Siapa yang mau follow mereka?

Ketika DKI Jakarta dan Palembang jadi tuan rumah bersama SEA games, sempat ada keramaian kecil.

Tidak sempat jadi berita heboh tapi sempat mendapatkan perhatian sebagian masyarakat Indonesia. Yaitu ketika sejumlah anak sekolah ketauan dibayar untuk mendukung Negara lain.

Banyak yang terkejut dan marah karena merasa itu tidak pantas dan memalukan.

Alangkah lucunya mengingat kita diam diam saja nonton acara musik di TV sementara penontonnya dibayar untuk mendukung sebuah band dengan berjoged dan bergoyang karena mereka memang tidak cukup kenal band band yang beraksi untuk bisa menyanyikan lagu mereka.

Tujuan PSK (pekerja studio komersil) dan pendukung bayaran di SEA games menurut saya sama, supaya terkesan seru dan ramai (terutama di TV). Yang menarik adalah, masih ada di antara masyarakat Indonesia yang tidak tahu bahwa penonton di acara acara musik itu sesungguhnya dibayar.

Banyak yang bahkan tidak tahu acara “reality show” di TV itu tidak benar benar “real”.

Surprise!

 

Hari ini, twitter juga menyimpan fakta tersendiri. Ada beberapa orang di twitter yang dibayar untuk ngetweet pesan tertentu. Lazim disebut “tweet berbayar”.

Ini adalah cara merk milik perusahaan perusahaan tertentu beriklan di twitter. Misalnya merk sepatu A ingin beriklan di twitter maka biasanya mereka mencari orang yang citranya cocok dengan merk sepatu tersebut atau mencari orang dengan followers yang banyak, orang orang ini biasanya disebut “influencer”. Perusahaan lalu membayar influencer tadi untuk ngetweet iklan mereka dengan bahasa masing masing influencer.

 

Praktek ini sangat umum di seluruh dunia, dan sangat umum di Indonesia. Seumum iklan di TV , seumum iklan di Koran, seumum iklan di radio, seumum iklan yang ada di media apapun termasuk di social media.

Saya sendiri sering menerima pekerjaan tweet berbayar ini. Saya selalu enggan dengan yang hard sell alias jorjoran ngiklan, dan saya lebih senang dengan yang soft sell, yang tidak terlalu “jualan banget” dan tentunya yang menurut saya produknyapun saya sukai. I will not promote products I don’t like or I don’t believe in. Coz that would be lying.

 

Tweet berbayar ini, prakteknya mulai melebar. Mulai banyak akun akun anonym / pseudonym yang dibayar untuk mengarahkan opini public. Saya tahu persis fakta ini karena beberapa, saya kenal dekat.

Dibalik identitas yang tidak jelas dan citra yang dibuat buat (misalnya jadi intel, dll) mereka melemparkan tweet tweet kontroversial untuk menggeser sebuah opini, mengarahkan opini bahkan mengalihkan opini.

Sialnya, pengguna twitter termakan.

Kini, lebih melebar lagi penggunaan tweet berbayar. Dengan modal dana yang luar biasa besar mulailah para calon kepala daerah membayar influencer untuk berkampanye. Mereka ngetweet prestasi, ngetweet pembelaan, dan beberapa bahkan ngetweet serangan.

Beberapa pelakunya bahkan teman saya sendiri, yang saya tahu persis bahkan tidak akan memilih orang yang mereka “dukung” di twitter. Istilahnya Sammy @notaslimboy: Ambil uangnya, jangan pilih orangnya” . Lucu memang, mendukung karena dibayar. Bukan mendukung karena percaya.

Bagi saya ini masalah integritas: Di dunia maya bicara A, di dunia nyata bicara B. Tidak punya integritas. Di twitter orang tanpa integritas itu sangat umum. Biasanya di twitter mencela dan menghina saya, pas ketemu malah minta foto bareng.

Tapi saya belajar untuk tidak menilai cara orang cari penghasilan, kalau itu pilihan mereka ya silakan saja

Toh saya sendiri, juga melakukan tweet berbayar untuk perusahaan.

 

Masalah mulai muncul bagi saya (dan mulai menyebalkan) adalah ketika orang pikir tweet dukungan tulus saya adalah tweet berbayar. Seperti suatu kali saya pernah komplen di twitter mengenai Pizza Hut karena kirimannya tidak sesuai dengan pesanan saya. Mungkin ada pihak Pizza Hut yang baca, 15 menit kemudian, mereka mengirimkan pesanan yang benar dan diberikan gratis untuk saya. Atas dasar etika, maka saya juga ngetweet usaha mereka untuk memperbaiki kesalahan mereka.

Saya rasa cukup adil, kalau saya ngetweet ketika mereka berbuat salah harusnya saya ngetweet ketika mereka berbuat benar.

Sialnya, rangkaian tweet tadi disangka followers adalah tweet berbayar.

 

Bahkan tweet dukungan saya terhadap Faisal Basri, dianggap merupakan tweet berbayar. Padahal dukungan saya terhadap Faisal Basri adalah bagian dari keyakinan saya. Ini sebuah gerakan. Ini sebuah harapan. I don’t care if people say we don’t have a chance to win. Im not a glory hunter. I do this because I believe it’s the right thing to do.

 

Lama saya berpikir, bagaimana saya bisa memperbaiki keadaan yang mengganggu ini

 

Tiba tiba, saya melihat @alandakariza ngetweet dengan tanda pagar (tagar) #SPON

 

Saya hubungin Alanda via whatsapp dan bertanya apakah tagar tersebut menandakan bahwa tweet tersebut berbayar, dia membenarkan. Tercerahkan otak dan hati saya.

 

Sekarang saya tahu apa yang harus saya lakukan.

 

Mulai sekarang, saya akan beri tahu followers saya, mana tweet yang berbayar dengan membubuhkan tagar #SPON yang berarti SPONSORED TWEET

 

Bahkan, saya berharap semua influencer melakukan hal yang sama (saya berharap, bukan memaksa) karena bagi saya, ini adil. Its fair. Secara etika, ini benar. Bahkan di Amerika dan Eropa yang notabene memulai trend tweet berbayar sudah umum menambahkan tagar #SPON dalam tweet berbayar.

Alanda pernah berdiskusi dengan dosen yang praktisi etika dan beliau berkata kalau tidak ada penanda / disclaimer bahwa ini tweet berbayar, bahwa kita dibayar untuk ngetweet iklan ini, maka sesungguhnya tidak etis kepada para followers. Followers bisa saja tidak tahu mana yang opini dan mana yang kita dibayar untuk tweet itu. Lha wong banyak yang tidak tahu penonton Dahsyat itu dibayar dan reality show itu nggak real.

Walaupun mungkin opini kita sejalan dengan opini yang dibayarkan kepada kita tapi tetap saja lebih adil kalau kita terang terangan bahwa ini iklan.

Contoh: Hati saya selalu untuk League. Sepatu olahraga merk Indonesia. Saya rela mempromosikan mereka tanpa dibayar. Tapi ketika saya dibayar untuk mengiklankan mereka, maka followers saya berhak untuk tahu. Walaupun mereka tahu saya pribadi memang mendukung produk tersebut.

 

Followers saya, memfollow saya karena mereka percaya kepada saya. Kepada ucapan saya. Kepada tweet saya.

Sudah saatnya saya membayar kepercayaan mereka dengan melakukan yang benar.

Tentu ada resiko pekerjaan tweet berbayar saya berkurang. Banyak brand yang tidak mau saya membubuhkan tagar #SPON pada tweet saya. Mungkin mereka lebih ingin saya berbohong. Mereka bilang “Bukan bohong, tapi nggak bilang bilang”. But we all know its the same thing 🙂

Mereka kuatir, efeknya akan berkurang kalau orang tahu itu iklan, saya jawab berarti ada yang salah dengan produk dan pesan anda ketika anda harus bersembunyi dibalik setiap influencer.

Resikonya kan di tangan para influencer, bukan di tangan brand. Ambil contoh kasus “Misteri Ernest Prakasa dan jebakan ruang sempit”

Yang sempat tercoreng namanya kan Ernest, bukan brand yang membayar mereka. Untung Ernest bijak menyikapi ini sehingga karirnya bukan hanya hidup tapi melaju dengan tur Merem Meleknya.

Dalam konteks politik, bayangkan influencer para kepala daerah. Resiko terhadap influencer besar sementara atasan mereka yang membayar mereka, ongkang ongkang kaki karena tidak kena resiko yang prajurit mereka alami seperti sindiran, cemoohan, karena dukungan terhadap kepala daerah harusnya merupakan sebuah gerakan berdasarkan kepercayaan bukan perkataan berdasarkan bayaran.

Truly a case of Lions for Lambs.

A bit unfair. But hey, when you entered politics, fairness goes out the window

 

Maka saya sudah katakan pada manajemen untuk setiap tawaran tweet berbayar, saya akan bubuhkan tagar #SPON. Mungkin pekerjaan berkurang, tapi saya tidak kuatir. Saya sejak lama menolak pekerjaan dari perusahaan rokok. Saya kehilangan potensi pemasukan uang yang luar biasa besar, saya kehilangan kesempatan manggung di Java Soulnation Festival, acara musik favorit saya, dan kesempatan untuk kerja di acara Russel Peters. Sebesar itu saja saya bisa jalankan, apalagi urusan tweet berbayar.

 

Lagipula, kalau orang orang mulai lazim menambahkan tagar #SPON pada tweet berbayar mereka, maka dalam praktek politik akan mulai terlihat siapa yang dibayar untuk mendukung kepala daerah tertentu dan siapa yang tulus karena percaya.

Siapa akun pseudonym yang dibayar untuk menyerang lawan politik tertentu dan siapa yang menyerang karena mereka percaya kritik perlu dilancarkan. Dan kalau mereka tidak membubuhkan tagar #SPON dalam tweet berbayar mereka, maka kita tahu, secara etika mereka salah.

 

Kalau ada orang yang tidak beretika, siapa yang mau berkawan dengan mereka?

Siapa yang mau follow mereka?

 

 

11 thoughts on “Siapa yang mau follow mereka?”

  1. yes, money is honey (account)
    but, advertise suck (followers said :p)

    keep your style broh!! 🙂

  2. Dalam marketing atau praktek sekarang, banyak campaign2 yang perlu proses sehingga orang awalnya tidak tahu dulu kalau itu tweet berbayar bang, kalau udah tau duluan proses campaign jadi gak efektif.

    Contoh nyata: tweet bang Pandji belakangan tentang world cup isinya softselling dulu, kemudian baru nanti dikasih tau tweet Bang Pandji tentang apa. Tapi karena abang belum apa-apa udah kasih tanda *SPON* orang sudah tahu kalau ada sesuatu di tweet itu, rangkaian tweet yang sudah disusun untuk jangka panjang pun hasilnya akan kurang maksimal.

    Singkat kata: Ada praktek-praktek marketing yang orang memang tidak masalah tahu itu iklan.
    Ada juga praktek-praktek marketing yang perlu proses, dan agar hasilnya maksimal tidak bisa langsung ketauan kalau itu iklan.

    Sekian :p

  3. Oh begitu, i see now.

    Thanks for your nice article.

    Baru tahu tentang tweet berbayar & tanda pagar juga (#SPON)

    🙂

  4. Top bang tulisannya!!
    Tapi menurut gue sebenarnya masyarakat udah sadar perbedaan twet berbayar ato gak. Apalagi orang yg ng-tweet adalah orang yg dikenal banyak, apalagi brand yg sudah besar. Adanya tagar hanya untuk petunjuk untuk orang awam. (‾⌣‾)♉ damai!!

    1. @Tiwi: Anonim itu artinya tanpa nama. Yg bener adalah Pseudonim alias Nama Palsu. Akun2 kyk Triomacan dll itu Pseudonim krn ada namanya tp bukan nama aslinya

  5. well said bro… di koran juga ada “Advertorial” alias “Editorial yang juga Advertensi” alias IKLAN

  6. Ya Allah, tulus sekali bang Pandji. Semoga Tuhan selalu memberkati dan menambah rizki Halal. Saya jadi mengerti etika IKLAN di situs jejaring sosial. Terima kasih banyak ya.

Comments are closed.