“Ini tempat keren banget..” ujar saya kepada istri ketika kami duduk di dalam TeaterJakarta, TIM.
Kami diundang untuk nonton Matah Ati, sebuah pertunjukan opera mengkisahkan perjuangan seorang perempuan Solo dengan pasukan tentara perempuannya. Pertunjukannya luar biasa, tapi yang menempel di benak saya setelah keluar dari gedung tersebut adalah “Gue harus bikin spesial di tempat tadi..”
Maka Teater Jakarta berkapasitas 1200 orang menjadi target. Saat itu, saya belum lama menggelar Bhinneka Tunggal Tawa di Usmar Ismail, kapasitas 420 tapi karena membludak akhirnya saya membuat pertunjukan ke dua pada malam yang sama dan total menjual 680 tiket. 680 ke 1200, nampaknya di antara 2 angka tersebut 800 jadi angka yang cocok untuk jadi target penjualan tiket.
Saya menargetkan, setiap tahun target kapasitas penonton spesial saya akan saya tingkatkan. Tujuannya agar bisa tercapai apa yang saya targekan. Target ini agak mengada ada bagi banyak orang, kata orang agak terlalu tinggi, tapi saya tidak terbiasa bermimpi hal hal kecil. Hal hal kecil tidak perlu diimpikan, hal hal kecil bisa segera dilakukan. Saya senang bermimpi hal hal besar, tidak ada rasa malu akibat kegagalan mengejar hal besar. Perjuangan untuk mencapainya adalah wujud keberanian. Target puncak saya berkarir di Stand-Up adalah: Istora Senayan.
Kalau Russel Peters bisa, maka orang Indonesia juga pasti bisa. Pertanyannya tinggal: Siapa?
Saya bercita cita orang tersebut adalah saya.
Ketika angka 800 sudah ada di kepala, maka saya dan manajemen mulai memikirkan venue. Zaindra, yang sebenarnya adalah Road Manager saya untuk urusan hiphop mulai mencari cari venue. Banyak yang masuk dalam daftar tapi lama lama dicoret. Ada yang dicoret karena kapasitasnya terlalu besar, ada yang terlalu kecil, ada yang terlalu…. mahal.
Satu hari untuk kebutuhan shooting, saya bertemu dengan teman lama. Namanya Asep Kambali dan dia adalah juragannya komunitas Historia. Kalau bicara soal sejarah dan gedung bersejarah terutama di Jakarta, dia adalah orang yang tepat. Kami bertemu di Kota Tua, di depan Museum Fatahilah. Area bersejarah itu membuat saya terpikir, di antara museum museum ini, apakah ada yang memiliki auditorium. Bertanyalah saya kepada Asep dan dia memberikan beberapa opsi, salah satunya adalah Museum Nasional alias Museum Gajah.
Saya kemudian mencoba mampir ke sana dan ternyata Zaindra juga sedang survey lokasi. Saat itulah, saya jatuh cinta dengan tempat itu. Museum Nasional harusnya merupakan museum terpenting dan paling dasar kalau kita bicara sejarah Indonesia. Kenyataannya walau gedung barunya begitu menyenangkan dan memukau, pengunjung yang datang didominasi rombongan anak sekolahan dan guru guru mereka.
Auditorium yang dimiliki Museum Nasional kapasitasnya hanya 400 orang, namun ruang kaca di gedung baru, yang juga sering jadi tempat seminar dan acara pembukaan pameran, mampu menampung sekitar 800 orang. Saya lihat pilar pilar besar yang jadi ornamen ruang kaca dan saya ingat dalam hati saya berkata “Di situ panggungnya”.
***
Tur Merdeka Dalam Bercanda, seharusnya sekadar promo dari buku Merdeka Dalam Bercanda yang diterbitkan Bentang Pustaka, ternyata yang rencananya hanya 5 kota berkembang jadi 15 kota dan menjadikannya bukan hanya tur Stand-Up terbesar di Indonesia, tapi juga yang pertama hingga ke luar negeri (Singapore).
Idea + Ambition = History
Saya tulis buku Merdeka Dalam Bercanda sebagai literatur stand-up comedy pertama berbahasa Indonesia yang menuturkan proses ledakan Stand-Up Comedy di Indonesia hingga proses dibalik pengerjaan dan persiapan Stand-Up Spesial pertama di Indonesia, Bhinneka Tunggal Tawa.
Beruntung selain didukung Bentang Pustaka, tur ini bekerja sama dengan beberapa sponsor sehingga biaya akomodasi ke 15 kota sudah tertutupi. Setiap komunitas yang bekerja sama dengan kami mendapatkan 100 % pemasukan dari penjualan tiket. Uang yang mereka gunakan untuk membayar biaya promosi, cetak tiket, backdrop, sound system, lighting (beberapa kota menggunakan follow spot) dan sewa venue. Komunitas Stand-Up jadi belajar untuk menyelenggarakan pertunjukan, dan karena Anes dari manajemen saya meminta laporan keuangan dari setiap komunitas, merekapun terbiasa pencatatan keuangan yang rapih.
Tur adalah pengalaman berharga yang mahal dan melelahkan.
Saya benci bagian meninggalkan rumah, senang bagian berada di atas panggung, dan menantikan bagian pulang kembali ke keluarga.
Setiap kota, saya berhadapan dengan panggung yang berbeda, pengaturan kursi yang berbeda, kondisi sound dan lighting yang berbeda, kondisi akustik venue yang berbeda, dan terutama bertemu penonton yang berbeda.
Tiap kota tidak ada yang benar benar sama tapi inilah esensi dari tur, pengalaman berharga yang akan memantapkan keampuan saya sebagai seorang komika.
Saya pernah ketemu panggung yang mikrofonnya mati, panggung yang lightingnya berubah ubah warna dari merah, ke kuning ke ungu, ke biru lalu ke merah lagi (namun akhirnya saya matikan lampu tersebut dan diganti dengan lampu ruangan), ketemu panggung yang besar sekali dan yang sempit sekali, pernah ketemu yang jarak kursinya jauh dengan panggung sehingga harus kami rapatkan ke depan panggung, pernah ketemu sound yang tiba tiba mengeluarkan suara “NGOOOOOOOKKKK” yang keras sekali (bukan feedback, entah apa kami juga tidak tahu), pernah ketemu penonton kakek kakek dan nenek nenek, ketemu penonton umur 7 tahun yang nonton pakai pijama, penonton yang tiba tiba ditengah tengah keheningan saya melempar premis, bersuara “HUEKKK” kayak orang mau muntah, ketemu penonton yang sama sekali tidak ketawa tapi duduk paling depan, ketemu penonton yang duduk paling depan tapi main BB (pihak manajemen hotel yang mengontrol acara), bahkan saya pernah diheckle (secara tidak sengaja) sama panitia yang tiba tiba buka pintu yang ada di kanan panggung dan teriak manggil teman teman komunitas yang lagi duduk di depan panggung.
Saya melewati BANYAK. Semua pengalaman di atas menjadikan saya lebih mantap sebagai pemanggung.
Ini juga yang membuat saya, walaupun segala kendala teknis yang terjadi dan mungkin masih akan muncul, bisa naik panggung MDB Museum Nasional dan menjalankan set dengan baik.
Tapi yang paling berharga menurut saya dari tur adalah, saya bisa menemukan kekuatan dan kekurangan saya dalam stand-up comedy. Saya menyadari 4 hal yang jadi kekuatan saya: Riffing, Story Telling, Ekspresi Wajah, dan terutama… Act Out
Ada semacam tekanan menutup tahun di mana pada tahun 2012 ini Jakarta sudah disajikan berbagai macam pertunjukan seperti From Tiny To Funny-nya Ryan Adriandhy, Merem Melek-nya Ernest Prakasa, Tanpa Batas-nya Sammy notaslimboy, Marah Tawa-nya Setiawan Yogy, We Are Not Alrite, dll. Ada rasa yang memancing diri untuk bisa seperti mereka. Namun pada akhirnya, menjadi diri sendiri dan nyaman dengan itu adalah pilihan terbaik. Saya rasa menutup 2012 dengan special yang tetap “pandji banget” adalah pencapaian tersendiri untuk saya.
Tanggal 8 Desember 2012, saya naik panggung dengan meyakinkan diri bahwa saya sudah hafal dan mantap dengan set saya. Ini adalah set yang saya bawakan selama 14 kali di 14 kota dan di setiap kota set ini selalu berhasil. Badan saya sudah hafal. Istilahnya Muscle Memory-nya sudah kuat. Hanya sekitar 20% bit saya yang berbeda dengan kota kota lain sisanya sama. Bahkan selama 14 kota yang membuang, menambah, mengganti urutan, mempertajam punchline, melatih riffing sehingga di kota ke 15 Jakarta, saya bisa bawa yang terbaik.
Rencananya memang hanya 1 jam 30 menit tapi nyatanya yang terjadi adalah 1 jam 45 menit.
Pake acara kepleset pula pas naik tangga.
Belum juga sampe panggung, penonton udah ketawa.
Saya diuntungkan karena penonton sudah dibuat empuk oleh Adriano Qalbi yang membuka selama 20 menit. I hear all great things about Adriano from all sorts of people after the show. Ada banyak yang ngetweet memantapkan diri jadi fans beratnya gara gara penampilan itu. Saya memilih pembuka yang tepat.
Saya merasa bahkan selalu pilih pembuka yang tepat. Kalau dipikir pikir, pembuka saya dari BTT sudah ada yg bikin special & tour (Ernest dan Sammy) Luqman juga sudah buat pertunjukan spesial di JakFringe, Rindra sudah jad urban legend. Pembuka MDB juga ada yang bikin special (Setiawan Yogi), mini show (Oom Imot), Tur (Kemal Palevi), Kukuh bertumbuh jadi komika luar biasa dan bersama Adri dan Pange di We Are Not Alright jadi trio paling diincar banyak orang untuk ditonton.
Adriano Qalbi pertama kali memukau saya di talkshow karya tim Provocative Proactive, Ngompol (Ngomongin Politik) eX. Walaupun saya sudah menonton Adriano sebelumnya, termasuk bahkan saya masih ingat pertama kali dia openmic, tapi malam itu dia membuat saya dan Pange sikut sikutan sambil ngakak lompat lompatan. Sejak itu saya memantapkan untuk mengajak dia jadi opener MDB JKT.
The best thing about Adriano is that he is opinionated. The thing that makes him great is he knows inside-out all about creative writing. 2 modal penting untuk jadi komika.
Malam itu, Adriano melempar bit bit yang memantapkan kelasnya. Dari review yang saya baca, semuanya memuji bahkan memuja Adriano. Bagi komunitas, Adriano adalah sosok yang sangat terkenal, namun saya tahu persis membawa dia ke MDB akan membuat lebih banyak orang sadar sehebat apa dia. Penulisan hebat, delivery kelas kakap, emosi tebal, sensitifitas komedi unggul, keresahan yang kritis menjadikan Adriano berdiri di kelas yang berbeda dengan banyak komika lainnya.
Yang menarik adalah, dia tidak pernah mengunggah video ke youtube, anda mau nonton dia? Bayarlah tiket untuk nonton pertunjukan pertunjukannya. Sebagaimana banyak orang puas nonton dia (bersama Pangeran dan Kukuh) di “We Are Not Alright”
Usai Adri stand-up, penonton bukan hanya sudah dipanaskan oleh Adriano, topik topik dalam set Adriano membuat otak mereka juga siap untuk disuntik hal hal yang akan saya bawa.
Saya selalu membuka MDB dengan bit tentang saya dan Kena Deh, sebuah kenyataan yang di dalam hati saya cukup mengesalkan dan memalukan. Masak acara 2006 lebih terkenal dari apapun yang saya kerjakan dari 2007-2012?? Di antara Kena Deh dan Lirik Komedi (RIP) sudah ada lebih dari 30 acara TV yang saya bawakan termasuk Hole In The Wall, Provocative Proactive dan Stand-Up Comedy Indonesia. Tapi teteeeeeep aja yang ditanya “Nggak soting KenaDeh lagi mas?”
Ya udah kale, itukan 2006 jugaaaa.. uda lewat masanyaa..”
Alasan mengapa saya membuka dengan Kena Deh dan status skuter (selebritis kurang terkenal) adalah untuk merendahkan saya dan mendekatkan diri dengan penonton. Self Depracating. Mengajak penonton menertawakan saya. Kalau saya sudah menyediakan diri saya sendiri untuk jadi bahan tertawaan, buat saya akan lebih mudah untuk mengajak mereka menertawakan hal hal lain.
Bit tentang Raditya Dika juga sengaja saya masukkan seperti juga yang saya lakukan dalam Bhinneka Tunggal Tawa. Sedikit tribute untuk Raditya Dika yang bahkan hingga hari ini walaupun sedang meninggalkan Stand-Up Comedy secara resmi karena ingin fokus pada penulisan baik buku, film maupun acara TV, masih berkontribusi tinggi. Banyak peserta SUCI 1 dan 2 yang membagikan ilmunya kepada komunitas masing masing. Ilmu yang mereka dapatkan, turunnya dari Raditya Dika. Walaupun ada banyak acara Stand-Up Comedy di TV belakangan ini, hanya Stand-Up Comedy Indonesia KompasTV yang menyediakan kesempatan belajar Stand-up dengan Raditya Dika.
Saya melanjutkan dengan bit bit tentang rokok, sebagai salah satu keresahan sekaligus jadi bit “serius” pertama di MDB. Saya sempat kuatir membawakan bit ini di Jogjakarta yang keberpihakannya kepada rokok cukup tinggi termasuk oleh seniman dan budayawannya, tapi ternyata tetap berhasil menuai tawa. Saya memberikan fakta untuk dipertimbangkan oleh kita semua lewat bit ini, lewat berita yang menyatakan di 2013 bungkus rokok di Indonesia akan mulai seperti bungkus rokok di Singapore. Di kemasannya ada foto foto dampak merokok
Bit jalan jalan ke Padang, Medan, Semarang, Bandung adalah bagian dari usaha saya untuk menceritakan bagaimana Indonesia yang kaya akan kebiasaan dan budaya yang mengakar. Contoh bis kota di Padang yang penuh gambar…
dan ketika saya membahas ibu ibu nyirih di dalam pesawat Garuda Indonesia.
Saya lanjut kepada bit tentang jalan jalan ke luar negeri eperti Iceland dengan Phallological Museum-nya. Orang jarang ada yang percaya soal Phallalogical Museum hingga mereka ngegoogle sendiri dan menemukan foto ini
Saya juga membahas tentang sekolah di Amerika Serikat. Orang suka membandingkan pendidikan Indonesia dan Amerika, padahal saya punya banyak teman yang sekolah ke Amerika Serikat dan ajaibnya bahasa inggrisnya ngaconya bukan main. Tidak ada jaminan bahwa sekolah ke Amerika akan menjadikan anda orang yang sukses. Tidak ada jaminan bahwa sekolah di Amerika Serikat akan menjadikan anda lebih cerdas. Tidak ada bukti bahkan bahwa secara umum sekolah di Amerika lebih baik. Kalau anda sudah nonton film dokumenter “Waiting For Superman” tentang carut marutnya pendidikan di Amerika, anda akan mengerti mengapa secara ekonomi Amerika jeblok saat ini. Sebagai bayangan, Amerika Serikat adalah negara dengan angka pembunuhan di lingkungan sekolah tertinggi di dunia. Bayangkan, sekolah resikonya mati. Di Indonesia paling resikonya disetrap guru. Kelihatannya karena senjata berapi di Amerika dijual bebas seperti di sini jugal sonais
Hebatnya Amerika saya akui, adalah kemampuan untuk mengekspos hal hal baik dari mereka yang cuma segelintir ke permukaan dan dengan itu menutupi kekurangan mereka yang dominan. Sebagaimana industri film Holywood yang mewah membuat dunia seakan lupa bahwa angka pengangguran mereka tertinggi sejak The Great Depression dan pertumbuhan ekonomi mereka teramat kecil. Kita di Indonesia malah mengekspos orang orang segelintir yang berkelakuan minus dan seakan menutupi kearifan yang dominan. Sebagaimana penghalangan pembangunan gereja oleh massa yang memaki maki menutupi fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan umat muslim terbanyak di dunia dan bukan negara Islam, fakta yang membuktikan bahkan mayoritas umat muslim di Indonesia lebih senang keragaman ini terjaga.
Pendidikan di Indonesia memang sesuatu yang seringkali dibahas banyak orang namun masih banyak peluang perbaikannya. Ini bit saya selanjutnya di MDB setelah membahas pendidikan di Amerika Serikat, yang pada intinya ingin mengingatkan bahwa menurut saya alasan mengapa pendidikan Indonesia belum membawa kita maju adalah fokus kita yang lebih berorientasi kepada hasil ketimbang kepada proses. Padahal Korea Selatan yang murid muridnya tercerdas secara akademis mulai dipaksa untuk mengurangi belajar karena kebanyakan belajar ternyata tidak baik, terbukti dengan hadirnya satgas anti belajar di Korea Selatan. Selain itu, pendidikan kita masih dimanfaatkan untuk diri sendiri dan bukan kita gunakan untuk kebaikan orang lain.
Tujuan utama pendidikan harus jadi fokus adalah untuk memastikan demokrasi kita memberi hasil yang berkualitas. Karena demokrasi tidak akan membawa hasil yang baik kalau rakyatnya tidak dilengkapi kemampuan berdemokrasi. Lihat pilkada sebagai produk dari demokrasi kita, berorientasi hasil padahal prosesnya penuh “serangan fajar” dan kecurangan kecurangan. Bahkan di Slovakia, ketika atas nama demokrasi pemerintahnya memberikan kesempatan bagi rakyatnya untuk memberi nama sebuah jembatan, yang muncul sebagai nama teratas adalah : Chuck Norris.
Lihat kebebasan yang kita miliki, dipakai sembarangan seperti anak kecil yang terlalu muda untuk main video game sehingga hanya dibanting banting dan dilempar lempar. Sok menertawakan SBY penuh pencitraan padahal kita semua ini bangsa yang lebih peduli citra daripada substansi.
Saya membahas bagaimana orang Indonesia (termasuk saya) senang berbahasa inggris karena enak dilidah dan keren padahal bukan sedang berbincang dengan orang asing. Terbukti dari banyaknya kursus bahasa Inggris yang fokus pada PEDE berbahasa inggris, bukan BISA berbahasa inggris.
Dari jaman kerajaan sebelum ada Indonesia hingga hari ini, kita benar benar peduli dengan penampilan, dengan kulit, dengan citra. Dimana integritas kita ketika kita menertawakan orang lain padahal sendirinya juga melakukan hal yang sama seperti yang ditertawakan tadi?
Sok menertawakan SBY presiden seremonial padahal kita sebangsa bangsa ini ya bangsa seremonial. Sebelum melakukan sesuatu ya pasti kita lakukan semacam seremonial kecil. Bikin pesta pernikahan besar besaran, kemudian memasuki hari pertama pernikahan bingung besok mau makan apa. Bisa mengeluarkan 20juta rupiah untuk resepsi pernikahan tapi ketemu uang masuk TK anak dengan angka yang sama kelimpungan.
Saya juga membahas bagaimana rakyat Indonesia harus memaksimalkan potensi kita: Nongkrong.
Saya sama sekali tidak bercanda ketika bilang potensi Indonesia adalah nongkrong.
Kita bisa merdeka bahkan karena sebuah tongkrongan bernama Indische Veereniging yang awalnya kegiatannya bikin pesta pesta namun ketika datang Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) masuk pada tahun 1913, mereka mengisi tongkrongan tersebut dengan misi. Akhirnya Indische Veereniging jadi salah satu awal pergerakan kemerdekaan yang penting dengan melahirkan Manifesto 25 yang jadi akar lahirnya Sumpah Pemuda.
Indonesia, dari Aceh sampai Papua punya budaya ngumpul ngumpul yang mendarah daging. Ini bukan hanya budaya kelas menengah yang nongkrong di Anomali atau Starbucks, tapi juga masyarakat kelas atas punya kebiasaan Arisan yang duitnya puluhan juta dan masyarakat kampung Bulukumba Sulawesi Selatan di setiap rumah ada seperti gubuk kecil depan pagar rumahnya untuk duduk duduk. Kalau kita ke Desa Gantung di Belitung, maka kita akan menemui satu jalan yang dari ujung ke ujung isinya warung warung kopi dan selalu penuh ditongkrongin orang orang berbagai usia.
Kalau tongkrongan ini dimanfaatkan dengan baik oleh kita, maka kantong kantong tongkrongan ini bisa jadi sesuatu yang sangat kuat.
Perusahaan dan bahkan negara banyak yang memanfaatkan kantong kantong tongkrongan di Indonesia yang biasanya berbentuk komunitas. Perhatikan baik baik bagaimana brand sering bekerja sama dengan komunitas komunitas. Perhatikan juga bagaimana Amerika Serikat mendirikan sebuah pusat kebudayaan tercanggih di dunia untuk pertama kali di Indonesia. Namanya Atamerica.
Atamerica di Pacific Place adalah sebuah tempat yang bisa digunakan secara gratis oleh komunitas komunitas apapun. Dari pertama kali berdiri hingga hari ini, Atamerica sudah jadi tempat untuk berbagai komunitas bikin acara. Dari komunitas Stand-Up Comedy sampai penggemar anime Jepang. Amerika Serikat berusaha untuk penetratif dan berharap untuk bisa lebih diterima masyarakat Indonesia, komunitas demi komunitas.
Dalam bit comedy saya di Merdeka Dalam Bercanda, saya membahas bagaimana 7-Eleven Indonesia dibahas New York Times karena dengan sukses memanfaatkan budaya nongkrong. Bisa di baca di sini
Setelah, panjang membahas banyak sisi dari Indonesia, seperti yang selalu saya lakukan di semua kota, saya riffing penonton. Riffing adalah istilah ketika komika yang di atas panggung, ngobrol dengan penonton dan menciptakan kelucuan dari situ.
Saya sengaja mengasah kemampuan riffing saya dari kota ke kota. Bukan hanya saya merasa mampu, tapi mengingat kultur kesenian panggung Indonesia, saya merasa perlu.
Suatu hari, di talkshow saya untuk KompasTV berjudul 180 derajat saya mewawancarai promotor teater yang hanya mengangkat kesenian tradisional dan mengangkat kisah kisah tradisional Indonesia. Beliau berkata kalau kita perhatikan kesenian panggung di Indonesia dari ujung ke ujung, memiliki 2 kesamaan: Selalu dekat dengan penonton (bahkan kadang ditengah tengah alias dikelilingi penonton) dan selalu melibatkan penonton ke dalam pertunjukan.
Stand-Up Comedy katanya ilmunya datang dari luar, tapi saya sendiri adalah orang Indonesia. Maka wajar bagi saya kalau saya memasukkan unsur ke-Indonesiaan dalam ciri khas pertunjukan komedi saya. Sejauh pengamatan saya, ada 2 ciri kesenian pertunjukan tradisional yang pada akhirnya saya masukkan secara sadar ke dalam pertunjukan saya: Dongeng (story telling) dan Interaktif (Riffing).
Orang Indonesia, terbiasa sekali berdongeng atau didongengkan. Setiap daerah pasti punya dongeng khas daerah masing masing. Karena itu, memahami bahwa orang Indonesia sudah mendarah daging terbiasa didongengi, saya mempelajari Bill Cosby, Nick Swardson, Louis CK dan Kevin Hart yang kuat di story telling. Saya pelajari cara mereka menanam komedi dalam sebuah cerita dan saya coba praktekkan. MDB ada banyak story tellingnya, dari bit Kena Deh, bit artis ga terkenal, bit mahasiswa demo, bit tentang Dipo, sampai bit penutup saya tentang Shanghai.
Perhatikan Srimulat.
Tidakkah isinya dongeng dan tidakkah interaksi mereka dengan penonton jadi bagian integral dari pertunjukan mereka? Perhatikan bagaimana penonton yang melempar bungkus rokok menciptakan kelucuan spontan di atas panggung (di TV anda tidak akan melihat ini, tapi di panggung off air setiap kali pertunjukan selalu ada yang melempar bungkus rokok ke panggung dan biasanya isinya uang. Semacam saweran. Biasanya pelawak srimulat yang sedang dipanggung kemudian merespon lemparan tersebut). Perhatikan bagaimana Mas Tukul Arwana mendesain agar penonton interaktif dengan dirinya setiap kali dia bergerak, penontonnya teriak “EAA, EAAA, EAAA, EEEAAAA..”. Perhatikan bagaimana Kesenian Lenong Betawi selalu melempar “Oy penontoooon” dan bahkan celetukan penonton sering jadi bumbu yang menambah ramai pertunjukan.
Masyarakat Indonesia, terbiasa selalu ingin jadi bagian dari pertunjukan yang dia tonton. Karenanya, dengan riffing dan kemampuan untuk berinteraksi dengan penonton yang prima akan membuat pertunjukan saya lebih mudah diterima dan lebih menarik di benak mereka. Bukan masalah kualitas, tapi masalah kebiasaan.
Untuk ini, saya belajar banyak dari DL Hughley dan Jimmy Carr, ditambah pengalaman saya sebagai MC selama bertahun tahun dan dijajal dalam setiap kali saya melakukan pertunjukan Stand-Up. Ini kumpulan video Jimmy Carr vs penonton
Ketika di MDB Jakarta, kemampuan interaksi saya menjadi bumbu pertunjukan yang menjadikan pertunjukan saya unik dibandingkan dengan spesial lain terutama dalam tahun 2012. Bukan hanya riffing yang saya jadikan segmen khusus, tapi celetukan penonton juga saya olah jadi bahan seperti ketika saya sedang membahas Alexis tiba tiba seorang penonton teriak “Ngapain lo ke Alexis?”. Komika lain mungkin goyah tempo-nya, tapi karena terbiasa, saya refleks menyahut “Ngapain gue ke Alexis? Ya……. riset.” dan ucapan itu menuai tawa dari penonton.
Setelah sesi riffing, saya jadi lebih tenang. Keringat tidak mengucur seperti 15 menit pertama padahal harusnya sudah lebih lelah. Kelihatannya suara tawa penonton yang meledak ledak lama lama jadi penenang dan penambah percaya diri. Setiap kali mereka tertawa, rasanya seperti disuntik energi. Apalagi saya tahu betul komika rekan seperjuangan dan orang orang yang saya hormati ada di antara penonton dan ikut tertawa. Ada kebahagiaan kecil dalam hati saya.
membahas soal diri saya kembali, tentang istri saya dan sulitnya saya selingkuh dari dirinya, juga cerita tentang kedua anak saya Shira dan Dipo. Adalah Louis CK yan meyakinkan saya untuk membahas tentang anak saya karena sesungguhnya, kecintaan saya terhadap anak anak saya begitu besar. Saya selalu ingin bercerita tentang anak anak saya. Bahkan dalam obrolan keseharian, saya sering bercerita tentang mereka. Semua yang saya ceritakan tentang Dipo adalah nyata. Banyak yang ragu tapi istri saya adalah saksi mata dari kejadian kejadian tersebut.
Saya lanjut bicara soal FPI, IndonesiaTanpaFPI dan IndonesiaTanpaJIL, tentang Liberalisme, tentang Pluralisme, tentang hal hal yang mengisi 2012 ini. Saya sangat ingin membahas dan saya puas bisa memasukkan ini dalam set MDB. Terus terang, topik di atas tadi paling mengganggu pikiran saya. Saya merasa, selama masih ada IndonesiaTanpaTanpa-an, maka Indonesia masih tidak pro-demokrasi karena demokrasi pro-pilihan. Jangan pilihannya yang dikurangi tapi kedewasaan dalam bersikap yang harusnya ditingkatkan.
Sering sekali terjadi di Indonesia, konflik karena istilah. Konflik karena kata dan maknanya.
Inilah yang mendorong saya membahas tentang kata dan kekuatan yang tertanam dalam kata. Topik ini, sudah pernah dibahas Louis CK, Chris Rock, George Carlin, Richard Pryor, DL Hughley, karena sebagai komika, kami sadar betul kekuatan sebuah kata dan apa yang menjadikan kata tersebut kuat. Bagi saya, membahas ini penting. Selama saya bisa menanamkan argumen saya ke dalam benak penonton, saya sudah cukup puas. Ini kontribusi saya untuk persatuan di Indonesia. Ini cara saya untuk mencoba mengurangi konflik.
Dari Bhinneka Tunggal Tawa sampai Merdeka Dalam Bercanda, saya menekankan pentingnya komunikasi yang berkualitas. Di BTT ada “Memahami maksud dan bukan hanya mencerna apa yang terucap” sementara di MDB ada “Tidak ada kata yang buruk. Kita yang memasukkan konteks dalam kata”
Saya kemudian lanjut berbicara tentang “orang yang marah marah akan cenderung melakukan hal yang bodoh” karena memang di 2012 juga banyak orang yang mengacungkan pistol dan banyak kekerasan masih terjadi di Indonesia. Kemudian saya masuk ke bit terakhir saya yaitu bit Shanghai. Bit yang sebenarnya sudah ada dari lama, tapi saya putuskan untuk masukkan dalam set MDB dengan 2 alasan:
- Selalu berhasil membuat pecah
- Supaya terdokumentasi dalam DVD.
Usai bit itu saya lempar, saya menutup perjalanan panjang Merdeka Dalam Bercanda.
Lega rasanya.
Bangga juga.
Bahagia yang saya rasakan tidak bisa saya tutupi karena terlalu besar dan seakan meledak ledak.
Saya sudah ke 15 kota
Bertemu 4.690 orang
Stand-Up selama 1.499 menit atau 24 jam lebih sedikit.
Saya naik pesawat, kereta, juga mobil untuk mencapai ke kota kota tujuan MDB.
Akhirnya semua itu usai.
Di tahun 2012, saya telah menjadi komika yang lebih matang dan bahkan setelah melewati pencapaian di atas saya masih tetap bisa ngebom parah (gagal bikin ketawa) sebagaimana yang terjadi kepada saya di acara penarikan nomor urut Pilkada Jabar, live di KompasTV. Mengajarkan saya bahwa jangan sampai segala pencapaian membuat saya lengah dan sombong. Saya harus tetap lakukan persiapan dan harus tetap siaga.
Akibat kejadian saya ngebom kemarin, banyak orang menyalahkan jenis acara, ada yang menyalahkan 5 pasang cagub-cawagub yang nonton jaim (ada Rieke-Teten, Ahmad Heryawan-Deddy Miwar, Dede Yusuf-Laksmana, dll) , atau menyalahkan karakter penonton (800 penonton di sabuga hari itu adalah massa pendukung 5 cagub-cawagub. Masing masing pasangan diminta membawa 150 massa pendukung), atau menyalahkan kompasTV karena menekan saya sehingga materinya tidak bebas dan ada juga yang menyalahkan singkatnya waktu yang saya dapat (4 menit untuk stand-up) sebagai kambing hitam kegagalan saya. Mereka bilang penontonnya tidak mengerti atau penontonnya tidak sopan atau berperangai buruk karena menyoraki saya “TURUUUUUN” dan “NGGAK LUCUUUUU” dan “DANGDUT AJAAAA”.
Padahal, kegagalan saya adalah 100% kesalahan saya.
Begini alasannya, saya membuka set saya dengan bit tentang kota Bandung (sesuai konteksi lokasi tempat saya stand-up). Bitnya berbunyi seperti ini:
“Bandung itu distronya banyak banget, tapi yang bikin pusing bukan distronya melainkan plang info distronya. “Distro A sebentar lagi”. “Distro B sudah dekat”. “Distro C 200m”. Saya jadi pengen bikin distro, toko distronya saya kasih nama “KIAMAT”. Lalu 200 meter dari distro itu saya pasang plang “KIAMAT SUDAH DEKAT”
Joke saya adalah pada “Kiamat sudah dekat” yang mengacu kpd gosip 2012 mau kiamat dan pematahan logika “(distro) KIAMAT SUDAH DEKAT”.
Yang saya tidak tahu (tahu sih, tapi lupa banget hari itu), “KIAMAT SUDAH DEKAT” adalah judul film Deddy Mizwar, calon wakil gubernur-nya Ahmad Herryawan. Gubernur Jabar Incumbunt dari PKS yang akan maju lagi di 2012. Sialnya, kebetulan setelah saya lempar punchline “KIAMAT SUDAH DEKAT”, kameranya menyorot Deddy Mizwar yang terkekeh menonton saya.
Walhasil, 80% isi SABUGA menyoraki saya karena berpikir saya colongan menunjukkan saya mendukung Aher-Deddy Mizwar. Di akhir acara, salah satu cagub sempat bertanya bisik bisik kepada orang KompasTV “Si Pandji itu emang ngedukung Ahmad Heryawan ya?”
Saya gagal hari itu, bukan karena penonton, bukan karena waktu yang singkat, bukan karena orang lain, tapi karena di bit pertama saya sudah membuat penonton hilang simpati kepada saya.
Gara gara ini, apapun yang saya omongkan berikutnya, salah di mata mereka. Makanya mereka ingin saya turun, mungkin mereka sudah males melihat saya dan kuatir saya akan promo colongan lagi.
Hari itu memang antar pendukung cukup rusuh, setiap kali ada yang yel yel dari satu kubu, disambut dengan yel yel lebih keras dari kubu lain. Bahkan ketika McDanny, komika yang hari itu bertugas sebagai MC off air, bikin games untuk penonton, ada pendukung salah satu kubu yang mendatangi McDanny dan protes “Kok ngasih kesempatan menang untuk pendukung Aher-Mizwar mulu sih?” kata McDanny “Ya mereka yang maju untuk menjawab orangnya pinter pinter, makanya dari (kubu) situ majuin orang yang pinter dong!”
Andaikan saya tidak lengah dan melakukan persiapan, modal googling aja, tentu saya akan terhindari dari kejadian ini. Tapi saya angkuh dan lalai dan akhirnya kena batunya sendiri.
Lucu kalau saya pikir pikir.
Pait, tapi lucu banget. Pantesaaan, pikir saya. Ternyata emang saya yang goblok.
2012 telah menjad tahun yang berharga untuk karir stand-up saya.
Kini menjelang 2013, di benak saya tinggal 1:
Saatnya menuju Teater Jakarta.
Saatnya saya raih angka 1200.
Saatnya mulai menulis.
Saatnya kembali openmic.
saya dari malang dan sangat siap untuk menonton pertunjukan teater jakarta dan siap mendukung komika indonesia
Tulisan lo bikin kita sadar, khususnya buat :
– Yg lg punya impian harus optimis, setelah ngeliat pencapaian BTT & MDB. Susah tapi, pasti bisa!!!
– Yg udah sukses harus kembali membumi, setelah ngeliat fenomena ngeBom di Penarikan no urut Cagub.
– Dan khususnya buat para komika, ngebuat kita sadar karakter penonton Indonesia yg sangat unik.
Thanks Ji.. 🙂
Inspiratif…
Apaun itu harus di persiapkan..biarcga meleset..klo udah di persiapkan masih mekeset juga..”Takdir” namanya…
Ditunggu bang acaranya. Insya allah akan nonton pasti.. 🙂
keren bgt om,,,briliant,,
Gw yg lu riffling kmrn bang.Suer,show kmrn keren banget… 😀 Can’t wait next year.See u in Teater Jakarta bang…. 😀
Tulisan ini membuka mata saya om pandji, betapa indahnya proses , dan hasil belum tentu lebih indah dari prosesnya meskipun hasilnya ya emang menyenangkan .
dvd-nya bisa beli di mana, bung?
ane bongkar2 linknya kok gak ada?
bisa kirim pake tiki jne kan.
buat ente (atau kompilasi komik2 lokal lain) ane mau beli tu cd.
kalo boleh usul harga: 80rb max, per title. minus ongkir.
http://www.jakartabeat.net/humaniora/kanal-humaniora/analisis/item/1656-ada-apa-dengan-stand-up-komedi.html
GURU.. jdikn driku ini mnjadi sorang comics yg hebat bkn hnya membuat orang tertawa tpi mbuat orang trinspirasi
oleh diriku…
mungkin hamba yg miskin ilmu ini agk mengemis guru tpi jiwa stand up comedy sdh mengalir ke nadi ini..
bhkn sdh mnjdi cita-cita hamba WAHAI GURU BESAR…..
insoiratif sekali, semoga stand up comedy indonesia semakin maju
kak Pandji kita mau mengadakan batle stand up comedy di Pacitan. kotanya pak presiden SBY …. mohon petunjuk dan saran agar dapat terselenggara dg sukses. maklum pengalaman pertama mengadakannya. jika berkenan dgn senang hati kami menanti. cp kami 087758156293