Pilkada itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sepak bola.
Ambil contoh, kritik banyak orang terhadap ucapan Mas Anies yang mau melanjutkan program Pak Basuki yang baik untuk warganya. Dituding sebagai bukti bahwa Anies-Sandi tidak punya program dan hanya mendompleng program sukses orang.
Di Sepakbola, apabila seorang manager baru datang ke sebuah klub. Dia akan mempelajari pemain pemain yang dia miliki, dipertimbangkan dengan strategi yang akan dia jalankan. Yang dirasa tidak akan sesuai dengan pola dan strategi dia ke depan, akan diganti. Besar kemungkinan dia akan membawa pemain baru ke klub. Tapi pemain pemain lain yang dirasa cocok, ya tentu dipertahankan. Tidak perlu dijual. Untuk apa?
Buat apa semua pemain dibuang dan diganti 100% dengan yang baru? Dana yang sudah keluar untuk beli pemain itu jadi percuma. Sia-sia. Apalagi kalau sebenarnya pemain tersebut memang akan terpakai karena sesuai strategi. Toh tujuan akhirnya adalah kemenangan tim. Kemenangan yang akan dipersembahkan untuk fans klub tersebut.
Atau kita ambil contoh lain, banyak yang mempertanyakan Anies dan Sandi yang kini dalam 1 tim. Kata mereka, dulu Anies jubirnya Jokowi, Sandi jubirnya Prabowo. Lalu mereka menyindir bahwa semuanya bisa terjadi karena kesamaan kepentingan.
Ini lucu sebenarnya. Sepertinya di benak mereka, pilpres belum selesai. Ini 2016 akhir, dan sudah mau masuk 2017. Pilpres sudah lama selesai. Sudah tidak ada dikotomi. Bangsa ini sudah tidak terpecah oleh 2 pilihan lagi. Semua orang sudah kembali berkegiatan kembali, bekerja seperti biasa, kecuali mereka yang benaknya masih dihiasi pertarungan pilkada.
Kalau di tim sepakbola, ketika Juan Mata masuk ke Manchester Utd, tidak ada yang masih terjebak masa lalu dan menolak kehadirannya. Apalagi ketika Mourinho ke Utd. Ini adalah manager yang paling menyulitkan Sir Alex Ferguson. Di ManUtd pun, tidak ada pemain lama yang menolak kehadiran pemain baru yang dulunya datang dari klub lawan. Karena mereka, mengajarkan sesuatu yang penting untuk orang yang di kepalanya masih dalam pilpres-mode. Kita bisa saja berlawanan, tapi kita masih tetap bisa berkawan.
Satu lagi contoh yang membuktikan bahwa pilkada ternyata tidak jauh beda dengan sepakbola, adalah dalam urusan suporter.
Belakangan anda bisa lihat, FPI dan FUI berdemo ingin menurunkan Ahok, bahkan ada yang mengancam membunuh. Di khotbah Jumatan bahkan ada yang mengajak demonstrasi. Lalu Anies-Sandi dituding jadi pihak yang salah. Karena pada suatu hari, Anies-Sandi pernah berfoto dengan mereka.
Padahal coba kita pikir pikir: Semua orang boleh dong menjadi pendukung ManUtd? Mereka juga boleh dong berfoto bersama dengan Jose Mourinho, dan tentu Mourinho tidak perlu menolak diajak foto oleh supporter. Tapi kalau supporter itu tiba tiba rusuh dan berantem dengan pendukung Liverpool, masak jadi tanggung jawabnya Mourinho? Lah orang orang ini tidak ada di bawah kendali Mourinho. Mereka bukan pemain, bukan staf, bukan karyawan Old Trafford. Mereka ini, supporter.
Seperti juga FPI dan FUI, terkadang, supporter sepakbola bisa melakukan hal hal yang mengerikan. Kalau anda ingat, Piala Dunia 98 pasca Beckham menerima kartu merah dan pada akhirnya berdampak kepada keluarnya Inggris dari Piala Dunia, amarah supporter inggris begitu menakutkan. Mereka membakar boneka Beckham dan ada yang menusuk nusuk boneka tersebut. Itu, adalah sebuah ancaman yang serius. Mereka melakukan itu, karena mereka merupakan pendukung Inggris yang ingin Inggris menang. Saking inginnya, kekecewaan mereka beralih wajah jadi kebencian. Apakah kemudian FA bertanggung jawab terhadap aksi mengerikan pada supporter? Ya tentu tidak.
Yang Beckham lakukanpun setelah itu hanya bisa meminta maaf. Karena memang dia salah dan pada akhirnya tindakan dia (menendang Simeone) menyebabkan kerusuhan.
Saya halnya dengan reaksi mengerikan dari FPI dan FUI, Pak Basuki sadar bahwa memang itu adakah reaksi dari apa yang beliau katakan. Tapi, Mas Anies dalam beberapa kesempatan pernah mengungkapkan ketidak setujuannya dengan pendekatan SARA yang diambil berbagai pihak. Berulang kali beliau mengingatkan untuk mengembalikan pilkada kepada pertarungan gagasan dan program. Beliau sadar betapa krusialnya pendekatan radikal yang diambil banyak pihak dan mencoba meredam bahkan hingga pendekatan personal.
Banyak yang bertanya kepada saya, apa pendapat saya tentang kejadian tersebut.
Menurut saya, Pak Basuki ada benarnya dan juga ada salahnya.
Benar, bahwa beliau tidak menghina ayat dan tidak menghina agama.
Itu benar. Makanya banyak orang yang memarahi saya karena katanya kenapa saya mendukung Anies-Sandi tapi tidak pernah secara terbuka memarahi Pak Basuki karena ucapannya menghina agama. Ya karena saya merasa dia tidak menghina.
Yang beliau katakan kalau anda lihat videonya, adalah bahwa program yang sedang beliau sosialisasikan saat itu akan berjalan walaupun beliau sudah tidak menjabat. Jadi masyarakat tidak perlu kuatir. Ini program yang bagus dan baik untuk warga, dan walau beliau tidak lagi menjabat karena misalnya kalah dalam pilkada, program akan jalan terus.
Nah sebenarnya, harusnya omongan Pak Basuki sudah cukup sampai sini saja. Karena toh, yang dimaksud sudah tersampaikan dengan baik. Cukup.
Tapi entah kenapa, beliau melanjutkan dengan membahas soal kemungkinan warga tertipu atau terhasut orang yang menggunakan sebuah ayat dari surat Al Maidah. Ini, yang salah. Ini, yang tidak perlu. Ini, yang membuat banyak orang mengatakan bahwa Pak Basuki punya komunikasi politik yang buruk. Yang ngomong bukan saya lho ya, coba aja google “komunikasi politik ahok” & lihat siapa saja yg bicara demikian
Di dunia public speaking saja, termasuk stand-up comedy, sudah jadi aturan dasar bahwa kalau kita adalah umat dari sebuah agama tertentu, sebaiknya dalam omongan kita di atas panggung tidak bawa bawa agama lain apalagi ayat sucinya. Ini dasar sekali. Karena kita bukanlah umat dari agama tersebut. Pertama tama, pemahaman kita akan dengan mudah dipatahkan oleh umat dari agama yang kita bahas bahas. Kedua, akan dengan mudah memancing kesalah pahaman.
This is basic public speaking.
Di sini, Pak Basuki salah. Makanya, beliau pada akhirnya meminta maaf. Sebagaimana David Beckham minta maaf, karena tindakannya menendang Simeone itu benar benar tidak perlu. PS: Coba lihat video Beckham nendang Simeone deh, bener bener ga penting.

Sejauh ini, kita sudah lihat beberapa aspek yang membuat kita semakin yakin bahwa Pilkada dan sepakbola tidak jauh berbeda. Tapi, masih banyak yang bisa kita bahas.
Selanjutnya, adalah mengenai komentator.
Di pilkada, sebagaimana sepakbola, ada banyak komentator. Baik yang resmi di televisi, maupun komentator amatir yang ada di jejaring sosial. Semua komentar yang berseliweran di jejaring sosial, sah sah saja. Siapapun bebas berkomentar. Tinggal kita pintar pintar menyaring mana yang sekiranya benar. Lagipula, sebanyak banyaknya komentar yang ada di jejaring sosial, toh penentunya, adalah yang ada di lapangan.
Komentator Pilkada belakangan mengkritik pilihan Anies – Sandi menggunakan Salam Bersama. Yaitu bentuk tangan terbuka sebagai salam, yang diambil inspirasinya, dari Bung Karno. Ternyata, “Merdeka” tidak disampaikan dengan tangan terkepal ke atas, tapi dengan tangan terbuka. Itu arahan resmi dari negara yang diperintahkan Bung Karno.
Seperti ini contohnya

Maaf salah foto, maksudnya yang ini…

Komentator berkata, salam terbuka itu tidak praktis karena tidak bisa menggunakan tangan untuk mengeluarkan gestur angka 1, 2, atau dalam konteks Anie-Sandi, angka 3. Padahal, saya merasa lelah dengan gimmick semacam itu. Sudah sangat ketebak, usai paslon dapat angka, segala meme dan gimmick terkait angka langsung berkeliaran. Jangankan menggunakan gimmick angka 3 dalam salam, nanti anda akan banyak lihat materi kampanye yang bahkan tidak menampilkan wajah Anies-Sandi. Saya tahu banyak yang bilang ini tidak praktis. Tapi kalau kita semua terus terusan bertahan dengan cara cara lama, kapan negara ini akan bertemu kampanye menyegarkan yang mau meninggalkan yang usang? Kenapa tidak kita kembalikan ini ke masalah gagasan dan program?

Ada lagi komentar Budi Waseso yang komplen karena katanya Anies diminta untuk membuat program mengatasi narkoba dalam bentuk buku panduan terkait narkoba yang diusulkan ke Mas Anies jamannya beliau masih jadi Mendikbud tapi tidak dijalankan. Katanya Buwas “Anies Cuma iya iya aja tapi tidak dijalankan”. Komentar ini boleh boleh aja sih diucapkan beliau. Masalahnya, buku yang beliau ingin, sudah ada.

Dan beliaupun tahu itu. Mas Anies berkata terakhir kali ketemuan bahkan Buwas tidak membahas hal ini. Jadi pertanyaannya, kalau beliau tahu bukunya sudah ada, terakhir ketemuan tidak dibahas, lalu kenapa sekarang jadi masalah?
Nah tapi komentator paling banyak adalah dari orang orang yang berkomentar karena judul berita semata tanpa membaca isi. Atau dari gambar potongan berita yang lepas dari konteks sesungguhnya. Atau komentator dari media yang salah kutip bahkan ada juga yang mengisi artikelnya dengan opini penulis. Yang seperti ini sebaiknya berhati hati. Mudah sekali kita bereaksi tapi lebih bijak kalau sebelumnya kita bertanya “Ini beneran? Masak sih?”
Contoh kasus, adalah berita yang naik belakangan mengenai pernyataan Mas Anies terkait KIP dan KJP. Orang banyak bereaksi, ada yang ngamuk, ada yang mengaku “hilang respek” (yang ini paling kocak) tanpa benar benar paham atau setidaknya berusaha untuk memahami. Mungkin bias karena keburu benci. Kalau mau lihat dari sisi yang berbeda, coba baca jelasnya di sini. Sadari bahwa sebenarnya, yang Mas Anies inginkan, adalah hanya yang terbaik untuk warga Jakarta dan atas arahan Presiden Jokowi sendiri.
Pilkada, akan masih berjalan hingga 15 Februari.
Dibilang masih lama, sebenarnya Cuma 4 bulan. Dibilang sebentar, tapi lumayan lama.
Yah, sedang lah.
Tapi semoga, dalam perjalanan pilkada kali ini, kita tahu ke mana harus arahkan fokus. Siapa yang layak mendapatkan perhatian, siapa yang tidak. Mana yang perlu ditanggapi, mana yang sebaiknya didiamkan. Ada yang mengajak diskusi, ada yang hanya sekadar ingin memaki.
Ujungnya, rasanya tidak ada satupun yang menginginkan hal buruk terjadi pada Jakarta. Semua mau yang terbaik, walaupun dengan preferensi cara menuju ke sana yang berbeda beda.
Seandainya, dalam riuhnya pilkada kali ini anda sedikit pusing, ingat saja bahwa sebenarnya tidak jauh berbeda antara pilkada dan sepakbola