Jester.
Orang yang pada jaman kerajaan Inggris dulu berperan sebagai penghibur Raja beserta keluarga. Biasanya di kartu remi disebut Joker.
Kalau garing alias ga lucu, Jester bisa diusir dari istana atau paling ekstrimnya dihukum gantung.
Banyak orang menganggap ini adalah asal muasal atau setidaknya ini adalah catatan terdini akan adanya seorang pelawak tunggal.
Berawal dari Inggris, dipopulerkan di Amerika serikat sebagai social commentary, meledak kemudian di Indonesia sebagai alternatif komedi, lalu seorang komika dalam World Tournya kembali ke tanah kelahiran Stand-up comedy utk berpertunjukan.
Ada perasaan yg berkecamuk dalam diri saya untuk stand-up di negara kelahiran stand-up comedy.
Pertunjukan saya dilakukan di sebuah gedung teater fasilitas kampus. Kami datang lebih awal. Saya selalu meminta waktu selama 2 jam sebelum acara untuk dikosongkan. Tidak ada persiapan khusus.
Saya hanya menenangkan diri, menyiapkan mental & tidak ingin sibuk mengurusi hal hal lain sebelum acara.
Hal terpenting bagi seorang komika adalah selalu mood. Dan walaupun sebagai komika profesional kita harus bisa mengalahkan mood buruk namun kerjanya jadi ekstra. Makanya saya sebisa mungkin menghindari hal hal yang buat saya ngomel, panik & marah marah.
Beri saya 2 jam kosong sebelum acara & saya akan siapkan mental.
Tidak jauh dari Greenwood Theatre Kings College ada sebuah tempat brunch yg memadai untuk kami ber 7 menunggu
Selama tur kami selalu jalan ber 7. Ada saya, 1 org opener (tiap kota gantian Awwe, Gilang & Krisna), ada Zaindra, Manajer saya. Ada Ben, Road Manajer saya. Ada Pio alias Mbicu, fotografer & videographer saya, ada Danis Soundman sekaligus Merchandiser (namun waktu di London posisinya digantikan Vira alias Ito, sekretaris manajemen) & orang ke tujuh adalah followers saya yang menang lomba blog #BersamaGaruda. Di kota London adalah Bhagus.
Pertunjukan MBWT di London berjalan dengan sangat baik. Walaupun secara jumlah penonton tidak sebanyak yang ditargetkan teman teman panitia. Saya sendiri tidak pernah berbeda performanya di depan berapapun penonton. Bahkan kemarin di London saya stand-up 2 jam.
Kumat.
Rencananya 1.5 jam malah kebablasan 30 menit.
Keasikan gara-gara penontonnya enak.
Sisanya kami menjalankan tanggung jawab kami untuk sponsor yaitu membuat video video untuk mendokumentasikan perjalanan kami di London.
London itu kota yg gedenya bukan main. Bisa jadi 3-4 kali lipatnya Jakarta.
Terbagi jadi 5 zona. Zona 1 pusat kota, makin besar angkanya makin ke pinggir kota.
Macetnya ampun2an. Mahalnya ampun2an.
Bagusnya transportasi umum memadai & walaupun ada Tube (kereta bawah tanah) yang menjangkau banyak area London tapi rutenya amburadul bukan main. Kusut.
Tapi London adalah salah satu kota yang meninggalkan kesan mendalam 🙂 Walau besar & melelahkan, tapi London ini memang cukup mengagumkan
Kami kemana mana di London menggunakan berbagai cara. Naik bis, naik tube, naik taksi, juga jalan kaki. Kami datangi semua lokasi andalan turis. BigBen, London Eye, Picadilly, Abbey Road, Camden Lock, Hamsley (toko mainan tertua di Inggris) bahkan KBRI-pun kami datangi.
London itu seperti Jakarta dalam hal menjadi sebuah “Melting Pot”. Bedanya, Jakarta itu untuk konteks nasional, London itu untuk dunia. Tampaknya berbagai suku, ras, kewarga-negaraan ada di kota London. Hidup berdampingan. Walau memang ada saja orang orang inggris yang rasis. Tapi dimanapun ada kok orang rasis. Indonesia juga ada. Manusia ada yg baik & jahat di mana mana, tinggal mampu atau tidak pemerintahnya melakukan penegakkan hukum saja.
Menarik memang bertumbuhnya perspektif saya akan hidup bernegara, terutama karena semakin banyak kota yang saya datangi semakin luas wawasan saya.
Mesakke Bangsaku World Tour sudah setengah jalan. Sudah 5 dari 10 kota kami jalani.
Singapore, Melbourne, Adelaide, Brisbane, London sudah lewat.
Menanti di depan, Berlin, Amsterdam, Guangzhou, Beijing & Los Angeles.
Melelahkan, tapi untungnya Garuda Indonesia memudahkan kami segala hal terkait penerbangan.
Mereka itu mensponsori kami, tapi kelakuan mereka tidak bagaikan raja. Sebaliknya, kami diperlakukan bagaikan raja oleh mereka. Di luar pelayanan kelas dunia yang membuat Garuda Indonesia mendapatkan penghargaan dunia “The World’s Best Cabin Crew” & “The World’s Best Economy Class” kami dijamu hal hal lebih yang membuat perjalanan lebih nyaman.
Di darat kami dijamu di international executive lounge padahal tiket kami ekonomi. Di pesawat kami menikmati layanan wifi (sureal rasanya bisa ngetweet di atas pesawat yang sedang terbang. Pengalaman tak tertandingi) , nonton film film keren (saya nonton 3 film berturut-turut: Linsanity sebuah film dokumenter tentang Jeremy Lin, Edge Of Tomorrow & 22 Jump Street) juga yang tak kalah penting: di bawah kursi masing masing penumpang ada colokan listrik. Cocok bagi kami yang terbang 16 jam Jakarta – London.
Saat tulisan ini dibuat, saya baru dapat kabar via akun twitter teman saya yang membantu mengurusi Visa bahwa Visa Schengen kami sudah keluar. Lega rasanya. Dalam beberapa hari lagi kami ber-8 (Gamila kali ini ikut ke Eropa) akan berangkat ke Amsterdam – Berlin.
Saya ga sabar untuk menjalaninya & bercerita kepada anda.
Till then 🙂
itu mas gilang rambutnya jadi unyu ya kyk beringin remaja 😀
WOW.. mesakke bangsaku, bocah enome wis mubeng2 dunyo…
bangsane dewe mugo2 iso ngregani..
Wow.. Makin gak sabar nungguin Beijing nih mas Pandji 😀
Sukses selalu..
ajak ajak dong 😀
Kebetulan Mas Bhagus adalah teman dekat saya (sama2 komunitas di Mac Club Indonesia) keren mas Pandji… pengen bisa ikutan mas Pandji juga.. hehehehee…