Industri TV memang aneh.
Fakta bahwa mereka hidup dari rating karena pengiklan berpatokan kepada rating membuat tindak tanduk stasiun TV jadi aneh aneh demi ditonton orang.
Sebenarnya, penonton TV itu seperti Piramid terbalik. Yang paling banyak nonton adalah yang merupakan kelas ekonomi bawah. Artinya ketika sebuah acara TV ratingnya bagus, maka itu bukan menandakan program tersebut banyak ditonton orang, tapi menandakan bahwa program TV itu banyak ditonton oleh masyarakat kelas bawah.
Sistem survey Nielsen Media Research juga disesuaikan dengan strata ekonomi para penonton TV. Misalnya, dari 100 responden, 50% adalah dari strata ekonomi bawah, 30% ekonomi menengah, 20% ekonomi atas. Mengapa angkanya tidak rata, karena kenyataannya memang yang nonton jumlahnya tidak rata. Kalau angkanya dibuat sama, maka hasil risetnya tidak akan akurat menggambarkan kenyataan di lapangan
Itulah mengapa banyak program TV yang terpaksa di “Dumb it down” atau dibikin “goblok” demi mendapatkan perhatian masyarakat kelas bawah.
Lucunya, atas alasan pencitraan, sejumlah stasiun TV mengaku kepada saya mereka butuh program program kelas menengah ke atas. Stasiun stasiun TV ini mulai kewalahan menyuguhkan program program TV kelas bawah karena iklan yang masuk akhirnya untuk masyarakat kelas bawah yang notabene bukan perusahaan besar dan kurang mampu bayar mahal. Sebagai ilustrasi, anda tidak akan pernah melihat iklan BMW di Indosiar.
Namun TV dengan sasaran penonton kelas menengah ke atas juga kewalahan karena iklan iklan tidak ada yang masuk, pengiklan tidak mau pasang di TV tersebut karena penontonnya sedikit.
Harusnya pengiklan tidak memasang iklan dengan ditentukan dari berapa banyak orang yang menonton, tapi siapa yang menonton.
Saya jadi ingat Dave Chappelle, yang setelah punya reputasi hebat sebagai Stand-Up Comedian ditawarin membuat program TV The Dave Chappelle Show.
Setelah 2 season yang super sukses, thn 2005 Viacom sebagai induk perusahaan Comedy Central menawarkan kontrak season 3 & 4 sebesar $ 55.000.000,- atau sebesar Rp 550 milyar. Sekadar info, 1 season adalah 13 episode. Untuk acara mingguan maka artinya 2 season itu tayang sepanjang 6 bulan kurang lebih.
Dave Chappelle menolak kontrak tersebut, dan bersama anak istrinya pindah ke Afrika untuk hidup tenang sebelum akhirnya kembali ke Amerika Serikat.
Pertanyaanya kemudian, mengapa Dave meninggalkan uang begitu banyak?
Jawabannya, terselip di panggung ketika dia sedang dalam pertunjukan Stand-Up Comedy di 2004. Salah satu penonton sepanjang malam nge-heckle Dave (heckle atau heckling adalah ketika ada penonton yang sepanjang pertunjukan teriak teriak mencoba menarik perhatian komika yang di atas panggung). Heckler tersebut teriak berulang ulang “Im Rick James, Bitch!”. Sebuah kalimat terkenal (catch frame) dari acara The Dave Chappelle Show.
Dave kesal, kemudian pergi meninggalkan panggung. Beberapa menit kemudian dia kembali ke atas panggung dan berkata..
“You know why my show is good? Because the network officials say you’re not smart enough to get what I’m doing, and every day I fight for you. I tell them how smart you are. Turns out, I was wrong. You people are stupid”
Tahun 2005 Chappelle memutuskan tidak mengambil kontrak yang ditawarkan Viacom. Dave menyatakan tidak suka dorongan kreatif program TVnya diarah arahkan demi rating. Dave bilang harusnya program tersebut formatnya seperti film mini, tapi viacom inginnya dibuat sketsa seperti yang terjadi di season 1 dan 2. Tentunya atas permintaan viacom. Dave merasa penontonnya cukup cerdas untuk memahami komedi yang ditawarkannya, stasiun TV berpikir sebaliknya, mereka merasa penonton TV kebanyakan ekonomi bawah dan tidak apresiatif terhadap hal hal yang cerdas.
Masalah Dave, adalah masalah semua orang juga di Indonesia. Provocative Proactive-pun berubah format dari talkshow dan news menjadi banyak sketsa. Katanya “Lebih seru, penonton lebih suka..”
Pada satu kesempatan, saya pernah berbincang dengan Pak Jose Rizal Manua, pimpinan Teater Tanah Air. Pertunjukan teater di mana pemainnya adalah 100% anak anak. Beliau bersama TTA pernah meraih juara pertama pada Festival Teater Anak-anak Dunia ke-9 di Lingen, Jerman tahun 2006. Pulang ke Indonesia, beliau menawarkan pertunjukan tersebut untuk ditayangkan di TV. Seluruh stasiun TV jawabannya sama: “Penonton nggak ngerti dikasi beginian”. Pak Jose bertanya balik “Kok bisa nggak ngerti? Wong ini bisa jadi juara dunia di depan penonton jepang, jerman, inggris, dan negara negara lain sementara bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Orang asing yang ga bisa bahasa Indonesia aja ngerti bahkan jadi juara, kenapa rakyat Indonesia sendiri dibilang ga ngerti?”
Sayang, stasiun TV tetap pada pendiriannya. Suguhan teater juara dunia ini tidak ditayangkan.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang bisa bawa perubahan kepada stasiun TV?
Semuanya.
Penonton harus menuntut program yang lebih baik.
Pemerintah sebaiknya buat UU utk menjamin tayangan TV berkualitas (di Belanda, pemerintahnya mewajibkan semua stasiun TV menayangkan program dokumenter sebanyak 20% dari total program mereka)
Klien harus mulai lebih berani dalam mengambil keputusan periklanan. Yang ini pergeserannya sudah mulai terlihat.
Nielsen Media Research harusnya ada yang mengawasi, seperti di luar negeri, lembaga lembaga rating diawasi oleh lembaga Independen. Ini penting mengingat NMR adalah pemain satu satunya saat ini di Indonesia. Ada sih pemain lain tapi tidak jadi hitungan. Seperti Cineplex 21 dan Blitz Megaplex. Mereka bersaing? Come on, be real. Its still a monoply.
Power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutely.
Pertanyaan besarnya harusnya ditanyakan kepada seluruh rakyat Indonesia, apakah benar tuduhan Dave Chappelle..
Are we all dumb?
If we are, we need to change it.
If we are not, we need to prove it.
Lets move it.
memang agak sulit berharap tv mainstream utk menampilkan hal yg kurang umum. tapi masih banyak channel lain yang dapat digunakan. liat aja udah banyak yg bikin webseries dan podcast, dan ternyata cukup sukses, ada aja peminatnya kok 🙂
dan satu lagi, dulu siapa yg nyangka orang mau berjam-jam pelototin rekaman rapat instansi pemerintahan? sekarang nyatanya channel youtube pemprov DKI sejak jaman jokowi-ahok udah ditonton 9 juta viewer.
susah, tapi pasti bisa hehehe 🙂 #kode
9 Juta Viewer itu maksudnya 9 juta kali video ini di Klik untukdi putar, tapi blon tentu di nontonsampe abis 🙂
Hehe.. Saking enegnya sama program TV Indonesia, saya hampir ga pernah nonton acara TV Indonesia mas Pandji. Thanks to Pay TV, walopun skrg iklannya jg lumayan byk >.<
acara TV di Indonesia emang parah bang
kalo laku, dipanjang2in menjadi keluar alur..
contohnya : tukang bubur naik haji…sangking lakunya sampe2 pemeran utamanya didepak tapi tetep aja itu cerita jalan dan ngalur ngadull..padahal judulnya jelas “tukang bubur naik haji” ini tukang buburnya ntah udah kemana…siapa yang bisa disalahkan ?
sangat menyayangkan provocative harus berakhir….
sekali2 maen ke http://sbtoyota.blogspot.com.
mending kita kutak katik mobil drpd kutak katik tv bang
klo saya sendiri masih sring nonton channel” tv indonesia yg mainstream, tp dgn pilih” jg utk nonton programnya, toh bbrp stasiun tv gak semua dgn serta-merta mw nayangin acara gak mutu.
yah memang susah sih, merubah kebiasaan yg sdh mengakar.
Sudah 10 bulan saya tidak pernah nonton TV. Entah mengapa secara alami saya meninggalkannya. Dan ternyata tidak pengaruh juga dikehidupan nyata. Kecuali berdampak satu hal, saya bingung tiap kali ada yang standup comendy dengan materi iklan TV.. Hahahahaha..
Makin cerdas orangnya, makin punya banyak kegiatan selain nonton tivi.
Makin cerdas orangnya, makin punya banyak pilihan kegiatan selain nonton tivi.
Wah wah, saya butuh nutrisi yang bagus di saat melihat acara Tv nasional, tp sulit terwujud. Suka pantangin talkShow Just Alvin, Kick Andy, Young on Top, Radio Show dan Mata najwa. Jujur pengen saya tontong ulang hampir tiap episode mereka, dimana dimana dimana? tontonan bermutu anak bangsa
Setuju sekali dengan mas Pandji, acara tv jaman sekarang gak ada yang bener2 bisa dinikmatin, waktu itu lagi seru2nya nonton Provocative – Proactive tiba2 udah episode terakhir. Radio Show, yg tadinya format cafe dan akustikan gt berubah jadi semi konser gt, jadi kurang menarik. Semoga aja acara tv bisa lebih bagus lagi
Saya setuju dengan bang pandji. Saya mahasiswa jurusan pendidikan dan part time ngajar les anak2 sekolah,suatu hari saya ditanya murid saya yg intinya ‘apakah monopoli yg dilakukan TVRI jaman dulu lebih baik daripada jaman sekarang yang stasiun Tv sudah beragam’. Saya kurang yakin dengan jawaban saya yang waktu itu milih lebih baik skrg krna acara bragam.
Mohon pncerahan dr bang pandji mengingat saya ‘tidak hidup’ dijaman monopoli TVRI.
Trimakasih
Ulasana yang menarik dan memang sesuai kenyataan,semoga ke depannya para stasiun TV bisa pelan-pelan merubah gaya program mereka menjadi suatu tontonan yang menghibur, mendidik dan tetap berkelas.
Hmm.. Sebagai orang yang hanya mengerti TV dari sisi luarnya aja, saya sih melihat bahwa manajemen TV terlalu terpaku oleh rating. Mereka menganggap kalau rating harus selalu diikuti (biar bisa survive gitu). Padahal? Kita belum tahu apa yang terjadi dibalik rating itu. Lagian, tayangan tersebut juga bukan selera seluruh masyarakat kan? Pasti ada selera manajemen TV yang dipaksa masuk ke tayangan tersebut. Hmm.. Kita menunggu sampai kapan tayangan dengan “konten kontroversial” sejenis (kau tahulah – ratingnya no 1 terus, padahal isinya begitu aja..)
Oh ya, cek chirpstory saya ya (klik link pada nama saya), disitu saya juga membahas tentang “konten kontroversial” dan pembahasan menarik lainnya.
klo menurut gw ndji…para produser ato para kreatif yg bikin program2 tv lokal kita suka akan comfort zone mereka..dlm artian klo format yg lama ud byk yg nonton ya sdh jd wajar bagi mreka utk mempertahankannya…terlebih itu udah jd sawah ladang mereka…so utk mencoba bkin format yg baru ato bhkan acara yg baru bagi mereka terkesan akan berisiko bakalan laku apa ngga dirating…jd suka lucu sm divisi mereka yg katanya divisi kreatif..trnyata ngga kreatif2 amat klo rating ud bagus bkalan monoton dah bgitu aja acara..terutama acara menonjolkan kebodohan ato ketololan yg dibungkus katanya mereka sih itu komedi..klo acara yg pnya rating bagus tp edukatif n mendidik bgi yg nonton sih gw jg ga masalh… btw tulisan yg bagus bro
Tayangan gitu bakal tetap terus ada, selagi masih ada orang-orang yang berhasrat masuk tv, jadi artis. Persentasenya di endonesa memang lebih banyak kelas menengah kebawah (secara materi ekonomi maupun pola fikir). Jadi tontonan yang lucu, menyenangkan hati atau yang mempermainkan emosi dgn jalan cerita atau pola yg sama bakal terus ada.
paling suka bacaan beginiian.
orang – orang pintar mungkin udah pindah untuk membaca koran lagi.
Artikelnya bagus mas!! Saya suka.. Butuh orang-orang yang berpendidikan yang bisa buat masyarakat indonesia terdidik!! Sayangnya mereka (industri pertelevisian indonesia) hanya mementingkan banyaknya orang yang menonoton.. Tanpa tau apa yang mereka sajikan kepada para penontonnya!! Jadi malas nonton tv indonesia takut dibodohin -_-
setuju banget, mulai dari film indonesia dengan khas segala jenis setan sampai berita yang isinya koruptor, kriminal juga infotainment yang semakin ga mendidik bangsa indonesia.
Harus ada penggerak untuk memperbaiki mutu demi masa depan anak2 indonesia
Gue pun begitu, gue juga bingung atas anehnya dunia pertelevisian. Jujur gue tegas memilih acara yang gue tonton. Banyak acara yang gue gak suka, contoh aja yang joget-joget gak jelas itu, dan banyak lah. Dari seluruh acara tv di Indonesia, cuma 2 yang gue suka, yaitu stand up comedy dan serialnya raditya dika. Menurut gue dua acara itu konteksnya cerdas. Tapi masih ada aja orang yang enggak memahami acara tersebut. Bahkan aja gue sering berdebat dengan nyokap gue karena acara tv. Waktu gue pengen nonton acara yang gue pengen, doi malah pengen nonton acara joget. Lah, adek gue yang masih kelas 1 sd ngikutin kebiasaan nyokap gue. Dan kini gue pun akhirnya harus membujuk adek gue agar gak terbelenggu dalam dunia joget gak jelas itu.
Dan kenapa begitu banyak acara gak jelas yang ada di tv ?
Jawaban menurut gue adalah kita kurang, oh enggak, kita bahkan nggak tegas kepada tontonan yang kita tonton. Kita begitu nerima sama acara yang ada di tv. Kenapa nggak kita ubah aja ? Kenapa gak kita ubah pandangan kalangan bawah menjadi pandangan kelas atas ? Tentunya dengan acara tv yang berkualitas. Semoga pemerintah kita denger, oh enggak, semoga seluruh masyarakat denger tentang keluhan ini.
Jarang nonton tipi bang, focus AEC2015. Dimari aja http://bit.ly/1atLdQJ dan http://on.fb.me/1eQpVnS
Setuju sekali bung, acara tv indonesia membuat saya lebih tertarik traveling untuk melihat indonesia dari dekat daripada duduk di depan layar kaca
There will be Pro and Kontra. Saya sendiri setelah melihat penjelasan hebat dari Om Pandji, termasuk Pro dengan topik ini. Lucu juga ya berita tentang TTA di atas, segitunya? Jadi inget di Mata Najwa, Pak Jokowi bilang, “Di Indonesia, saya yakin lebih banyak yg bagus daripada yg jelek. Tapi yg diliatin ke pemirsa malah yang jelek-jeleknya” Ya, contohnya para komentator blog Pandji ini kan termasuk yang bagus, banyak banget. Tapi yang buruk dari bangsa ini yg sering diperlihatkan, mungkin contohnya program televisi jaman sekarang.
Orang ‘bodoh’ jg lama2 muak di bego2in acara tv. Liat aja paling acara yg itu itu dan itu ratingnya tenggelam dan ga lama..
setuju sekali dengan artikel ini, saya juga mengulas tentang industri komedi tv yang terlalu membodohkan penonton disini http://www.baroindra.com/2013/12/ada-apa-dengan-acara-tv-indonesia.html , terima kasih sudah sepaham bang pandji.
Mau comment tulisannya Bang Pandji disini…tp setelah keasikan ngetik ternyata kepanjangan.. komen di blog aja ya bang…
http://lycheeicedtea.tumblr.com/post/72269675546/berhenti-bertuhan-pada-rating
Perubahan tentu saja bisa kita lakukan..secara perlahan, saya mulai dengan mematikan tv saat ada kumpul keluarga, terutama jika ponakan2 saya yang rata2 masih usia sekolah berkumpul dirumah, saya buat aturan Matikan TV dan main di luar. Tularkan virus itu ke keluarga terdekat, orang terdekat, mulai dari diri sendiri.
karena yang nonton emang kelas ,,
contoh : banyak orang yang memiliki pembantu ..
disaat majikan pergi untuk kerja meninggalkan rumah disaat itu pembantu ada yang dapat kesempatan nonton tv . gatau deh nonton apaan . bisa jadi nonton program tv yang ga bermutu ( ga boleh sebut merk) dan mungkin ada yang di tinggal nyala tuh tv ga di tonton untuk ngerjain pekerjaan rumah . itu yang membuat program tv ga jelas dapat bertahan .
just opini
arena yang nonton emang kelas bawah ,,
contoh : banyak orang yang memiliki pembantu ..
disaat majikan pergi untuk kerja meninggalkan rumah disaat itu pembantu ada yang dapat kesempatan nonton tv . gatau deh nonton apaan . bisa jadi nonton program tv yang ga bermutu ( ga boleh sebut merk) dan mungkin ada yang di tinggal nyala tuh tv ga di tonton untuk ngerjain pekerjaan rumah . itu yang membuat program tv ga jelas dapat bertahan .
just opini
Lambat laun pasti beberapa stasiun tv bakalan berbenah ke arah lebih modern dan informatif. cuma kalo suruh susun UUD buat 20% dokumenter rada sulit, stasiun tv negara aja bisa disulap buat siaran salah satu parpoll hhhaa
Lambat laun pasti beberapa stasiun tv bakalan berbenah ke arah lebih modern dan informatif. cuma kalo suruh susun UUD buat 20% dokumenter rada sulit, stasiun tv negara aja bisa disulap buat siaran salah satu parpoll hhhaa
*koreksi*
Setelah membaca artikel ini.
Saya hanya dapat mengemukakan.
Bukan hanya masyarakat indonesia atau penonton setia “The dave chapelle show” yang menderita penyakit ini. Saya bahkan berpikir hampir semua masyarakat diseluruh belahan dunia *ataupun saya sendiri* mengalami penyakit serupa. sebagai salah satu contohnya. Acara Tv WWE yang memiki turunan RAW dan SMACKDOWN yang sudah sangat mendunia memiliki sifat dorongan kreatif Program TV yang sama demi rating. Padahal Masyarakat Diseluruh belahan dunia sebagian besar adalah penonton setia acara tersebut. Dimana berbagai kontroversi dilakukan untuk mendongkrak popularitas acara tersebut.
Twitter : @_khaerulumam_
Penjelasannya bagus mas pandji,
Ini saya berikan contoh sedikit mungkin konteks permasalahannya beda tapi peranan pemimpin dibutuhkn. Mungkin diantara kita pernah merasakn jam tayang televisi dibatasi sampai jam 12 mlm waktu pemerintahan sby-JK. Saat itu pak JK mencoba utk mengontrol jam tyng televisi dgn maksud agar menghemat bbm. Mula2 stasiun tv protes, ttp pak JK bilang kpd pimpinannya. “Hei, kau mau protes? Klu berani, saya akan periksa pajakmu. Lagian, tidak ada lg iklan di atas jam 12 malam”. Ya saat itu jg semua tv mau mematikan/mengikuti jam tayang sampai jam 12 mlm kecuali siaran bola.
Mgkn kedepannya mas pandji kita butuh pemimpin yg mau mengontrol kualitas acara2 tv nasional sehingga muncul acara2 yg mendidik.
Disaat para stasiun tv bergerilya yg hnya memikirkan rating tapi kualitas NOL besar kita butuh seorg pemimpin yg mau mengubah acara tv kita mjd acara yg mendidik.
Sebenarnya ketika masyarakat kelas bawah kurang paham dengan tayangan televisi yg agak berbobot, mereka justru bisa belajar kan ya.
Masak iya penontonnya mau disuguhi hal-hal yang membuat otak tidak mau belajar?
Ah semoga stasiun TV mau belajar untuk membuat acara yang pantas untuk ditayangkan, bukan hanya sekedar mengejar rating, tapi juga demi membuat pintar yang menontonnya. 🙂
menyedihkannya mengenai televisi di Nusantara ini mas panji, entah sedih masih banyak penonton yang kurang mengenai literasi medianya, atau industri TV yang mencekoki penonton sesuai konten yang laku berdasarkan rating Nielsen.
bang tulisan ente yang ini jadi HT dikaskus.. dapet pesen positif semua lagi. emang keren dah ente bang
http://www.kaskus.co.id/thread/52c66f7f0e8b46e8660000ca
Mas Pandji,
Saya pribadi sangat setuju dan mendukung buah pikir Mas Pandji. Dan saya juga yakin, 90% bahkan mungkin lebih dari orang orang yang bisa mendapat akses terhadap buah pikir Mas Pandji ini setuju, bahkan sudah “memboikot” tayangan tayangan komersil tanpa kualitas yang sekarang banyak beredar di tv nasional.
Sayangnya ini juga membuat metode yang di gunakan Mas Pandji untuk menyampaikan buah pikir Mas Pandji ini jadi kurang efektif, karena dari awal sudah 90% lebih orang yang membaca berpikiran sama dengan Mas Pandji.
Kenyataan yang pahit kita tidak bisa menampik bahwa semua ujung ujungnya bisnis. TV berkualitas saya yakin selain unsur kebangsaan juga ada orientasi bisnis untuk menyasar kalangan menengah atas yang sudah muak dengan kualitas tv yang lain.
TV harus di arahkan ke fitrah asalnya sebagai media EDUKASI, tidak hanya hiburan. Dan saya rasa hanya dengan regulasi pemerintah ini bisa di lakukan. Tayangan berkualitas rendah seperti MSG, saya rasa sulit kalau kita berharap masyarakat kalangan bawah bisa sadar dengan sendirinya dan menuntut tayangan bermutu. Yang bisa di lakukan adalah membuat tidak ada pilihan lain di TV selain tayangan bermutu dengan regulasi pemerintah.
Sangat menyakitkan ketika menonton Cast Comic 8 harus menurunkan “harga diri” tampil di acara joged berkualitas rendah untuk promosi 🙁
Semuanya serba paradoks sebenarnya karena kalaupun ada tayangan televisi yang bermutu, maka yang nonton juga sedikit sekali, akibatnya tetap tidak ada edukasi ke masyarakat mengenai program acara TV yang bermutu. Jadi pada ujungnya tetap antara ayam dan telur, mana lebih dahulu.
Dulu almarhumah mama saya pernah bilang kalau dia sukanya acara TV yang ga pake mikir. Beda dengan saya yang cuma nonton acara TV yang bikin mikir. Hal seperti ini bisa terjadi karena mama saya sekolah cuma sampai SMP, sedang saya sampai sarjana. Untuk merubah ini semua, ya sepertinya bukan mulai dari stasiun TV nya, tapi dari kualitas pendidikannya.
Mungkin masyarakat emang lebih butuh hiburan daripada acara yg mendidik. #miris
Ada tulisan serupa dengan tulisan pandji di http://hafizkhusyairi.wordpress.com/2013/12/07/perbaikin-media-kita-yuk/
Selain alasan yang mirip, juga ada alternatif solusi. Siapa tahu bisa dieksekusi
Analisis yang bagus. Senang sekali menemukan satu lagi orang yang sependapat dengan saya. Dulu saya sempat berpikir kalau nggak nonton TV itu bikin saya kudet. Itu bisa benar di satu sisi, tapi di sisi lain saya justru berpikir itu “menyelamatkan” saya dari kehancuran karakter yang sekarang ditawarkan oleh banyak stasiun TV. Akhirnya, saya sekarang malah bersyukur karena nyaris tidak pernah bersentuhan dengan TV.
Sayangnya, itu baru saya. Belum orang lain. Saya hanya bisa berharap akan ada wajah-wajah baru yang melakukan pemurnian di TV-TV kita, atau wajah-wajah lama yang akhirnya kembali pada kemurnian itu. Saya hanya berharap mereka dapat mengembalikan “pendidikan” dan “karakter Indonesia” lewat TV.
Emang sulit ya, bikin acara yang pintar dan bermutu, tapi dimengerti dan disukai pemirsa dengan taraf pendidikan rendah? I mean, dulu aja ada acara penyuluhan pertanian di TVRI yang misinya mencerdaskan masyarakat desa and it worked well. Orang India bisa bikin adaptasi epik Mahabharata yang high concept, high budget dan penuh filosofi, tapi digilai orang2 hingga ke pelosok. Mungkin kuncinya berani mencoba. Di US banyak serial bagus yang di-cancel karena rating rendah, tapi mereka terus produksi. Kalau perlu promo di Youtube dulu. Yes, TV is full of rubbish. But instead of blaming them, why not trying to paint them gold. Dumb it down? How ’bout smart it up.
Ada sedikit kesan di tulisannya kalau kelas ekonomi menentukan tingkat intelektualitas. Yg bawah lebih bloon Dari yg atas. Dalam beberapa kasus saya sering melihat sebaliknya, dengan dimensi intelektualitas yg berbeda2.
Tapi over all saya setuju, khususnya isue pertelivisian. Mungkin benar regulasi2 perlu di buat untuk pencerdasan bangsa (apalagi mengingat banyak pemirsa anak2) bagi TV national. Karena bagi yg lebih beruntung ekonominya sering Kali, lebih punya pilihan oleh TV kabel, yg menurut saya juga masih banyak yg memiliki implikasi2 negativ seperti materialism, konsumerisme, news yg tidak imbang dll. Tapi paling tidak ada pilihan2.
Media TV memang sangat krusial berperan langsung dalam pendidikan. Sering pula di salah gunakan untuk indoktrinasi dll. Nyawa dari pertelivisian adalah hiburan dan pasar, tinggal iklim Dari hiburannya perlu di sesuaikan, mau di bawa kemana arah pasar atau di biarkan pasar berkembang jadi pasar tanpa regulasi.
TV sangat powerful dalam membentuk sosial, sangat krusial, Dan bisa jadi berbahaya tidak main2. Terima kasih utk tulisan2 seperti ini. Mengingat kan kita utk tidak meremehkan arah Dari sistem penyiaran seperti TV ini.
Dalam kondisi TV yg masih seperti ini, yuk kita ajak anak2 kita utk lebih banyak membaca, bersosialisasi beraktivitas di luar, utk menghindari terlalu banyak TV…tapi jangan bawa gadget.. krn itu satu masalah krusial yg lain lagi tuh….hahaha