Disclaimer:
Tulisan ini sudah pernah dimuat di Cosmopolitan Men dan sebagian kecil sudah pernah dimuat di pandji.com.
Ini adalah versi lengkapnya. Saya pikir mungkin ada manfaatnya kalau saya terbitkan lagi di sini
Selamat menikmati
Waktu kecil, pernah ada tebak tebakan di antara anak anak laki “Kalau kamu tinggal di pulau terpencil, dan di pulau tersebut hanya ada 2 perempuan jelek dan 1 laki laki ganteng. Mana yang akan kamu pacari?”
Walau selalu memicu perdebatan lucu, jawaban yang sering muncul adalah “Nggak akan pacarin siapapun..”. Tapi itu jawaban mudah. Dalam hidup, kenyataannya kita susah untuk bisa hidup tanpa kehadiran seorang pasangan, tanpa seseorang untuk berbagi hal hal terdalam dari diri kita. Nyaris tidak mungkin kita hidup sendirian. Maka apabila ini adalah kehidupan nyata, kita harus mengambi keputusan sulit. “Sebagai laki laki, saya mendingan menghabiskan hidup saya mencintai perempuan yang tidak enak dilihat, atau laki laki yang enak dilihat tapi… ya.. dia laki laki.”
Pertanyaannya mulai dilematis, ketika berpikir “Kalau saya memilih 1 di antara perempuan ini, saya harus pilih yang mana? Saya harus buat keputusan terbaik karena saya akan nyangkut bersama perempuan ini dalam waktu yang sangat lama.”
Mulailah kita berpikir “ah, andai dalam pilihan ada 1 perempuan yang sempurna”
Andai demikian, kenyataannya kita semua tahu, hidup tidak sesempurna itu.
Gambaran dilemma di atas, adalah gambaran sempurna terhadap fenomena Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah.
Tidak ada yang sempurna, tapi kita diminta untuk memilih. Bisa saja kita golput, tapi itu pilihan yang mudah. Terlalu mudah.
Dalam hidup, kita selalu dihadapkan kepada pilihan sulit. Kita bisa saja lari dari pilihan tersebut, tapi biasanya, kedewasaan datang dari kemauan untuk mengambil keputusan keputusan rumit dalam hidup.
As a matter of fact, I believe people have to make hard decisions, accept whatever consequences, live through it, learn from it, and by doing so we grow as a person.
Memilih, berarti bertanggung jawab terhadap pilihannya. Tidak memilih maka anda juga tidak bertanggung jawab terhadap apapun yang terjadi setelahnya.
Pilihan, ada di tangan anda
Sejak sentralisasi dihilangkan, banyak hal baik terjadi di segala penjuru Indonesia. Pertumbuhan kota dan desa mengalami peningkatan pesat, mereka kini memiliki kesempatan yang setara untuk bisa tumbuh. Keputusan untuk daerah masing masing dilakukan di daerah oleh pemimpin dan perwakilan daerah masing masing. Tidak lagi harus menunggu dari pusat. Tidak lagi tergantung dari pusat.
Sebagai bagian dari desentralisasi ini, rakyat kemudian punya kesempatan untuk bisa memilih pemimpinnya dan wakil wakilnya secara langsung. Sejak Juli 2005, didasari UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, rakyat bisa memilih langsung Gubernur, Bupati, Walikota, masing masing. Setelah UU no 22 tahun 2007 tentang pemilu kepala daerah disahkan, mulailah pemilihan kepala daerah yang bisa dipilih langsung oleh warganya, penikmat pertamanya, adalah warga DKI Jakarta pada pilkada 2007 antara Fauzi Bowo dan Adang Darajatun.
Sejak itu, banyak propinsi, kabupaten dan kota dihiasi (walau sebenarnya lebih tepat kalau disebut dikotori) oleh spanduk, baligo, poster, stiker wajah wajah para calon kepala daerah. Demokrasi, sebagai cara rakyat memilih langsung apa yang terbaik bagi dirinya, berubah jadi ajang mencari popularitas.
Iklan iklan pilkada di banyak daerah bentuknya bisa aneh aneh, walaupun lebih aneh lagi iklan kampanye calon anggota legilatif. Di kampanye caleg, ada baligo seorang calon legislatif bersalaman dengan Obama, tentunya dengan bantuan rekayasa Adobe Photoshop. Ada yang bergaya seakan terbang dengan menggunakan baju Superman. Ada yang bawa bawa nama anaknya yang merupakan seorang penyanyi terkenal, dll. Masing masing, mencari cara tersendiri agar mendapatkan popularitas tadi, termasuk di pemilihan kepala daerah
Sayang memang, bukannya mempromosikan program yang jelas dan terukur, banyak yang lebih mementingkan wajahnya terpampang di sudut sudut kota. Ini menunjukkan 2 hal, pertama bahwa rata rata calon kepala daerah ini tidak cukup dikenal rakyatnya sehingga merasa perlu meningkatkan awareness, kedua menunjukkan bahwa orang Indonesia sebenarnya lebih mementingkan figur daripada program. Kulit dari pada isi.
Bagaimana dengan kualitas dari hasil pilkada sejak dipilh langsung oleh warganya? Gambarannya begini: Secara rata rata, nyaris 50% hasil pilkada, berakhir di Mahkamah Konstitusi. Karena yang kalah, nyaris selalu merasa dicurangi. Di Mahkamah Konstitusi ada yang diterima kasusnya, ada yang dianggap tidak cukup kuat untuk diproses, ada yang hasil keputusannya bahwa ternyata tidak ditemukan kecurangan dan ada yang diputuskan untuk menggelar ulang pilkadanya. Ketika digelar untuk kedua kalinya, ada yang hasilnya beda, dan banyak yang hasilnya sama.
Sebagai contoh, ketika Septina Primawati dan pasanganya, Erizal Muluk maju menjadi walikota dan wakil walikota Pekanbaru, beliau kalah. Diajukan ke MK dan hasilnya agar dilakukan pilkada ulang. Ketika diulang, hasilnya masih sama. Ibu Septina dinyatakan kalah. Ibu Septina, yang merupakan istri dari Gubernur Riau, mengaku masih tidak terima.
Fenomena tadi menggambarkan bahwa banyak calon kepala daerah yang siap untuk menang, tapi tidak siap untuk menerima kekalahan, dan bisa juga menggambarkan kualitas penyelenggaraan pemilu kepala daerah yang masih berantakan.
Kualitas pelaksanannya, juga tidak lebih baik. Pilkada saat ini di Indonesia masih belum bisa melepaskan dirinya dari permainan money politics. Permainan ini, ada di segala lapisan dari akar rumput hingga permainan di tingkat tinggi. Semuanya, menurut saya didasari oleh satu faktor: Tidak adanya batas maksimal dana kampanye.
Saat ini, yang dibatasi adalah jumlah sumbangan dari perseorangan dan jumlah sumbangan dari kelompok atau perusahaan, namun apabila tidak ada batasan dana kampanye, maka dia yang punya uang paling banyak, memiliki peluang lebih besar untuk menang. Walaupun, tidak selalu demikian.
Kepala daerah memegang peranan penting terhadap semua hal yang terjadi di propinsi, kabupaten ataupun kota tersebut, itulah mengapa dalam kampanye, banyak pihak ingin mengambil kesempatan dalam pemenangan salah satu calon kepala daerah dari partai politik sampai pengusaha, tentunya dengan harapan dukungan dalam bentuk dana yang tidak sedikit inilah yang akan jadi hutang sang kepala daerah dan akan ditagihkan ketika menjabat nanti.
Kebutuhan setiap kepala daerah akan uang tentunya sangat tinggi, mengingat sampai dengan hari ini suara masih bisa dibeli. Beberapa kantong massa yang berpotensi untuk menambah suara, pasti dipegang oleh beberapa bahkan kadang oleh 1 orang. Apabila orang ini diberikan uang dalam cukup banyak, dia bisa mengarahkan massanya untuk memilih calon kepala daerah tersebut. Itulah mengapa, ormas ormas jadi permainan yang penting. Dalam laporan BPK, ditemukan bahwa menjelang pemilu kepala daerah banyak dana bansos dan hibah dari APBD yang meluncur untuk ormas ormas atau organisasi profesi tertentu. Incumbent, atau si pemegang kekuasaan punya kemungkinan terbesar untuk menang, karena banyak indikasi yang menyatakan dana dana APBD keluar dengan leluasa untuk kampanye sang incumbent, dalihnya bahwa dana tersebut digunakan untuk sosialisasi program. Tapi entah mengapa, sosialisasi program tersebut selalu dilakukan dengan gencar menjelang pilkada. Ada kasus di mana menjelang pilkada, sang incumbent menaikan gaji seluruh ketua RT di kotanya. Tidak ada yang bisa membuktikan bahwa ini adalah usaha pemenangan sang incumbent, tapi semua juga tahu kalau kita naik gaji maka hati kita akan tersenyum untuk atasan tersebut.
Di level yang lebih rendah, ada istilah “Serangan Fajar”. “Serangan Fajar” adalah usaha membeli suara warga dengan mendatangi warga di pagi hari pelaksanaan pilkada dan membagi bagikan uang. Sejauh ini, cukup efektif. Bahkan, ini ditunggu tunggu warganya karena sudah jadi kebiasaan. Kebiasaan buruk yang susah sekali diubah.
Pernah sekali waktu saya menanyakan kepada pedagang kaki lima yang ada di pinggir jalan Jakarta, siapa kira kira yang akan mereka pilih sebagai Gubernur Jakarta. Masing masing punya jawaban tersendiri, lalu saya sebut nama salah seorang calon, salah satunya langsung bereaksi “Ah pelit, ga pernah ngasi kaos..”. Bayangkan, kalau kaos saja bisa membuat mereka mengarahkan pilihan kepada seorang calon, apalagi uang?
Cara paling “murah” memang dengan menggandeng selebriti Indonesia. Sosok yang wajahnya sudah dikenal agar pasangan ini mendapatkan popularitas dan memenangkan preferensi warga. Banyak pasangan kepala daerah yang menggandeng selebriti Indonesia, beberapa di antaranya bahkan menang. Salah satunya Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat dan Dicky Chandra sebagai Wakil Bupati Garut. Namun lagi lagi, solusi ini adalah solusi yang relatif dangkal karena lalai dalam menawarkan program dan solusi sebagai daya tarik. Setiap calon kepala daerah merasa terlalu terlambat untuk mengedukasi masyarakat yang rata rata berpendidikan rendah ini, sehingga menurunkan standarnya dan bermain dalam ranah yang bisa diterima akal sehat warga.
Dengan segala kemunduran dalam praktek demokrasi di Indonesia, masihkah kita punya harapan?
Dalam perjalanan saya keliling Indonesia memenuhi undangan kampus kampus untuk berbicara mengenai semangat kebangsaan dan edukasi politik, ada 3 pertanyaan yang sering saya dapat:
- Mengapa tertarik politik?
- Apakah akan terjun ke dunia politik?
- Apakah masih ada harapan dalam dunia politik Indonesia?
Semua pertanyaan tersebut, selalu saya jawab dengan jawaban jawaban yang sama.
Saya tertarik kepada politik, karena saya tidak punya pilihan lain. Pada suatu hari, saya sadar bahwa selama kita hidup di Negara dengan satu system pemerintahan, maka kita pasti berpolitik. Mau tidak mau, disadari ataupun tidak. Setiap keputusan politik, berhubungan langsung dengan kehidupan kita semua.
Kita bisa saja tidak peduli dengan politik, tapi dengan itu, kita tidak akan sadar ketika kita dicurangi. Hasil kecurangannya, berdampak kepada diri kita sendiri. Dampak tersebut membuat kita kecewa, kekecewaan tersebut akan tampak ironis, karena diawali dari ketidak pedulian tadi.
Semakin kita buta politik, semakin mereka manfaatkan kebutaan kita.
Inilah yang terjadi pada era kepemimpinan Orde Baru dibawah 32 tahun rezim Soeharto. Orba secara sadar memisahkan rakyat dengan politik. Dibuat jauh. Dibuat bosan. Dibuat tidak peduli. Tiba tiba, seperti yang dilaporakan majalah TIME dan Transparency International, selama 32 tahun Soeharto menjabat sebagai Presiden, hilanglah Rp 350 Triliun dana APBN. Selama 32 tahun tersebut Soeharto yang dijuluki Bapak Pembangunan hanya membangun Pulau Jawa sehingga banyak daerah lain di Indonesia tertinggal bahkan terlupakan.
Ketidak pedulian kita, membawa korban. Korbannya adalah diri kita sendiri. Rakyat Indonesia.
Belakangan saya semakin tertarik dengan politik, karena politik Indonesia seperti sebuah kisah misteri tanpa ujung yang penuh intrik dan polemik. Seru menggali rahasia rahasianya, pusing memikirkan jalan keluarnya.
Lalu apakah saya akan terjun ke dunia politik? Jawabannya, tidak. Karena pokok permasalahan dalam dunia politik, terutama di DPR dan DPRD adalah minimnya wakil rakyat yang benar benar passionate terhadap Indonesia dan memiliki kompetensi. Kalau punya passion terhadap Indonesia tapi tidak punya kompetensi, maka tidak akan bisa berbuat apa apa. Kalau punya kompetensi tapi tidak memiliki kecintaan terhadap Indonesia sebagai jangkar, maka uang akan membuatnya terombang ambing menjauh dari aspirasi warganya.
Saya punya kecintaan yang besar kepada Indonesia, tapi saya harus akui, saya tidak punya kompetensi untuk misalnya masuk DPR ke dalam komisi apapun. Latar belakang pendidikan saya adalah Desain Produk. Andai ada komisi desain di DPR mungkin saya akan masuk, tapi sebelum itu ada maka tidak ada komisi dalam DPR yang bisa memanfaatkan kompetensi saya. Justru anda pembaca, apabila merasa memiliki minat terhadap politik, memiliki kecintaan terhadap Indonesia dan punya kompetensi yang tepat, saya menyarankan anda untuk terjun ke dunia politik. Apabila anda mahasiswa/i atau lulusan hukum, menyukai politik, mencintai Indonesia, harusnya anda yang masuk komisi III DPR RI. Kalau anda mahasiswa/i atau lulusan fakultas kedokteran, suka politik dan cinta Indonesia, sebaiknya anda masuk ke komisi IX DPR RI. Kalau anda mahasiswa/I atau lulusan Hubungan Internasional, mungkin anda cocok masuk ke komisi I DPR RI.
Selama orang orang terbaik kita menolak untuk masuk dunia politik, maka dunia politik itu akan selalu diisi oleh orang orang second best. Susah mengharapkan hasil terbaik, kalau yang mengerjakan bukanlah orang orang terbaik. Jadi buruknya kondisi politik Indonesia, sedikit banyak adalah salah rakyat Indonesianya sendiri yang malas atau tidak peduli. Tentu tidak mudah dan tidak instan. Jangan berharap anda masuk lalu keadaan berubah. Tapi kalau tidak ada yg memulai, lalu kapan perubahan akan terjadi?
Dalam konteks Kepala Daerah, kalau anda merasa mampu memimpin daerah anda, punya solusi untuk permasalahannya, gatal untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik, maka majulah. Tapi, tidak ada jalan yang mudah. Cara pertama, adalah lewat partai. Bisa saja anda masuk jadi DPRD menjadi wakil partai lalu meniti jalan menjadi kepala daerah. Atau anda mengajukan diri kepada salah satu partai dan meminta pinangan. Yang ini agak berat karena salah seorang calon kepala daerah pernah mengajukan konsepnya untuk mengubah Kotanya malah dimintai uang dalam jumlah luar biasa besar. Aneh memang, minta dukungan partai untuk mendapatkan bantuan dana, malah dimintai uang terlebih dahulu. Logikanya berantakan. Cara lain adalah lewat jalur independen yang sejak 2008 sudah dimungkinkan menurut UU. Namun cara ini, berat dari sisi pelaksanaan kampanye karena dari sisi dana, akan berat bersaing dengan calon dari partai., mengingat tidak ada plafon dana kampanye pilkada. Baru baru ini,calon independen walikota/wakil walikota Kota Kupang Jonas Salean dan Hermanus Man menang dalam putaran kedua Pemilukada Kota Kupang dan akan menjabat untuk periode 2012-2017. Namun dalam pilkada 2012 di DKI Jakarta ini seorang calon independen gagal meraih kemenangan. Faisal Basri menurut perhitungan Quick Count hanya mendapatkan 5% suara, namun yang menarik adalah, Faisal Basri & Biem Benyamin yang independen ini, berhasil mendapatkan suara di atas Alex Nurdin dan Nono Sampono yang didukung salah satu partai terbesar Indonesia: Golkar. Plus dukungan 17 partai lainnya. Apakah artinya ini?
Jawabannya, berkaitan dengan pertanyaan terakhir: Masihkah ada harapan?
Besarnya harapan perbaikan dalam dunia politik Indonesia, berbanding lurus dengan besarnya keinginan rakyatnya, terutama anak mudanya untuk memperbaiki keadaan tersebut.
Apabila minim keinginannya, maka minim pula harapannya. Mengapa demikian? Karena dalam sejarah dunia termasuk Indonesia, semua perubahan selalu dipicu oleh pemudanya. 1908 adalah seorang anak muda tingkat pertama kuliah bernama Sutomo yang mendirikan Budi Utomo. Di tahun 1928, adalah segerombol anak muda dari berbagai daerah Indonesia yang melahirkan Sumpah Pemuda. Tahun 1945, adalah pemuda yang memaksan Bung Karno dan Bung Hatta untuk merdeka secepatnya, para proklamator bahkan awalnya mau menunggu sesuai tanggal yang diberikan Jepang. Tahun 1998, adalah mahasiswa/i Indonesia yang merobohkan rezim Soeharto.
Maka, kalau kita berharap ada perubahan dalam dunia politik di Indonesia, harus pemudanya yang memicu perubahannya. Tapi tidak akan pemuda memicu perubahan dalam dunia politik, kalau tidak paham, tidak peduli dan tidak tertarik kepada politik.
Ketika orang orang terbaik Indonesia, memutuskan untuk mengubah Indonesia maka harapan akan perbaikan, selalu menyala. Kemenangan FaisalBiem atas Golkar dan 17 partai politik lainnya, menunjukkan bahwa uang partai bisa dikalahkan uang hasil saweran warga yang jumlahnya tentu tidak sebesar uang dari 18 partai politik. Hasil ini menunjukkan bahwa masih ada harapan. Memang harapan tersebut kecil, namun harapan saya 5% ini bagaikan 300 Spartan yang pada akhirnya kalah di tangan pasukan Persia, namun kisah perjuangannya tersebar ke seluruh penjuru negeri dan menginspirasi lebih banyak untuk berjuang dan melawan.
Itulah harapan yang tersimpan, dibalik masalah dalam Pilkada
1908 ke 1928 = 20 tahun, 1928 ke 1945 = 17 tahun, 1945 ke 1998 = 53 tahun, 1998 ke 20*** – Quo vadis pemuda/i negeri ini? #JustAsk
Antara 1945 ke 1998 ada 1977 (atau 76?)…
45 -> 77 = 32 tahun
77 -> 98 = 21 tahun
gw seh masih bingung, dan bener pengen tahu jawaban jujurnya. jadi, situ pilih 2 perempuan jelek atauuuuuu …. # dijwb MP juga gak masalah kok 😉
kegalauan saya terjawab. izin share ya mas pandji.
Maaf mas pandji, izin koreksi. Bukan Erizal Muluk yang jadi walikota Pekanbaru, melainkan Firdaus-Ayat Cahyadi. Sedangkan Erizal Muluk adalah wakilnya Septina ketika pilkada saat itu. Makasih mas.