sudah jelas dalam UU 35/2014 ttg Perubahan thdp UU 23/2002 ttg Perlindungan Anak di pasal 54 yg menyatakan anak di dalam sekolah wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya dari siapapun.
Jelas, guru tersebut salah. Dan selayaknya guru tersebut mendapatkan hukuman.
Bagaimana dengan kondisi guru tersebut yang dipolisikan? Apakah saya setuju?
Saya tidak akan menasehati orang tua manapun untuk melakukan apapun terkait anak mereka. Itu terserah mereka.
Tapi kalau itu terjadi kepada anak saya, saya akan melawan. Tapi saya tidak butuh bantuan kepolisian.
Saya tidak perlu mengadu ke manapun.

Tidak perlu bekingan siapapun.
Kalau sebagai guru anda menyakiti anak saya, anda akan sadar bahwa saya lebih menakutkan dari pada polisi. Lebih menakutkan dari pada TNI.

Anda sakiti anak saya, anda akan lebih takut kepada saya dari pada Presiden RI.
Saya tidak akan ambil jalan kekerasan kepada anda. Tapi anda akan berharap lebih baik yang datang polisi.

20 thoughts on “Lebih baik yang datang polisi”

  1. Sangar bgt ente bang ! Tp ya sbg org tua kita emang harus gitu sih,anak yg kt besarkan dgn susah payah sampai beranjak usia sekolah tp begitu kt percayakan dgn sekolah yg kt pilih,eh malah disalah gunakan oleh oknum guru yg tidak intelektual itu td.

    Dulu,waktu SMP saya jg pernah ketemu guru baru yg ky gitu,beliau mengajar secara otoriter,ngajarnya jg gak bagus2 bgt,dan kalau ngeyel dikit,kita bakalan diajak duel diluar sekolah.Beneran diajak duel bang.Sampai ada satu org temen yg mengadu ke guru lain.Dan setelah melalui mediasi antara beberapa perwakilan murid dgn guru yg otoriter td, akhirnya beliau mau melunak kan sikap nya.Beliau cerita ke guru2 yg lain kalo sikap yg beliau lakukan itu ternyata hnya jalan pintas untuk mencari pengaruh agar murid pada manut dan ngikut apa kt dia karena dia statusnya sbg guru baru wkt itu.Sempit bgt jln pikirnya ya.

    Tp beda lagi sih,kalo dgr soal kasus yg beredar saat ini,yg jd perhatian saya justru murid skrg yg udah pada sengak bgt gayanya.Udah krg adab nya.Dan saya yakin,itu semua kembali pada hasil didikan org tua mereka dirumah yg saya pikir msh belum berhasil utk menanamkan nilai etika.

    Salut buat ente bang.. Saya jd yakin bagaimana harus bersikap kpd anak saya skrg,dan mulai bisa ngeraba bagaimana harusnya saya mendidik anak saya.

    1. Betul sekali mas,

      Kalo dari observasi saya, anak” yg nakal-bandel itu hampir 80% adalah hasil salah didikan orangtua, akibat keluarga broken home, anak terlalu dimanja.

      kalo kasus anak tentara dicubit guru trus lapor polisi itu menurut saya lenjeh sekali sih . .

      anak tentara seharusnya greget, orangtuanya juga harusnya mendidik supaya bermental tentara sih, bukan kayak gitu . .

  2. Saya juga setuju dgn bang pandji, klo saya jadi calon orangtua juga tak perlu bantuan polisi, lebih baik datangi guru nya langsung! dan melihat hal yg terjadi

    Saya jg guru, guru olahraga SD . . lebih berpeluang utk melakukan kekerasan dlm mengajar. tapi sejauh ini saya gak pernah yg namanya ‘nyentuh’ siswa-siswi. kalo ada yg bandel sih biasanya Saya tegur, klo masih saya bandel jalan terakhir ya ‘kita berjemur bersama’ di bawah terik matahari 😀

  3. Kalau bahas soal yg guru yg dilapor polisi bukannya emang muridnya yg juga sengak? Apa arti guru pahlawan tanpa tanda jasa? Udah ilang? Jadi membuat murid seenaknya, udah ga hormat sama guru? Asal anak kita berperilaku baik di sekolah, apakah guru yg segalak apapun bakal cubit/menganiaya si murid berperilaku baik tsb? Tidak, guru tidak punya alasan untuk mencubit/menganiaya murid itu. Lain halnya jika si murid itu emang sengak, banyak gaya, gamau dibilangin, gamau belajar, membentak guru, berasa jagoan. Apakah guru akan diam aja? Tidak. Ingat kita orang tua menitipkan anak kita ke mereka(guru), mereka sebagai subtitusi kita orang tua yang gabisa setiap saat ada di sisi anak kita.
    Kita pulang kerja, capek, anak kita samperin, kita yg baru pulang kerja, saya yakin mayoritas bakal menolak dan bilang “papa/ayah capek”.
    Anak kita bangun pagi, kita udah berangkat kerja. Atau kebalikannya, kita pulang, anak kita udah tidur.

    Sebagai orang tua tentu ga ada yang mau anaknya dicubit/dianiaya guru, tapi selalu ingat kita harus cari penyebabnya kenapa anak kita bisa dicubit, kalau ternyata anak kita yang dirumah baik dan nurut, tapi ternyata disekolah bandel dan suka ngelawan apa kita bakal nyalahin si guru yg menganiaya tersebut??
    Jadi salah siapa?
    Anak?
    Guru?
    Orang tua?

    Yah tapi balik lagi, pendapat orang berbeda beda.

  4. Tapi kenyataannya, anak” jaman sekarang tidak punya ke sopan santunan yang baik.
    Anak” ini banyak yang tidak menghargai orang dewasa, ya tentu hal seperti ini pasti banyak terjadi.

  5. Setuju bang, guru harus diproses kalau melakukan kekerasan (penganiayaan). Tp khusus kasus yg kemarin, beritanya hanya mencubit. Dan guru sampai mencubit, itu pasti ada sebabnya, tidak serta merta dan pada semua anak. Aku yakin kalau anaknya dididik kayak bang pandji, guru tidak akan mencubitnya. Berdasar pengamatan, guru mencubit itu terhadap anak yang sdh mengganggu kenyamanan belajar anak yg lain. Dan biasanya, anak tersebut tdk diperhatikan perkembangan sikapnya sama orang tua.

  6. Saya suka dengan line mas pandji yg mengatakan “Maka kalau saya tidak akan menyakiti anak saya, tidak ada orang lain yang boleh menyakiti dia.”

    Namun menurut saya, untuk kasus guru yg memberi punishment kepada murid, harus dilihat kembali hal yg mendasarinya dan cara pendekatan anak yg berbeda2.

    Saya banyak dengar dari lingkungan sekitar saya bahwa ada beberapa guru yg memberikan punishment kpd murid krn murid tidak/belum mampu mengikuti/memahami pelajaran misalnya guru yg mencubit murid krn anak tsb diajarkan berulang2 baca tulis tapi ga bisa2. Saya sangat tidak setuju dng punishment apalagi yg melibatkan fisik, seringan dan sekecil apapun!

    Cara pendekatan ke anak pun menurut saya berbeda2. Ada anak yg ‘keras’ yg mana perlu punishment yg lebih ‘keras’ pula agar anak lebih mampu belajar konsekuensi dr perbuatannya.

    Dalam kasus ini, guru mencubit muridnya, perlu dilihat pula :
    1.Karakter guru dan murid yg dihukum. Apakah guru tsb memang sering melakukan hal tsb bahkan ke murid lain yg sbnrnya tidak perlu dilakukan hal tsb dan masih dpt diarahkan? Apakah si murid merupakan anak yg seharusnya dpt diarahkan tanpa hukuman fisik atau memang “membutuhkan” hukuman fisik?
    2.Seberapa fatal dampak hukuman tsb ke kesehatan jiwa dan fisik si anak? (Misal anak yg sensitif, hukuman tsb (bahkan mungkin hanya sekedar verbal halus yg bsifat mengingatkan saja) dapat menimbulkan trauma/ ketakutan yg berlebihan.
    3. Apakah hukuman tsb efektif untuk si anak? Misal ada tipe anak yg sudah diberikan hukuman/pinishment apapun tapi tetap ‘kebal’ dan tidak berubah. Malahan ketika diberi reward ia lebih termotivasi untuk lebih baik.

    Ingat juga wkt mas Pandji standup di Mesakke Bangsaku dan menceritakan ttg guru sosiologi mas Pandji yg memberi hukuman yg agak keras (pukulan dng tangan depan/belakang) itu membekas secara positif dalam diri mas Pandji. Karena (kalau yg saya tangkap dr cerita mas Pandji) guru tsb merupakan pendidik yg melakukan pengajaran dng seimbang (“kalau benar dipuji, kl salah dibenerin.. tapi kalau lu nakal…”) meskipun menggunakan kekerasan fisik. Begitulah kira2 yg saya tangkap.

    Dan dengan kasus ini dan dengan biaya pendidikan yg semakin mahal banyak terkesan para guru “takut” dng orangtua murid yg mana berdampak dng sistem pengajarannya yg terkadang terlihat tidak efektif.

    Orangtua pun terkadang secara tidak sadar menyerahkan pendidikan serta ‘kehidupan’ anak kpd guru (seperti yg diceritakan juga oleh mas pandji, terkadang lbh sering anak bertemu guru daripada orangtua (mungkin maksudnya ortu skrg juga sgt sibuk)). Perlu ditilik kembali, sehatkah kehidupan anak yg spt itu? Meskipun guru bertugas untuk mendidik dan mengajar murid, bukankah tugas orangtua seharusnya lebih besar dibandingkan seorang guru?

    Mengutip line diatas: mengajar adalah pekerjaannya (guru). Ya saya setuju, namun menurut saya lebih tepat jika kita katakan: mengajar adalah tanggung jawab orangtua yang dibantu oleh guru (mohon digaris bawahi kata ‘dibantu’.

    Menurut saya orangtua juga perlu berpartisipasi mengembangkan sikap tata krama dan sopan santun anak sesuai dengan norma terhadap guru/ pendidik. Sehingga para orangtua dan guru dpt bersinergi untuk mengembangkan anak Indonesia yg sehat secara akal dan jiwa.

    Menurut saya, jangan sampai terkesan guru “dikecilkan” oleh orangtua apalagi di depan si anak. Kecuali kalau memang perilaku guru yg memang sudah di luar koridor, di luar norma, dan memang sudah tidak layak disebut guru.

    Terima kasih.

  7. mas, jika dalam situasi seperti itu kita tahu bahwa ada yg namanya id yg merupakan naluri alamiah. Id ini merupakan sikap alamiah kita jika lapar maka kita hrus makan. sikap makan ini merupakan ego dan untuk mengatur ego ada yg namanya superego. superego yg menentukan apakah kita akan makan saat ini atau ntr, bahkan mau makan apa superego yg menentukan.

    id, ego dan superego berperan dalam kita melakukan sesuatu. jdi jika misal rasa memarahi mas kepada anak dengan perilaku seperti bersuara keras dll ini merupakan ego yg berkerja. superego akan mengendalikan alias kita berpikir kembali apakah hrus dgn cara tersebut atau yg lembut.

    apa yg dilakukan oleh guru tersebut saya tidak menilai benar atau salah melainkan itu adalah respon dari kondisi phsikis guru teraebut. apakah dia dapat mengatur ego dengan superego atau malah ego yg berkerja. dan dalam kejadian tersebut egonya yg lebih berkerja. ingat bukan melihat profesinya jika terjadi sesuatu melainkan kepada orangnya. jadi bukan salahkan guru itu melainkan salahkan dia (pribadi). jadi jgn salahkan instansi atau lembaga pendidikannya. jika guru itu melanggar biarkan kepsek dan aparatur pendidikan yg melakulan tindakannya. kalau kita mau menyalahkan salahkan pribadinya. oke

  8. saya yakin tidak ada niatan sedikitpun seorang guru untuk menganiaya muridnya mas. kalau itu terjadi itu lebih karena reflek dari akumulasi tindak tanduk murid. ketika etika, adab dan sopan santun hilang dari jiwa si murid reaksi emosional lah yg muncul, dalam artian agar murid lebih beretika sehingga tidak menjadi contoh oleh murid yg lain.

    misal murid yg memaki maki guru, melawan nasehat guru. apakah masih layak jika hanya di nasehati verbal dan di panggil walinya….?
    dan bagaimana bila kejadian tersebut terjadi berulang kali?
    cukupkah komite sekolah jika hanya mmberikan teguran atau mengeluarkan siswa tersebut dari sekolah tsbt.

    hati guru memiliki nuraninya sendiri terhadap siswanya, bukan artinya guru pilih kasih terhadap murid2nya. guru juga adalah mata, suara, telinga dan tangan orang tua wali di luar keluarga.

    sudah selayaknya orang tua memilihkan dan mempercayakan pendidikan yg baik terhadap anak kepada guru, dan selayaknya pula wali murid menghormati guru.

    itu menurut persepsi saya mas yg masih bingung membedakan peran guru itu sebenarnya pendidik atau pengajar.

    #KorbanKebringasanGuru

  9. Benar. Bahwa pendidikan harusnya juga mengajarkan respek dua arah, dan bukan dari rasa takut atau kesewenangan.
    Tapi seringkali orang tua lupa untuk menggunakan kepala saat menyelesaikan masalah di sekolah.
    Akankah lebih baik orang tua tidak reaktif dan lebih mengedepankan musyawarah. Anak, guru dan ortu dikonfrontasi dgn mediasi kepala sekolah. Mencari tau versi sebenarnya. Cover both side. Tidak langsung menjustifikasi dan lapor polisi.
    Ingat, anak melihat. Apapun cara kita membentuk mereka.
    Akan selalu ada guru jahat, perundung, ajaran dan didikan kitalah yang melindungi mereka, karena secara fisik kita tidak bisa selalu ada.

  10. Dipo anak baik. Buat anak yg dicubit, ada foto dia merokok dan dia bangga akan itu. Terus mau digimanain?

  11. Anak itu sama kaya komen ke web ini. Ada komen baik ada komen tidak baik. Yang baik muncul di web yang tidak baik dihapus. Kalo komen di web aja ada perbedaan perlakuan, kenapa kita harus mendidik anak dengan perlakuan yang sama semua?

  12. Saya kurang setuju dengan mas pandji. Kekerasan itu terlalu luas cakupannya mas, mencubit itu terlalu “sempit” untuk disebut kekerasan. Jika kalau mas pandji beranggapan bahwa mencubit itu bagian dari kekerasan, lalu bagaimana hukuman yang seharusnya diperoleh dari anak itu? Ingat mas, “mencubit” itu terlalu lembut untuk dimasukkan kedalam kategori “kekerasan”.

  13. Berarti dari cerita ini bisa dilihat moral anak, tingkah baik buruknya tu semua hasil didikan orang tuanya, bukan hanya jd tanggun jawab gurunya. Memang kekerasan fisik bukan jadi jalan keluar yg baik, tp kalau dicermati coba lihat alasan dibalik gurunya melakukan hal tersebut. Kalau gurunya cubit murid sampai membiru karena melampiaskan masalah di rumah (misalnya dia berantem sama istri) terhadap murid yg berbuat salah “sepele” di sekolah, itu tidak adil, saya akan membawa guru tadi pula ke pengadilan. Tapi kalau sepantasnya anak mendapatkan ganjaran atas hal yg anak lakukan, saya rasa itu keadilan. Tuhan Maha Pengampun, tapi toh buah dari kesalahan yg kita perbuat akan kita rasakan sebagai “ganjaran” atas apa yg kita buat. Mendidik bukan hanya dengan memberikan coklat atau permen terhadap si anak, tapi tetap harus ada obat dan jamu. Obat dan jamu memang pahit tapi harus diberikan supaya si anak kuat, dan si anak sehat. Coba bapak punya anak sakit, dikasih obat atau dikasih pujian?
    Almarhum ayah saya adalah seorang yg ringan tangan tp saya tetap mencintainya dia memukul karena saya memang salah, karena keadaan berat, karena dia tidak tahu apa yg harus dia perbuat. Tapi setiap pagi pula saya menciumnya dan saya pulang sekolah bertemu dengannya dengan penuh kebahagiaan. Dia keras tapi saya tau persis dia mencintai saya, tidak ada dendam yg saya rasakan dan untuk itu saya saat ini bisa menjadi wanita yg kuat.
    “Ah.. itu hanya cubitan” kata sebagian orang. Tp tergantung seberapa bijak anda sebagai orang tua mengambil keputusan. Kalau anak salah dan terus dibela, lama2 dia akan terus berlindung di bawah ketek orang tuanya, sama seperti anda yg melapor ke pengadilan. Apa bedanya anda dan anak anda? Bedanya anda harusnya lebih bijaksana. Anak tak tau mana yg salah mana yg baik, harus diberi pengertian. Bukan serta merta dibela segala kesalahan2nya.
    Jadi sebaiknya masalah kecil si anak dan si guru tidak perlu dibesarkan dan masalah orang tua dan si guru tidak perlu pula dibesar-besarkan. Kembali ke keluarga kita masing2 dan bagaimana membangun anak-anak tangguh yg bermental dan berprilaku positif yg dibesarkan dengan cinta kasih orang tuanya

  14. Setuju, guru sebaiknya tidak buang waktu untuk mendidik anak yang tidak mau diajar. Jika anak tersebut kurang ajar kembalikan saja pada orangtuanya.

  15. saya juga yakin si guru gak ada niat menganiyaya, tapi karena gak ada niat untuk belajar lebih lagi, gimana cara menanganinya.. makanya anak anak sekarang udah mulai pinter, bisa belajar sendiri dari youtube atau web lainnya.. apa guru suatu saat bakal tergantikan.

    terserah juga kalau mau bilang, “silahkan pukul anak saya untuk meluruskan” tapi kalau kelewatan gimana? guru gak punya sertifikasi memukul atau mencubit yang layak, sertifikasi nya mengajar..

  16. mas nero hebat,, komentarnya mantap,, sangat melengkapi seisi postingan ini.. saya jadi sadar harus lebih waspada dan benar-benar memperhatikan anak saya di sekolah,, takutnya dia hanya diam dan tidak cerita ke saya,…

    oh iyha, ini mas pandji artis itu kan 😀 😀 aku to baru tahu hlo 😀 …. hhehehe

  17. Dalam situasi mas Pandji yg berbicara, sangat tidak pantas seorang guru mendidik anak dgn kekerasan/fisik (dgn cat. Mencubit dianggap sebagai kekerasan fisik).
    Cm yg jadi pertanyaan,
    ad berapa anak yg mendapat pengajaran org tua spt yg mas Pandji lakukan?
    Ada berapa anak yg setelah mendapat didikan yg bagus dirumah, akan berulah mengganggu ketentraman lingkungan sekolah?
    Ad berapa anak, yg tahu posisinya sebagai seorang murid, yg menjadikan guru sebagai orang tua di sekolah?
    Ad berapa banyak guru yg mengajar anak didiknya selayaknya mengajar anak sendiri?

    Kalau gw pribadi, hukuman sebatas cubitan, pukulan pd tangan dan kaki itu masih dalam batas wajar selama alasannya sesuai.
    List hukuman saya waktu sekolah(SD-SMP)
    1.terlambat, dihukum bersihin wc/lari keliling lapangan
    2. Tidak mengerjakan PR, paling sadis dicubit di bag. (Maaf) puting untuk cowo, cewe dipukul rotan tanganx
    3. Bikin ribut dikelas, dipukul rotan tangan dan kaki, dll.

    Selama tidak memukul bag. tubuh selain tangan dan kaki, buat sy itu wajar, bagian dri proses mendidik.
    Ortu gw jg dulu pernah mengamuk disekolah, krn gw dibanting sm guru cm gara2 cara nulis angka 8 berbeda dri cara biasax.
    Gw jg pernah ditendang dan dipukul guru gara2 gw maki guru dgn kata kotor, dan gw ga mungkin lapor ke ortu, krn gw pasti dihabisin di rumah.
    Intinya, selain faktor ortu, guru, yg terpenting adalah siswanya sendiri. Tahu diri dan tahu aturan

Comments are closed.