Review BalasDi18 / Buku

@FitrotHM

NASIONAL.IS.ME, MERDEKA DALAM BERCANDA, dan BERANI MENGUBAH
saya beli dalam waktu dan tempat yang berbeda. Buku pertama yang saya baca justru BERANI MENGUBAH, lalu, MERDEKA DALAM BECANDA, dan yang terakhir NASIONAL.IS.ME. Namun, saya akan memulai pembahasan dengan buku NASIONAL.IS.ME.
NASIONAL.IS.ME
Membaca buku ini, kita akan mendapat banyak pencerahan tentang konsep Nasionalisme dan ke-Indonesiaan secara sistematis. Pandji menekankan, bahwa kita tak seharusnya membenci sesuatu yang tak kita kenal dan tak kita pahami. Bagian ini cukup menggelitik saya, yang sering berkoar-koar tentang kebobrokan Indonesia. Pemerintahnya yang beginilah, dunia perfilmannya yang begitulah, orang-orangnya yang noraklah, dan banyak lagi. Padahal, saya belum sepenuhnya mengenal, seperti apa sebenarnya Indonesia. Saya tinggal di Jawa, maka Indonesia versi Jawalah yang saya kenal sejak lahir hingga sekarang. Benar yang Pandji katakan dalam dihalaman 88 buku ini, bahwa begitu banyak hal-hal baik yang terjadi di Negara ini, namun Media tak banyak memberitakannya.
Dari diskriminasi hingga harmonisasi
Kata-kata diatas mungkin tepat untuk menggambarkan kehidupan Pandji saat itu. Pandji yang lahir dari keluarga kaya dan biasa dengan lingkungan yang mewah, merasa sangat kaget ketika dia harus sekolah di SMP Negeri yang siswa-siswanya bandel, dan banyak tukang palaknya. Membuat Pandji kecil harus berhadapan dengan hal2 buruk setiap hari. Namun, yang paling membuatnya shock dimasa itu adalah perceraian orang tuanya. Yang memaksa dia harus menerima kenyataan, pindah dari rumah yang mewah di Simprung, ke sebuah rumah sempit di Bintaro. Belum lagi dia harus menerima kenyataan, disisihkan oleh teman-teman sekolahnya, hanya karena sepatu yang dipakai bermain basket, bukan sepatu Air Jordan atau Air Max. Hal ini sempat membuat mentalnya terpuruk. Ditambah lagi Pandji bermain buruk di timnya. Pandji lalu memilih menjauh dari lingkungan yang disebut anak2 mampu itu, dan bergabung dengan geng, yang terkatakan anak-anak “kurang mampu”.
Dan saat itu jugalah suami dari Gamila Arif ini mengenal makna dari kata “miskin”. Ketika dia mengunjungi rumah beberapa teman yang nasibnya lebih buruk darinya. Keadaan itu membuka mata Pandji. Bahwa masih banyak orang yang jauh “serba kekurangan” dibanding dirinya. Masa SMP adalah masa dimana untuk pertama kalinya Pandji belajar tentang makna hidup secara lengkap.
Lepas SMP, Pandji mendaftar di beberapa sekolah favorit di Jakarta, SMA 82, SMA 6, dan SMA 70. Nmaun karena NEMnya tidak cukup, Ia gagal diterima di tiga sekolah itu. Sampai akhirnya, pilihan jatuh pada SMA Katolik Gonzaga. Sekolah yang benar-benar menawarkan cara pandang baru bagi Pandji. Sekolah ini memperbolehkan siswa-siswanya untuk tidak pakai seragam. Bahkan saat itu SMA Gonzaga sudah membiasakan siswanya memakai batik setiap hari senin dan selasa. Tentu saja, jauh sebelum Indonesia “mengenal” batik. Dari situlah siswa-siswa SMA Gonzaga belajar bahwa perbedaan bukan sesuatu yang membuat canggung, melainkan sesuatu yang harus kita terima dan kita jaga. Lebih baik kita meerima perbedaan, tapi tidak menjadikannya masalah. Daripada demi hilangnya masalah, perbedaan itu disamaratakan, Dijadikan satu. begitu kata Pandji.
Pelajaran lain yang didapat ketika masa SMAnya adalah saat study tour. Ketika Ia dan teman sekolahnya tinggal di sebuah desa di Lampung, hidup dalam kesederhanaan, dan bermain bersama orang-orang desa yang ramah. Sampai suatu malam, dimalam terakhir didesa itu, Pandji dan teman-temannya disuguhi ayam goreng oleh tuan rumah yang Ia tinggali. Menu yang terasa sangat mewah malam itu, karena setiap malamnya tuan rumah hanya menyuguhinya tempe, kangkung, dan mie instan. Disitulah Pandji mengerti, ketika kita memberi dalam keterbatasan, muncullah pengorbanan. Saat pemberian menjadi besar sekali artinya.
Sementara masa kuliah adalah masa dimana Pandji menjadi bagian dari sejarah kelam Indonesia saat itu. Ia memang tak secara langsung ikut dalam kerusuhan yang terjadi di Trisakti, namun Pandji ikut turun ke jalan bersama teman-teman Mahasiswa di Bandung. Dalam rangka penumbangan rezim Soeharto.
Au Neko
Lewat buku ini kita akan melihat juga pengalaman-pengalaman Pandji dalam “menyelami” Indonesia. Melalui tulisannya yang berjudul, Dari Sabang sampai Merauke, Pandji menggambarkan nya dengan penuh keramahan, dan kesahajaan. Dalam perjalanannya dari Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Manado, Padang, Makassar, Kupang, Belitung, Jayapura, Bali, Jakarta, dan Medan, kita akan terhanyut di dalam bagian-bagian yang membuat kita senang, haru, miris dan bahkan bisa membatin Damn!. Seperti perjalanan ke Kupang misalnya, Ketika Pandji bertemu dengan Ibu-ibu di Puskesmas, dan menggendong anak-anak mereka yang kurus dan kurang gizi. Serta gambaran cinta seorang Ibu pada anaknya. Menggendongnya dengan kasih, sambil membisikkan Au neko, yang artinya “Aku sayang kamu”… yah, Pandji memang benar, bagaimanapun keadaannya, tak ada orang tua yang mau anaknya sakit, tak ada orang tua yang mau anaknya sedih. Cinta adalah hal terakhir yang mutlak kita bisa berikan pada anak kita, ketika kita tidak bisa, tidak kuasa memberikan apa pun lagi. Kutipan diatas menunjukkan kemurnian, dan kecemerlangan Pandji dalam menarasikan sebuah cerita. Sungguh mengharukan.
Perjuangan itu…
Bagi mereka yang telah kenal Pandji dan telah aktif di twitter sejak tahun 2009, pasti tahu dengan gerakan #IndonesiaUnite. Sebuah gerakan positif yang sempat ramai dibicarakan dikalangan anak muda. Ramai jadi perbincangan di jejaring sosial, juga dilingkungan saya di pesantren, walaupun saat itu hanya sekedar ikut-ikutan. Saya sering nulis Indonesia Unite di buku pelajaran saya. Jujur, aat itu saya tak tahu apa maksudnya. Dalam buku setebal 330 ini kita akan mengetahui pula sejarah gerakan #IndonesiaUnite Dari awal mula asal-usul kelahiran serta perkembangan, dan lika-liku perjuangannya sebagai sebuah gerakan Ideologis dengan tujuan-tujuan yang sangat jelas dan mendasar. Yang pada mulanya, #IndonesiaUnite hanyalah sebuah gerakan yang terbentuk pada tanggal 17 Juli 2009, dalam bentuk hastag twitter. Sebagai reaksi pengguna twitter terhadap isu terorisme. Diikuti dengan teriakan KAMI TIDAK TAKUT. Namun bukan berarti #IndonesiaUnite itu gerakan anti terorisme, Indonesia Unite merupakan sebuah gerakan, dan semangat yang ada dalam diri setiap Bangsa untuk menciptakan perubahan. Indonesia Unite adalah bentuk kepedulian pemuda terhadap Indonesia. Yang tak kalah penting diulas dalam buku ini adalah tentang perjuangan Pandji dalam menyatakan diri sebagai orang Indonesia yang Patriotis. Diantaranya menjadi donor tetap untuk seorang penderita Thalassemia, menjadi relawan C3 (Community for Children with cancer), Indonesia Mengajar, serta lewat karya-karyanya di jalur musik.
Memang seharusnya kita bersatu, Walau bukan menjadi satu.
Di akhir pembahasan tentang Indonesia Unite, ada satu lagi, sebuah cerita mengharukan yang dialami Pandji bersama Glenn Fredly. Saat itu Glenn Fredly mengajak Pandji ke sebuh acara bertajuk “DOLOE SOEMPAH PEMUDA, KINI INDONESIA UNITE” yang membawa misi menyatukan pengkotak-kotakan agama.
Acara tersebut diadakan oleh Glenn bersama komunitas gerejanya. Glenn mengundang Pandji sebagai wakil saudara-saudara umat Islam, sekaligus untuk mengisi acara yang diselenggarakan di DBEST Fatmawati itu. Pandji yang sudah terbiasa hidup di lingkungan berbeda agama, tidak merasa canggung berada diantara mereka yang beragama kristen. Bahkan, nama Pandji disebut dalam doa mereka.
Beberapa saat kemudian, Pandji dipanggil ke atas panggung, dan diminta memberi sambutan sebagai tamu muslim. Saat Pandji mengucapkan “selamat malam”, Glenn justru menyuruh Pandji untuk mengucap salam sebagaimana yang diajarkan Islam. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh” maka seisi ruangan pun menjawab, dengan hal yang sama. Saat itulah Pandji merasakan damai, karena dua agama telah bersatu, tanpa ada yang merasa paling benar.
Jujur, saya hampir menangis membacanya. Mengingat saya sedang mambawa Visi dan Misi yang sama dengan Glenn dan Mas Pandji. Yaitu menciptakan harmonisasi kehidupan beragama. Saya ingin curhat sebentar, di Kampus saya Fakultas Sastra Universitas Jember, saya menjadi bagian dari UKM LeKFAS. (Lembaga kerihanian Fakultas Sastra), yang menjadi satu-satunya UKM Kerohanian di Indonesia yang menaungi semua agama. (Mas Pandji boleh Cek di FB kami) J. Ketika Natal, kami membantu teman-teman Kristen dan Katolik membuat Pohon Natal, begitu juga dengan teman-teman Hindu, Budha, dan lain-lain. Juga sebaliknya. Di Sekretariat kami, gambar lambang agama berada dalam satu frame. Semua itu barawal dari aksi pembakaran gereja oleh teman- teman Muslim beraliran garis keras yang terjadi Situbondo beberapa tahun silam. Maka pada tahun 1996, atas nama ingin menciptakan keharmonisan beragama, maka terbentuklah LeKFAS oleh Bapak Taufiq, yang saat ini telah menjadi dosen kami. Kami (LeKFAS) ingin menunjukkan pada mereka yang telah terlanjur disakiti, bahwa Islam adalah agama damai, dan kami memiliki cinta. Bahkan, beberapa waktu lalu, kami sempat mengadakan seminar lintas agama. Semoga suatu hari nanti kami bisa mendatangkan Mas Pandji dalam acara kami. J
BERANI MENGUBAH
Membaca karya-karya Pandji dalam buku ini, kita seakan dihidangkan berbagai makanan lezat yang semuanya nikmat untuk dilahap. Karena berisi narasi-narasi yang penuh kejutan.
Melihat Indonesia dari A sampai Z
Menelusuri halaman demi halaman buku ini, kita akan merasakan betapa uniknya gagasan seorang Pandji dalam melihat sebuah peristiwa, ia selalu memandangnya dari sudut pandang dia sebagai Pemuda. Pesan pertama yang saya dapat dalam buku Berani Mengubah adalah, Sudah berbuat apa saya untuk bangsa ini? termasuk jenis pemuda macam apa saya? buku ini adalah salah satu, dari berbagai jenis buku yang mampu menyentuh saya sebagai pembaca. Sebagai pembaca yang yang berstatus Mahasiswa lebih tepatnya. Yang terkatakan sebagai agent of chance, agent of control, dan berbagai selogan lainnya. Sejarah pun mencatatt, setiap momen perubahan yang ada di negeri ini ataupun dibelahan dunia manapun, mahasiswa atau pemuda selalu mendapat tempat utama. Baik sebagai aktor intelektual maupun aktor lapangan (pelaku). Secara empirik, kekuatan mahasiswa terbukti dalam serangkaian revolusi besar di tempatnya, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, sampai penggulingan tirani orba menuju era reformasi. Namun, lima belas tahun setelah ekspektasi reformasi 1998 berlalu, selama itu pula pemuda seakan kehilangan musuhnya. Sehingga tak jarang mahasiswa atau pemuda mudah terkooptasi pemikirannya dengan hal-hal yang berbau pragmatis, hedonis dan sebagainya.
Pandji juga mengungkapkan pandangannya sebagai pemerhati dunia politik Indonesia, dimana Ia mengkritisi pemerintahan Soeharto dan SBY yang memang mengalami banyak perubahan, namun tak berarti lebih baik. Tak hanya itu, host SUCI 1-3 juga menyentil pribadi kita. Kita akan merasakan bagaimana Pandji yang dengan tekun dan tak kenal menyerah, menularkan semangat perubahan pada kita semua.
Mendengar kata perubahan, kita seakan-akan dihadapkan pada sesuatu yang besar, seakan-akan kita diharuskan mengubah Indonesia secara keseluruhan. Padahal, perubahan, atau revolusi itu, bisa dimulai dari diri sendiri. Dan disini Pandji menggambarkan perubahan dengan mengajak kita “peduli” terhadap realita yang terjadi di di sekitar kita. Lebih melek politik, Ekonomi, Hukum, dan lain-lain. Melek politik, bukan berarti kita harus terjun ke dunia politik. Tapi bisa dimulai dengan update berita-berita politik, dan memiliki wacana politik, namun, apabila kita memang memiliki kemampuan disalah satu bidang dalam dunia politik itu, kita bisa masuk, dan memulai perubahan didalamnya. Intinya, kita harus belajar peduli.
Masih bisakah kita tertawa dan berbahagia, bila secara pemikiran dan mentalitas saja kita masih lumpuh? Hal ini mengingatkan saya tentang diskursus yang berbunyi, “kematian peradaban selalu diawali dengan miskinnya kesadaran reflektif-diskursif (discoursive conciousness) masyarakatnya”. Dengan konteks seperti itu, sudah selayaknya para elemen bangsa ini tidak hanya rutin melakukan ritual peringatan hari besar kebangsaan yang malah terkesan artifisial. Karena ketika berbicara Indonesia, berarti juga berbicara tentang kecintaan, kepedulian, dan bagaimana memiliki sikap saling menghargai perbedaan yang ada. Mencoba menanamkan dalam diri, bahwa bukan urusan kita membuat seisi Bumi menjadi seragam. Jadi, tak perlu kita membenci mereka yang tak satu pemikiran dengan kita. Perpecahan itu terjadi karena kita belum mampu memahami konsep toleransi. Bahkan, Islam sebagai agama mayoritas kadang terkesan sebagai agama eksklusif, terpaku pada normatif, statis dan tidak toleran. Dan itu karena ulah orang-orangnya. Jadi, Mari menjadi duta yang baik, untuk agama kita masing-masing.
Poin lain yang saya dapat dari buku ini diantaranya tentang fakta Industri tembakau, ulasan tentang resistensi yang terjadi di Papua dan Timor-timor, sehingga memunculkan gerakan-gerakan ingin membebaskan diri dari Indonesia, konsep beragama yang masih terasa rancu maknanya, serta kobaran semangat bahwa Indonesia masih sangat berpeluang untuk bisa bangkit. Benar-benar mengaduk pikiran. Antara kesal, bingung, dan senang. Membayangkan betapa Negeri yang sedang butuh perubahan. Dan kitalah aktornya!
Benang merahnya adalah, bagimanapun, kita sudah harus mampu berfikir kritis, analisa dan memahami setiap persoalan dengan cerdas. Hal itu menjadi semacam kebutuhan yang mutlak dibutuhkan. Pengaktualisasian dalam bentuk tindakan sangatlah perlu diperhatikan. Sulit memang mewujudkannya, tapi pasti bisa!!! Bukan begitu Mas Pandji? J
MERDEKA DALAM BERCANDA
Sebagai Orang yang memiliki andil besar dalam komunitas Stand Up Comedy Indonesia, dalam buku ini, lelaki pemilik nama panjang Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo ini membahas beragam Informasi, perenungan, dan kecintaannya terhadap dunia Stand Up Comedy Indonesia.
Pengetahuannya atas beragam disiplin keilmuan, musik, Host, Stand Up, dan dengan latar belakang pendidikan di desain grafis ITB, tidak lantas melunturkan kesan cerdas terhadap sosok bertubuh gempal ini. Buku ini berisi tulisan tentang catatan perjalanan membangkitkan Stand Up Comedy di Indonesia.
Tentang Stand Up Comedy
Stand Up Comedy sendiri merupakan sebuah seni, dimana seorang komedian yang biasanya disebut comic, berdiri menyampaikan lelucon melalui monolog. Lelucon yang disampaikan umumnya tentang fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar masyarakat. Atau, keresahan-keresahan yang dilihat para comic tentang realita sosial, namun dikemas menjadi sesuatu yang cerdas dan tidak biasa. Menghibur sekaligus mencerahkan. Jenaka tanpa harus melupakan persoalan bangsa.
Dalam buku yang terbit pada tahun 2012 lalu ini, Pandji menekankan bahwa komunitas ini tidak dibentuk sembarangan. Tapi dibentuk secara teratur, serta mempunyai visi-misi, dan struktur yang jelas. Dan satu lagi, tidak semua orang bisa menjadi comic. Karena seorang comic harus sering berlatih, belajar analisis sosial, rajin membaca, dan juga menulis materi. Karena tingkat kepekaan seorang comic, sangat berpengaruh terhadap penerimaan penonton.
Buku ini bisa mengisi kekosongan pengetahuan kita tentang Stand Up Comedy Indonesia. Sumbangan yang besar arti dan nilainya. Agar tak ada lagi orang yang menganggap bahwa Stand Up Comedy hanya jadi gerakan atributif saja (bagi orang-orang yang tidak terlalu memahami dinamika dan dialektika panjang gerakan Stand Up Comedy, seperti saya sebelum membaca buku ini). Yang penting lucu, tanpa memikirkan dan mencoba tahu sejarah terbentuknya gerakan ini. Hal ini terjadi karena kebanyakan orang tidak mau belajar atau mencoba mencari tahu perjalanan sejarah. Itulah sebabnya banyak terjadi penafsiran-penafsiran sejarah yang asal-asalan. Begitu juga dengan sejarah Stand Up Comedy. Banyak orang hanya mengerti Stand Up Comedy sebagai hiburan, trend, yang kapan saja bisa redup.
Nama-nama, seperti Warkop, Taufik Safalas, Ramon Papana, Indra Yudhisira, Agus Mulyadi, dan Raditya Dika. Adalah orang-orang yang punya kontribusi besar terhadap dunia Stand Up Comedy Indonesia.
Viva la Komtung!
Stand Up Comedy Indonesia atau disingkat SUCI, memang baru lahir sekitar satu setengah tahun lalu, diawali dengan kompetesi SUCI season 1 yang ditayangkan di Kompas TV, Namun meskipun begitu, perkembangannya tergolong pesat. Terbukti dengan munculnya cabang-cabang SUCI hampir di setiap kota di Indonesia, termasuk di kota saya, Jember.
Selain informasi lengkap mengenai kemunculan genre baru dunia komedi Indonesia ini, Pandji juga membahas teori dan istilah-istilah penting dalam Stand Up Comedy secara lengkap. Seperti, Bit, Set, Set Up, Punchline, Kill, dan Bomb. Ada juga Call back, Rule of 3, Act out, Impersonation, Riffing, One liner, Gimmick, dan Hecklers.
Sejak halaman awal hingga akhir buku ini, kita akan merasakan perjuangan Pandji dalam menyebarkan “virus’ Stand Up Comedy. Bergerilya dari panggung ke panggung, sampai akhirnya, tepat tanggal 28 Desember 2011, Bersama Ernest Prakasa @ernestprakasa, Sammy D Putra @nostalimboy, Rindra @ponakannyaom, Asep Suaji @asepsuaji, dan Luqman Baihaqi @luqmanbhq, dan banyak lagi yang lainnya, Ayah dua anak ini berhasil mencetuskan sebuah acara yang menjadi penanda lahirnya sebuah genre komedi baru di Indonesia. Yang Ia beri nama “Bhinneka Tunggal Tawa”. Dengan ditonton ratusan orang, membuktikan bahwa Stand Up Comedy telah diterima di Indonesia. selanjutnya, di tahun 2012, banyak sekali even-even keren yang tak hanya mampu menghibur, tapi juga menginspirasi banyak orang. Walaupun baru muncul, SUCI mampu bersaing dengan acara-acara komedi lainnya.
Semangat yang sama akan kita lihat pada karya-karyanya, terbaca dari komentar-komentarnya yang sering dilontarkan dalam acara televisi, atau melalui kicauannya dalam jejaring sosial. Begitu kuat kecintaan dan kerinduannya terhadap Stand Up Comedy, Sebesar kecintaannya terhadap Negara ini. Sehingga ia mau menghabiskan energinya untuk membedah beragam peristiwa apapun di Negara ini, dengan sudut pandangnya yang beraneka.
Buku ini sangat tepat untuk dijadikan salah satu referensi tentang Stand Up Comedy, tentang sejarah dan perkembangannya. Terutama bagi mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang Comic, atau penikmat jenis komedi ini.

One thought on “Review BalasDi18 / Buku”

  1. Kak pandji…. Buku nasional is me nya sangat bagus,… sangat menggugah hati, dan meningkatkan rasa nasionalisme saya terhadap negara ini…

    Oh ya, kak pandji, Gimana sih pendapat kak tentang PRAMUKA…? gimana sih pramuka itu terhadap nasionalisme?

Comments are closed.