Pikiran anda

Saya masih SMP ketika mereka bercerai.

Kedua orang tua saya.

Saya tahu mereka sudah tidak akrab. Pisah kamar cukup lama. Kami tidak lagi pernah makan siang atau makan malam bersama satu meja. Padahal dulu itu seperti sebuah kewajiban. Tidak sopan kalau tidak makan di meja makan bersama. Bersamaan dengan menurunnya kemampuan ekonomi kami, saya melihat melonggarnya Ibu dan Ayah.

Ketika mobil masih ada 2, keduanya sedan. Pembantu rumah tangga ada 4. Supir ada 1. Kami sering sekali berlibur bersama.

Ketika mobil tinggal suzuki carry hitam pinjaman temannya Ayah, celengan saya dibongkar Ibu untuk belanja ke pasar karena tak ada uang, rumah mulai kosong dan Ibu mulai beli makanan dari luar, kami tidak lagi pernah jalan jalan. Bahkan rumah besar itu mulai terasa mencekam.

Ibu dan Ayah jarang sekali secara terbuka berkelahi di depan anak anaknya, tapi kami pernah sekali waktu melihat mereka kelepasan berantem. Diakhiri dengan Ibu menangis dikelilingi anak anaknya.
“Biarin aja, biarin Ibu pergi dari sini”, katanya sambil menangis.

Tapi Ibu tidak pernah pergi.

Ibu tetap bersama kami.

Hingga akhirnya, suatu hari Ibu membuka omongan bahwa mereka akan bercerai dan Ibu mau anak anak bersama Ibu.

Ayah, ketika menjelang perceraian hanya pernah mengajak nonton ke bioskop. Mungkin ingin menghabiskan waktu tersisa bersama selama masih serumah.

Buat saya, rasanya aneh sekali melihat mereka bercerai.
Karena saya tidak benci keduanya.

Mungkin kalau saya benci salah satu, perceraian akan lebih masuk akal dan bahkan dinanti. Tapi saya tidak benci keduanya, saya bahkan sayang keduanya.

Karenanya, saya selalu bingung harus bagaimana bersikap.

Ketika bersama Ibu, Ibu selalu marah marah mengenai Ayah. Ketika bersama Ayah, Ayah yang ngomel ngomel mengenai Ibu.

Berdiri di tengah tengah orang yang saya sayangi tapi mereka saling membenci, adalah perasaan yang hingga hari ini tidak saya sukai.

Ini, saya yakini, jadi alasan mengapa Persatuan adalah isu yang sangat melekat dengan saya.

Lama saya berpikir, mengapa saya peduli sekali dengan persatuan Indonesia? Tidak mungkin karena saya sosok bijak yang begitu peduli akan bangsanya. Mana mungkin karena saya seorang patriot yang bak pahlawan ini berjuang untuk kebaikan semua.

Pasti ada hal lain. Pasti ada hal yang lebih mendalam. Pasti ini karena hal yang personal.

Karena saya sangat terganggu melihat orang berseteru, terutama ketika saya kenal dua duanya dan berteman dengan keduanya.

Saya sering terjebak dalam kondisi seperti ini.

Waktu di SD Triguna, saya dalam limbo yang aneh. Saya berteman dengan anak anak populer sekolah, tapi berkawan dengan anak anak badung di sekolah. Dana dan Beni, adalah 2 anak yang teramat badung. Sayapun mengakui itu. Kesamaan mereka, adalah sama sama bongsor dan ingusan. Dana sering sekali bicara kasar, matanya melotot dan senyumnya lebar kalau mau melakukan sebuah kenakalan. Beni anaknya sering bohong. Sering nipu. Dan sering nemu aja barang untuk dijual. Dari kertas surat warna warni sampai foto kopian dari buku mewarnai. Tapi ketika mereka bilang mau main ke rumah saya, saya tidak menolak.

Tidak ada anak anak lain yang mau ke rumah kalau lagi ada mereka. Sering kali saya bermain berdua dengan Dana di rumah. Atau bermain berdua dengan Beni. Beni tidak mau ke rumah kalau ada Dana dan begitu juga sebaliknya. Lucu, sesama anak nakal ternyata tidak akrab.

Usai saya main benteng dengan anak anak di sekolah, Beni atau Dana mendatangi untuk ngobrol. Anak anak lain bubar. Kadang kejadiannya sebaliknya, saya lagi sama Beni atau Dana, didatangi teman teman lain, Beni atau Dana beranjak pergi.

Ketika di SMP 29 pun serupa. Karena saya sering dibully, melawak jadi cara saya melindungi diri. Kemampuan melawak membuat saya diterima anak anak nakal di SMP, tapi tetap akrab dengan anak anak lain di sana. Bermain dengan 2 kelompok ini benar benar berbeda. Yang anak anak baik punya geng mobil (padahal yang bisa nyetir cuma 1, dan padahal masih SMP pula) namanya Eclipso. Mainnya di rumah seorang kawan di Bintaro. Rumahnya gede. Yang punya rumah ganteng. Anak anak populer lah.

Kalau sama yang nakal nakal, saya punya nama julukan “K-Chill” yang sebenarnya artinya “Kecil”. Maaf alay, namanya juga anak SMP. Kalau main selalu di sekolah sampai sore atau kalaupun main ke rumah selalu ganti ganti rumahnya. Dan pulangnya pasti ada aja sepatu yang ilang. Saya pernah main ke rumah salah satu teman yang rumahnya adalah rumah kosong yang didobrak pintunya. Di dalam hanya ada tiker dan kertas koran serta sejumlah lukisan. Teman saya, namanya Gajah Mada, ayahnya adalah pelukis jalanan. He literally, has nothing.

Ketika main sama yang geng nakal mereka nanya ngapain saya main sama anak anak borju geng mobil yang gak pada punya mobil. Ketika main sama anak anak populer saya ditanya ngapain main main sama anak anak nakal, mereka pada suka mabok, nelen megadon, dll. Bahkan ketika SMP, saya tahu bahwa siapa yang nakal dan siapa yang sok, adalah hanya masalah perspektif.

Di Kolese Gonzaga ketika SMA saya terus terang tidak merasakan konflik batin ini. Tidak ada gap sosial di sana. Semuanya sama. Kaya, miskin, orang jawa, flores, cina, semuanya sama. Budayanya sudah terbentuk sejak lama. Keputusan Gonzaga untuk hanya menggunakan seragam putih abu 3 hari dalam 6 hari sekolah membuat dampak seragam berangsur hilang, dan menampilkan semua apa adanya. Selama bertahun tahun SMA tersebut mengajarkan bahwa beda itu udah kondisi yang terjadi dari sananya, yang harus dipikirkan kemudian adalah bagaimana bersatu dalam perbedaan. Interaksi adalah cara yang Gonzaga ambil. Dari ospek dan Jambore yang diawasi ketat para guru, tempat nongkrong bernama Pohon Mangga, Gardu dan Parmo (semuanya sekarang udah nggak ada), bahkan tawuran antar angkatan (saya tahu ini terdengar aneh, tapi ini memang cara mereka “kenalan”, karena berantemnya tidak pernah didasari benci, hanya usil usilan aja. Kapan kapan saya ceritain lebih dalam), anak anak Gonz itu selalu punya sarana interaksi antar anak anaknya.

Ketika kuliah di FSRD ITB, wuah ini gapnya banyak.

Anak Bandung – Anak Jakarta. Yang anak Bandung merasa anak Jakarta sok keren. Yang anak Jakarta ngerasa anak Bandung suka nyindir mereka.

Anak Seni Rupa – Anak teknik. Yang anak SR ngerasa anak teknik sok pinter dan nggak asik. Yang anak teknik ngerasa untuk apa sekolah teknik ada Seni Rupa.

Anak Konseptor – Anak Kerja. Yang anak anak kerja ngerasa geng konseptor ini bossy dan cuma mau ngonsep tapi nggak mau kerja. Mereka merasa dijadiin kuli. Yang geng konseptor merasa “Kan gue udah ngonsep, masak kerja juga? Emang elo kemarin ikut ngonsep? Nggak kan?”

Nah saya, main dengan orang orang di 6 kelompok tadi.

Bisa dibayangkan nggak pusingnya saya hehehehe.

Bahkan kalau anda masih ingat ramainya #IndonesiaTanpaFPI serta #IndonesiaTanpaJIL, saya berteman dengan orang orang di kedua kelompok ini. Waktu saya wawancara orang ITJ saya dibilang pro FPI, waktu saya wawancara orang JIL saya dibilang pro islam liberal.

Makhluk apa saya ini? :)))

Sebenarnya, saya adalah makhluk yang berteman dengan siapa saja.

Makhluk yang sejak lama merasa bahwa sering kali konflik antar manusia, terjadi karena prasangka.
Makhluk yang tahu persis, bahwa di benak setiap manusia, dia adalah orang yang baik dan benar.
Pilkada (Nah, saya tahu anda dari tadi nunggu kapan tulisan ini mulai nyambung ke pilkada hehehehe) membuka peluang terhadap konflik antar manusia ini. Konflik sosial, begitu sering disebutnya.
Tidak selesai selesai konflik terjadi yang sebenarnya sih kaitannya dengan politik politik juga.
Belakangan ini, tidak berbeda.

Belum dingin kepala karena bertebarannya spanduk Jakarta Syariah, kemarin timses Paslon 2 merilis sebuah iklan di jejaring sosial. Saya asumsikan anda tahu video yang saya maksud. Video ini dibuka dengan sebuah adegan kerusuhan dan dilanjutkan dengan pesan pesan mengenai kebhinnekaan. Versi awal yang saya lihat, menggunakan suara Pak Djarot yang seakan berorasi, ditutup dengan pesan “Pilih Keberagaman”. Tau video yang saya maksud?

Menurut saya, iklan itu bisa jadi merupakan iklan politik terbaik yang saya pernah lihat. Kualitas produksinya, musiknya, pidato Pak Djarotnya, talentnya, kostumnya.


The ad is SO good. But it is SO wrong at the same time.

Orang banyak memasalahkan adegan kerusuhannya. Orang dengan identitas Islam, melakukan aksi massa yang rusuh, membawa spanduk “Ganyang Cina”.

Bagi saya, adegan itu tidak salah. Adegan itu pernah terjadi di Jakarta. Tidak perlu menoleh jauh ke 98, kejadian tersebut baru baru ini terjadi di Jakarta. Rasanya menolak itu pernah ada, hanya terjadi karena 2 hal: Buta sejarah atau berpura pura demi politik saja.

Bukan di situ letak kesalahannya.

Letak kesalahannya, adalah pesan yang tidak sengaja tersampaikan secara tersirat dalam iklannya. Justru karena tidak sengaja, makanya berbahaya.

Mari saya jelaskan.

Yang diinginkan iklan itu, adalah agar kita memilih Kebhinnekaan.

Kelihatannya, yang membuat iklan dan semua yang terlibat lupa:
Kebhinnekaan adalah kenyataan kita. Kita sekarang sudah Bhinneka. Kita bahkan tidak punya kuasa akan kebhinnekaan Jakarta. Begitu tidak kuasanya kita menahan kebhinnekaan ini, warga Jakarta tidak akan pernah kehilangan kebhinnekaannya.

Dan ketika saya bicara Bhinneka, saya tidak hanya bicara agama. Tidak hanya bicara suku. Saya juga bicara latar belakang pendidikan. Saya bicara kebhinnekaan latar belakang ekonomi. Saya bicara kebhinnekaan opini. Cara pandang. Tata bahasa. Gaya hidup.

Jakarta, adalah kota yang Bhinneka, dan dia akan Bhinneka selamanya.


Yang jadi masalah tidak pernah kebhinnekaannya, yang jadi masalah adalah Persatuan dari kebhinnekaan itu tadi.

Kalau kita menerima kebhinnekaan kita, lalu lalai dalam memperjuangkan persatuannya, kita akan tinggal dalam sebuah kota yang ramai dan jadi sempit karena sekat sekat. Lalu apa bedanya dengan Jakarta di era Belanda yang sengaja mempraktekkan politik segregasi dan membagi bagi kebhinnekaan Jakarta dalam sekat sekat berupa kampung homogen di dalam kota yang beragam. Kampung Ambon, Kampung Melayu, Kampung Bugis, Kampung Bandan, dll. Bahkan ada aturan Belanda yang menyatakan bahwa pendatang harus tinggal berkumpul dengan sesamanya. Karena itu lahirlah, Kampung Cina.

Bukan ini kan yang kita mau?

Bukan sekadar Kebhinnekaan yang kita perjuangkan, tapi justru persatuannya.

Lalu kalau memang persatuan yang kita harus perjuangkan, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan?


Hal yang paling kita hindari, adalah, mendorong orang menjauh dan membangun tembok pemisah. Terutama dalam situasi politik yang panas iniΒ 

Iklan di atas tadi, mencoba memberi garis batas yang jelas: Ini kita, ini mereka.
Kalau kita bersatu, mereka tidak akan bisa menang.

Dan sialnya, yang digambarkan dengan “mereka” diberi identitas Islam.

Saya tahu, bukan itu yang diniatkan.

Tapi justru ketidak sengajaan ini menunjukkan satu hal: Mereka tidak tahu cara bersikap di Jakarta yg Bhinneka.

Jakarta tidak butuh konflik.

Jakarta tidak butuh cara pandang “Kita vs Mereka”

Kalau ini gaya kampanyenya, ketika mereka menang, bisakah dibayangkan apa yang tersisa darinya?
Masalahnya, cara pandang ini sudah mereka miliki sejak lama. Apakah anda sudah melihat iklan ini?

Kalimat “Apakah anda memilih berpihak pada penyeragaman, radikal serta intoleran, atau memilih berpihak kepada keberagaman dan Bhinneka Tunggal Ika” justru menggambarkan sikap yang jauh dari keinginan untuk mempersatukan.

Saya tahu mereka bicara kepada anda dan ingin mengajak anda masuk dalam barisan yang mereka sebut “Keberagaman dan Bhinneka Tunggal Ika”, tapi itu berarti mereka meninggalkan bahkan mendorong jauh orang orang yang tidak memilih mereka dengan melabeli orang tersebut sebagai “Penyeragaman, radikal dan intoleran”.

Kalimat itu saja, sudah menyinggung dan membuat kecewa banyak orang. Mungkin juga anda. Karena anda tidak merasa sebagai orang jahat. Tapi kini, iklan barusan memasukkan anda ke dalam sebuah kotak dengan label radikal dan intoleran. Padahal niatnya, ingin memilih pemimpin yang peduli dengan pendidikan, misalnya.


How does that makes you feel?

Kini kita bisa bayangkan kalau mereka menang, mereka menyisakan kelompok di luar lingkaran mereka.


This is us, that is them.

Ketika hari itu datang, saya ragu persatuan akan hadir di Jakarta.

Yang bikin situasi membingungkan, saya bingung harus arahkan kekecewaan soal video video dan arahan kampanye di atas kepada siapa. Karena Pak Basuki ketika ditanya wartawan terkait iklan tersebut, jawabannya “Kamu tanya timses” seakan beliau tidak mau tahu apa apa tentang iklan ini.

Memang Pak Basuki di sebuah wawancara pernah berkata beliau tidak mikirin strategi. Strategi urusannya parpol dan pemenangan (timses).

Nah kita musti bagaimana ketika arah sebuah kampanye cenderung memicu konflik lanjutan, tapi paslonnya sendiri tidak tahu apa apa mengenai strategi kampanye-nya. Diserahkan sepenuhnya kepada parpol dan timses.

Kita ini mau memilih Pemimpin lho.


Commander In Chief. The Leader. The guy with the vision.

Bagaimana kita mau percaya ini adalah orang yang bisa membawa persatuan, kalau dia tidak punya kuasa kemana arah kampanyenya?

Sekarang, pertanyaan terpenting:

Apa yang kita harus lakukan agar tercipta persatuan?


Dengan mencoba memahami, sebelum membenci

Karena seringkali ketika kita akhirnya memahami, tidak lagi kita membenci.

Pahami, apa sebenarnya yang memicu konflik ini. Apa yang menyebabkan peruncingan ini.
Karena di balik setiap anak yang mem-bully, ada masalah mendalam yang tidak pernah diselesaikan. Menghukum anak itu, tanpa menyelesaikan masalah mendalam tadi, hanya akan membuat si anak semakin dendam dan kelak kembali membully.

Lalu bagaimana caranya bisa memahami mereka?

Dengan interaksi.

Dengan membuka jalur komunikasi.

Tidak dengan mendorong mereka, tapi justru menarik mereka dekat. Cukup dekat untuk bisa diajak berdialog.

Betul, dibutuhkan keberanian. Karena mereka dikenal memiliki cara cara yang beringas.

Betul, dibutuhkan keteguhan. Karena caci maki akan datang mengatakan kita seakan lupa apa yang pernah mereka lakukan.

Betul, semua hal di atas.

Karena itu memang tidak semua orang bisa melakukannya πŸ™‚

Kita perlu pemimpin yang bisa berkomunikasi dengan siapa saja, bisa mengundang siapa saja, bisa memfasilitasi pertemuan dengan kelompok mana aja. Namun pada saat yang bersamaan, tegas ketika sudah ada yang melanggar aturan.

Agar kita bisa sama sama jembatani perbedaan di antara kita dan saling selam keresahan dan keinginan masing masing.

Saya curiga, sebenarnya masalahnya selama ini hanyalah kecemburuan.

Mas Anies selalu bilang bahwa kita sulit bisa mengharapkan ada persatuan kalau masih ada ketidak adilan sosial.

Jelas ada kecemburuan, ketika tinggal di kota yang sama, menghirup udara yang sama, sama sama menyebut dirinya warga Jakarta, tapi yang satu tidak bisa bersekolah, yang satu tidak punya pekerjaan, yang satu pekerjaannya hanya sebatas buruh karena pendidikannya tidak tinggi, yang satu tidak punya rumah, yang satu direnggut dari kehidupannya.

Keadilan Sosial, adalah kunci penting agar persatuan bisa terjadi.

Dan memang itulah yang jadi program Mas Anies dan Bang Sandi.

Pendidikan untuk semua yang berkualitas dan berkelanjutan sehingga kita tidak diamkan anak anak yang tidak bersekolah.

Peluang kerja untuk warga Jakarta.

Tempat tinggal di Jakarta.

Transportasi yang dapat diandalkan dan sesuai dengan kebutuhan warga.

Itu semua di atas, adalah instrumen yang membantu hadirkan Keadilan Sosial.

Keadilan yang akan membuka jalan menuju persatuan.

Saya tahu, Pak Basuki menginginkan anda agar memilih kebhinnekaan.

Tapi anda dan saya tahu, Mas Anies Baswedan lah yang mengerti cara meraih persatuan.
Tidak percaya? Mari kita berandai andai.

Ketika kondisi Jakarta memanas, lalu ada potensi konflik antar agama akan terjadi di Jakarta, siapa yang anda utus untuk bertemu mereka agar konflik mereda?

Basuki Tjahaja Purnama atau Anies Baswedan?

Tidak perlu menjawab.

Saya bisa dengar jawaban di pikiran anda.

26 thoughts on “Pikiran anda”

  1. Yang bikin Jakarta (dan akhirnya Indonesia, karena Jakarta adalah ibukota, adalah contoh) tidak bhinneka, ya orang2nya ada kubu Pak Anies, sedihnya lagi, dilakukan dengan niatan politis. Di kubu Pak Basuki juga bukan steril, banyak yang nyenye juga, tapi kalau saya ditanya parahan mana, mencemaskan mana, saya lebih cemas dengan orang2 yang saat ini bergandengan dengan Pak Anies. Jadi menurut saya Mas Pandji bikin ini muter2. Saya maklum, iklan Paslon 2 terakhir keren banget, harus ada manuver sedikit lah dari tim paslon 1. Yaudahlahya.

    Lalu, kalau saya jadi orang Jakarta, tidak, saya tidak pilih Pak Anies untuk berdialog. Saya rasanya ga mau orang yang bisanya nyenengin semua orang, yang datang saat diundang, lalu ketawa2, muji2, buat apa? Lobying? It looks right but it also SO wrong. Saya mau orang yang mampu meletakkan mana yang pantas dibela dan mana yang tidak pantas dibela karena memang tidak benar. Dan, ga usah dijawab, kita tau itu siapa.

    1. Bung…lebih bahaya orang-orang yg bawa spandung “Usir China” seperti yg digambarkan dlm iklan itu. Krn itu benar terjadi dan dpt merusak Kebhinekaan Indonesia. Itu bukan fiksi!!

      Datang aja ke semua semua 411, 212, 1112, 69, 123, 911…etc

      1. saya datang ko di 212 gak ada tulisan “usir China” apalagi “ganyang China”. Kalau emang ada tulisan kayak gitu yah laporin lah kalau tersinggung -_-

        1. Ah ente ikut 212 sbg pedagang Sari Roti kali….. Pantes aja ga liat. Google aja mas utk demo2 terkait Pilgub yg bawa spanduk-spanduk seperti itu.

          Atau lu lagi kehabisan data utk bisa google image?

    2. Yang Bahaya itu…….
      Siapa yang berafiliasi dengan kelompok berfaham Radikal, diam-diam ingin meruntuhkan NKRI dengan mengganti dasar negara Pancasila.

      Mau tau siapa yang dimaksud?

  2. Pandji menjadi terbiasa menulis panjang-panjang shg hilang esensinya, dan org cenderung scrolling down pada 3/4 tulisan.

    Anyway, yg saya dpt tangkap adalah seakan Pandji menyayangkan seseorang yg memfilmkan sbh kejadian yg nyata dan mengingatkan utk tdk diikuti krn yg terpenting adalah persatuan. Lah kok yg disalahkan yg mengingatkan?

    Lain halnya kl yg dibuat adalah sebuah fiksi (…plus dg backsound lagu jiplakan) shg terkesan dibuat-buat, nah kalau itu baru boleh disesali.

    Dgn cara berpikir ala Pandji di atas maka manusia akan selalu dirundungi oleh rasa ketakutan mengatakan yg sebenarnya, hny krn khawatir akan menyinggung org lain yg diangkat dlm materi film tersebut.

    Lalu kenapa lu Ndji dalam setiap aksi panggung, lu bawain materi yg singgang-singgung ke sana kemari?

    Menurut saya iklan itu menyampaikan realita dan kita diingatkan agar jangan terulang lagi.

    Nah skrg lu Ndji, datangin tuh FPI, FUI, FBR ….dan mungkin FU2…utk jangan angkat materi-materi SARA (“Usir China”, “bakar Gereja”, “Tegakkan Khilaffah”, ” Asing Aseng”, dll). Baik itu dalam rangkaian Pilkada kali ini atau nanti-nantinya setelah Pilkada selesai dlm isu-isu lain.

  3. Pemimpin (leader) yang baik adalah yang tahu bahwa yang visa didelegasikan itu wewenang. Tanggung jawab stay with the leader. Jadi apapun kesalahan Team nya adalah juga kesalahan pemimpin.

    If you know what I mean

  4. Pandji lupa sama retorika dia sendiri. Dan ini retorika cukup populer sampe Anies pun ikutan gunakan retorika ini ketika kampanyekan Jokowi di 2014.

    Lupa?

    GOOD GUYS STICK TOGETHER!

    Sekarang Pandji mau Anies merangkal FPI, Wow!
    AHAHAHAHAHA!

  5. Dear Pandji….
    Buka nggak sengaja..
    Menurut Saya sangat-sangat sengaja
    Untuk memisahkan yang jelas-jelas pendukung dan bukan…
    Buat apa…
    Karena yang dibidik mereka-mereka yang belum menentukan pilihan…
    Mereka ditawarkan untuk berada di kubu yang mana
    Tentang menyatukan…
    Kita nggak akan bisa pernah menyatu Pandji siapapun pemimpinnya..
    Yang bisa dilakukan hanya meredam…

  6. Harusnya pak Ahok merekrut bang Pandji sebagai juru bicara. Buang salah satu team survey abal2 yg membuat kacau strategi, budget-nya utk rekrut bang Pandji berikut team-nya. Sangat layak!

    1. Sejak awal Piogub DKI 2012, Pandji memang tidak mau mendukung Ahok yg saat itu bersama dg Jokowi.

      Track record Pandji itu sdh sangat jelas, hanya membebek kemana Anies ngoceh.

      Saat Anies ikut di Demokrat (partainya si beye-beye itu), Pandji juga ada di sana. Mendukung Anies dan seakan dia juga orang Demokrat.

      Saat Anies kalah dan bergeser ke timses Jokowi utk Pilpres 2014, tentu saja Pandji juga ada di sana, termasuk ketika Anies menghina-dinakan Prabowo. Mala ga heran isi blog dan bit stand up nya Pandji juga menertawakan Prabowo dan FPI.

      Daaaaan….saat skrg Anies bergeser ke Prabowo, maka Pandji pun ada disitu asik menjilat pantat Prabowo dan Hasjim yg dulu mereka hinakan.

      Maka kesimpulannya, ada dua orang di dunia ini yg sangat jelas dan bangga dg kemunafikan….you may guess…!!

      1. Waktu pilpres 2014, mereka mainkan strategi polarisasi GOOD GUYS SHOULD STICK TOGETHER. Tanpa ada kepedulian sama sekali HOW DOES THAT MAKE THE BAD GUYS FEEL?

        Sekarang pilkada 2016, THINK ABOUT THE BAD GUYS!!!
        JE SUIS BAD GUYS

  7. jangan menjadikan orang orang RASIS dan ANTI CHINA sebagai awlia, sesungguhnya hati dan pikiranmu akan tercemat

    Alkeliru51

    kasian kamu om πŸ™

  8. Panji, please stop being an oportunist.. Be a man! Inget, manusia itu rekam jejaknya keliatan lho. Ndak peduli dia figur publik ataupun “bukan siapa-siapa”. Makin kesini anda makin ketularan omong kosong hehehe.. Sorry..

  9. mereka selalu (merasa) berpikir Aksi 411 dan 212 anti china, karna ada spanduk “Ganyang China” tapi seandainya mereka kembali berpikir (dengan benar) massa segitu banyaknya tinggal tunggu komando, Jakarta Lumpuh bung!
    tapi apa terjadi seperti yang mereka sangka?!

    itulah hebatnya mereka, jika berjalan damai mereka mencari cari ribut, jika berjalan rusuh mereka senang karna itulah yang mereka nantikan.

    1. Moulana, gua bukan keturunan Tionghoa, tapi gua mau nantangin kalau memang para peserta aksi 411, 212 itu berani melumpuhkan Jakarta karena alasan rasis.

      Gua tantangin benar!

      Dari dulu memang tidak ada yang berani, karena memang semua dari mayoritas penduduk Indonesia adalah keturunan Cina. Anda lupa ya pelajaran SD bahwa nenek moyang kita berasal dari Yunnan, sebuah propinsi di Cina.

      Jadi memang itu tidak akan pernah terjadi. Kita semua itu pendatang, baik yang asli Tionghoa atau yang anti Cina, baik yang Kristen ataupun Islam.

      Kalau mau tahu penduduk asli Indonesia dan agamanya, ya itu Homo erectus soloensis dan Hindu.

      Think man! you are a real bigot!

  10. Saya di aceh awalnya sempat bingung, kenapa bang panji nulis panjang kali lebar yang kalau saya baca nggak.cukup sampai habis adzan.. habis shalat kudu baca lagi.. puanjaaaang.. pelan2 saya juga mencoba mengerti ini arahnya kemana.. terutama pas bagian bhineka itu.. kok mumet ya..

    Tapi memang setiap orang itu harus seimbang ya bang? Masa pake kotak2 terus yang pake garis2 salah terus? Mungkin itu jg kenapa mereka kotak2 karena hobinya ngekotak2in

Comments are closed.