Review BalasDi18 / Stand-Up Comedy

Desi Indira
@Deindira

Berbicara mengenai stand up comedy di Indonesia tidak bisa di lepaskan dari nama seorang Pandji. PANDJI PRAGIWAKSONO. Pandji yang saya ‘kenal’ sekitar lima tahun yang lalu, dari sebuah morning show : Good Morning Hardrockers Show atau yang biasa di singkat menjadi GMHR bersama Steny Agustaf di Hardrock FM. Berawal dari mendengarkan celotehan Pandji dan Steny setiap pagi sebelum berangkat kantor, saya jadi tahu bahwa Pandji memiliki pemikiran yang luar biasa, banyolan-banyolannya pun gak garing, selalu berhasil membuat saya tertawa. Dari situlah ‘pengamatan’ saya untuk seorang Pandji berlanjut dengan googling namanya dan menemukan blognya. Setiap postingan di blognya saya baca satu persatu, blog tersebut berisikan pemikiran-pemikiran seorang Pandji, yang membuat saya tercengang, wow, tulisannya berisi sekali, sedikit banyak membuka wawasan saya. Dari situ saya rajin berkunjung. Tidak berhenti sampai disitu saya juga mulai mendengarkan dan pada akhirnya mengikuti perjalanan musiknya dari album pertama Provocative Proactive hingga yang terakhir album 32. Dan disitulah awalnya saya mengetahui bahwa Pandji bisa melakukan Komedi Tunggal atau yang biasa dikenal dengan istilah Stand Up Comedy. Kok bisa? Memangnya apa hubungan antara musiknya Pandji dan kemampuan dia untuk melakukan Stand Up Comedy? Ada. Ada sekali hubungannya. Mari saya ajak untuk flashback ke 2010, satu tahun sebelum Pandji akhirnya membuat show tunggal Stand Up Comedy nya yang pertama.
Sebagai orang yang mengikuti dan menggemari karya-karya musiknya Pandji, maka event mini konser yang bernama Twivate Concert tidak mungkin saya lewatkan, event bulanan yang sungguh intim, mendekatkan penikmat karyanya Pandji dengan Pandji adalah sebuah hal yang luar biasa. Sudah paasti namanya juga Twitter Private Concert, isinya adalah Pandji bernyanyi, tetapi tidak melulu bernyanyi, ada selingannya (kalau saya tidak salah 20 sampai 30 menit) Pandji melakukan Stand Up Comedy. Inilah awalnya saya tahu kalau Pandji itu LUAR BIASA LUCU ketika membawakan materi-materi Stand Up. Saya ingat betul ketika ia bercerita bahwa waktu kecil ia sering di tolak saat ‘nembak’ cewek, lalu saat ia menirukan musik di istana boneka, ekpresinya lucu abis, termasuk ketika ia menirukan Susno Duadji dan Thomas Djorgi. Materi-materi yang di bawakan Pandji dalam stand upnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, termasuk ketika menyoal masalah politik dan kebangsaan. Bermuatan kritis tapi tetap lucu dan segar.
Berikutnya saya melihat Pandji stand up ketika ia menjajal materi di Stand Up Nite 1 di Comedy Café Kemang, yang juga merupakan awal boomingnya Stand Up Comedy di Indonesia. Lalu setelah itu saya nonton dia tampil saat event stand up nite 3 di Rolling Stone Café, bit yang saya ingat adalah soal dua tipe khotib di Indonesia.
Tentuya tidak hanya dua event itu saja, saya menonton penampilan Pandji, ada beberapa penampilan Pandji lainnya di gig-gig Stand Up Nite, yang di gelar di Jakarta. Bahkan ketika dia hanya menjajal open mic, saya sempat hadir beberapa kali. Boleh di bilang saya cukup sering menonton penampilan Pandji dalam melakukan stand up comedy, maka dari itu ketika Pandji mengumumkan akan ada Stand Up special yang bertajuk Bhinneka Tunggal Tawa di akhir tahun 2011, tepatnya di 28 Desember 2011, maka dengan segenap hati saya putuskan untuk tidak boleh ketinggalan event yang satu ini. Menyaksikan Pandji show tunggal untuk Stand Up, pasti akan terasa berbeda ketika hanya menyaksikan Pandji tampil sebagai line up di event-event Stand Up Comedy, dengan durasi rata-rata 20 menit sampai 30 menit. Saya masih ingat betul gimana excited nya saya ketika mengetahui Pandji akan tampil full selama hampir satu jam lebih. Satu jam lebih lima belas menit tepatnya. Masih terekam jelas di ingatan saya, gimana saya ‘meracuni’ teman-teman saya untuk ikutan nonton juga, dan berhasil, paling tidak ada 3 orang teman yang ikut membeli tiket Bhineka Tunggal Tawa, walau pada akhirnya yang datang nonton bersama saya hanya dua orang, karena yang satu lagi mengalami kecelakaan. Saya juga masih ingat gimana merindingnya saya ketika saya melihat teaser Bhinneka Tunggal Tawa yang di published Pandji melalui Youtube. Melihat bagaimana gedung perfilman Usmar Ismail, tempat di selenggarkaannya Bhinneka Tunggal Tawa, dan membayangkan bagaimana acara tersebut nantinya akan berlangsung berhasil membuat saya sekali lagi merinding dan tidak sabar untuk berada di antara ratusan penonton lainnya menyaksikan bagaimana Pandji melempar bit demi bit dari materi-materi yang akan ia bawakan.
Dan, hari itu pun tiba, selepas jam kantor saya dan seorang teman bergegas menuju Gedung Perfilman Usmar Ismail. Sudah banyak orang ketika saya sampai di sana. Bahkan sudah mebentuk sebuah antrian panjang. Ada yang berdiri dan ada yang memilih untuk duduk. Saya makin tidak sabar untuk segera bisa menikmati penampilan Pandji malam itu. Karena open gate masih lama, saya dan teman memutuskan untuk mengisi perut dulu di Pasar Festival (sekarang berganti nama menjadi Plaza Festival), sambil menunggu teman saya yang satu lagi. Tujuannya supaya jangan sampai perut keroncongan saat menikmati penampilan Pandji nanti, karena itu akan sangat mengganggu. Setelah perut di rasa aman, karena sudah terisi, saya dan dua orang teman bergegas kembali ke loby Usmar Ismail. Antrian makin panjang, saya pun ikut mengantri. Tidak lama berselang pintu gedung pertunjukan dibuka, dengan rapi satu persatu dari antrian memasuki gedung. Karena saya membeli tiket yang seharga seratus ribu rupiah, maka kursi yang di sediakan adalah yang di depan. Saya dan dua orang teman pun segera mencari tempat yang oke untuk bisa menikmati pertujukan malam itu. Dan pilihan pun jatuh pada row paling depan. Tujuannya supaya tidak terhalang apapun, bisa langsung melihat ekspresi Pandji dan para opener.
Penampilan malam itu dibuka dengan 5 opener, Sammy, Rindra, Lukman, Asep dan Ernest. Setelah semua opener tampil dan ketika penampilan terakhir dari Ernest, lampu ruangan sedikit redup, Ernest pun memanggil Pandji yang dari tadi sudah ditunggu-tunggu penampilannya. Saya ingat ketika itu saya bertepuk tangan dengan sangat antusias. Ada perasaan tidak sabar yang tercermin dari bagaimana saya bertepuk tangan J.
Pandji mulai melemparkan bit demi bit yang membuat seisi gedung perfilman Usmar Ismail pecah. Pandji benar-benar tidak memberikan ruang untuk kami tidak tertawa. Jujur, malam itu tawa terpanjng saya dalam satu tahun. Saya sampai sakit perut. Kalau ada kamera di ujung ruangan mungkin saya sudah melambaikan tangan untuk menyatakan saya menyerah, tidak kuat lagi untuk tertawa (oke sampai disini saya mulai terdengar lebay :p). Pandji membawakan materi-materinya dengan rapi, tenang, dan terkadang memberikan waktu sedkit untuk kami menyelesaikan tawa, kemudian di lempar lagi bit-bit lainnya yang pada akhirnya membuat rahang saya kaku, karena kebanyakan tertawa. Penguasaaan panggung Pandji pun sangat baik, ekspresinya bisa saya lihat dengan jelas, intonasi serta pelafalannya pas, tidak ada satu kata pun yang terlewat dari pendengaran saya. Ini mungkin karena basic nya Pandji adalah seorang penyiar dan presenter, sehingga terbiasa dnegan pronouncation yang jelas, sehingga tawa yang lahir pun benar-benar pecah, karena setiap kata demi kata yang meluncur dari mulut Pandji bisa dicerna dengan jelas. Bit-bit seperti Gang Buntu, Nama Jalan di Bintaro yang merupakan nama-nama burung, lalu bit soal Jeremy Teti (kayanya ini adalah awal dari orang-orang menyadari intonasi ‘Salam SCTV’nya Jeremy Teti, karena sebelum di bawakan Pandji sebagai materi, belum ada orang yang membicarakan mengenai ini). Seperti biasa selain membahas hal-hal ringan yang ada di sekitar kita, Pandji juga menyoal apa yang menjadi isu saat itu, seperti soal komodo yang dijadikan icon dari sea games saat itu dengan nama Modo dan Modi, serta fakta-fakta mengenai komodo, dan sebuah pertanyaan : Mengapa komodo yang dijadikan icon untuk sea games. Selain itu yang juga berhasil memecah tawa dan masih saya ingat sampai sekarang adalah materi soal kucing dan kecoa, materi yang sebenarnya setiap hari mungkin sama-sama kita temui dalam kehidupan nyata, dan bisa diangkat Pandji menjadi sesuatu yang lucu, yang kepikiran aja gitu, yang saya sampai berucap dalam hati “ iya bener, bener banget”. Lalu materi soal temannya Pandji yang orang Afro-American, ketika diajak Pandji ke mall di Jakarta, materi ini menggambarkan bagaimana gedenya Mall di Jakarta, sampai bisa nyasar di mall untuk cari toilet. Disini saya ingat betul gimana intonasi Pandji saat mengucapkan “Santaiiiii ini mall,”. Salah satu intonasi yang gak bisa saya lupa, bahkan ketika saya menceritakan ulang ke teman-teman saya, saya mengikuti intonasi tersebut, walau jelas tidak seratus persen sama, tapi paling tidak intonasi itu membekas di benak saya. Gila ya, gimana seorang Pandji, tidak hanya bit-bitnya yang banyak saya ingat, bahkan bagaimana ia memberikan intonasi dalam bit nya pun bisa terekam di otak saya.
Dan malam itu berakhir dengan sempurna. Tawa yang puas, penampilan yang keren banget, seratus ribu yang menjadi sangat berharga karena untuk pertama kalinya saya menyaksikan pertunjukan luar biasa di tempat yang luar biasa. Ketika saya dan ratusan penonton lainnya menuju pintu keluar, terlihat sudah ada ratusan orang lainnya yang siap menyaksikan penampilan kedua dari Pandji. Ya karena malam itu pertunjukan di adakan dalam dua sesi. Penutup 2011 yang luar biasa.

Setelah 2011 itu, saya masih tetap setia mengikuti perjalanan Pandji dengan karya-karyanya, termasuk kolam komik, yang hadir setiap Rabu. Perjalanan Stand Up Comedy Pandji, musiknya, tidak pernah saya tinggalkan, entah menonton melalui layar kaca, atau datang langsung di tempat event berlangsung, sampai akhirnya di Desember 2012, Pandji kembali membuat show tunggal Stand Up Comedy, kali ini bernama : Merdeka Dalam Bercanda, yang digabung dengan show musiknya. Tema besarnya adalah #INDONESIA. Jakarta merupakan kota penutup dari rangkaian Merdeka Dalam Bercanda yang sebelumya sudah di lakukan di kota-kota lain, seperti Bandung, Surabaya, Jogja, Samarinda, Balikpapan, bahkan kalau tidak salah termasuk di luar negeri yaitu Singapura. Karena ini merupakan peutup dari rangkaian tersebut dan juga pas baget sebagai salah satu penutup di akhir tahun, maka sudah pasti saya tidak mungkin tidak hadir.
Kapasitas pertunjukan ini lebih besar dari tahun 2011, sedikitnya 800 orang yang hadir di Merdeka Dalam Bercanda. Penggiat-pengiat standup comedy pun banyak yang hadir. Paling tidak saya meilihat Ryan Adriandhy, Ge Pamungkas, hingga yang banyak ditanyakan para abg-abg labil yaitu Raditya Dika, yang ‘sial’nya malam itu dijadikan bahan standup oleh Pandji. Kalau 2011 bertempat di Gedung Perfilman Usmar Ismail, maka kali ini bertempat di Museum Nasional. Oh ya sebelum saya lupa saya mau bilang terimakasih ke Pandji karena sudah buat acara di tempat-tempat keren, yang kayaya saya gak akan datang kalau gak karena acaranya Pandji. Terimakasih karena Pandji lah untuk pertama kainya saya masuk ke museum Nasional yang ternyata bagus (malu sama diri sendiri). Pertunjukan ini digelar kurang lebih dua jam, dari jam 8 malam sampai hampir jam sepulu malam, dengan satu opener yaitu Adriano Qalbi. Untuk masalah tempat, walaupun bagus, tapi jujur saya lebih suka ketika di Usmar Ismail, karena sistem tempat duduknya yang seperti bioskop sehingga tidak terhalang apapun, termasuk kepala orang yang duduk di depan saya. Kebetulan waktu itu saya tidak dapat tempat se-strategis 2011. Agak di tengah, sehingga Ekspresi Pandji samar-samar terlihatnya, perlu ekstra keras karena terhalang orang di depan saya. Secara penampilan, ada peningkatan yang luar biasa dari 2011. Pandji seperti mengajak kami –penontonnya – mendengarkan ceritanya, mulai dari keresahan Padji karena sampai sekarang, dari sekian banyak hal yang sudah dilakukan, tapi yang masih diingat sebagian orang ketika bertemu dengannya adalah Kena Deh, padahal acaranya sendiri sudah lama selesai. Lalu ketika Pandji bercerita soal Dipo. Sumpah, bit-bit soal Dipo ini lucunya keterlaluan. Gak nyangka aja Dipo bisa punya kelakuan se-random itu. Juga ketika Pandji bercerita bagiamana bangsa ini sejak dulu kala adalah bangsa yang gemar pencitran, maka jangan heran kalau presidennya sekarang dikit-dikit pencitraan. Selain itu materi penyanyi café yang ‘memperkosa’ lagu LOVE dengan asal-asalan, pronouncation yang acak kadut, tentu materi ini benar adanya. Tidak susah menemukan penyanyi café model begini, lalu materi soal Bahasa Inggris yang penting pede. Ada salah kaprah yang coba disinggung Pandji dalam bahasan materi tersebut. Selain itu materi yang menggelitik pemikiran saya adalah ketika Pandji menyinggung soal FPI, “FPI itu ga usah di bubarin, biar ngasih contoh kalau gak punya pendidikan ya jadinya kaya gitu,”. Overall, ini adalah penampilan terbaik Pandji selama saya mengikuti perjalanan dia dalam dunia stand up comedy. Tenang, penguasaan panggung dan audience yang lebih baik dari 2011, pembawaan materi yang seperti orang bercerita, membawa penonton seakan masuk ke dalam materi-materinya. Termasuk ketika ia me-riffing penonton yang hadir ketika itu, benar-benar memecah tawa di dalam Museum Nasional. Pandji mengakhir Merdeka Dalam Bercanda malam itu dengan Standing Ovation dari kami semua, penonton yang hadir saat itu. Saya hampir menitikkan air mata ketika Pandji menunduk, sebagai tanda terimakasihnya kepada kami semua yang hadir malam itu. Dalam hati saya berkata Terimakasih karena telah memberikan pertunjukkan yang lebih dari luar biasa. Kalau ada kalimat di atas luar biasa mungkin saya akan menggunakan kalimat tersebut untuk mengungkapkan penampilannya malam itu. Disitu saya melihat Pandji begini karena kerja keras. Dari situ juga saya bertekad akan selalu kerja keras untuk mewujudkan apa yang saya cita-citakan. Pandji memberi pelajaran dari setiap karya nya, termasuk perjalanan dia di dunia standup comedy.

One thought on “Review BalasDi18 / Stand-Up Comedy”

  1. Desi! Saya baca tulisan kamu sambil senyam senyum sendiri, apalagi Pandji, pasti lebar bener senyumnya. Keren!

Comments are closed.