Terlambat untuk menyelamatkan Indonesia.

“AYOLAH! KITA TURUN KE JALAN!” Ujar seseorang di twitter yang ditanggapi dingin oleh orang lain yang sedang membawa tweet tersebut di bawah terik panas matahari, di pinggir jalan, menunggu angkutan… “Elo aje turun ke jalan dari mobil lo yang dingin. Kita mah tiap hari di jalanan” katanya dalam hati. Sambil melanjutkan baca baca tweet di lini masa twitternya.

Situasi tadi menggambarkan dua cara pandang rakyat Indonesia terhadap ajakan untuk demo menyikapi keadaan politik Indonesia saat ini.
Dua-duanya benar & dua-duanya juga salah pada saat yang bersamaan.

Yang ajak demo benar, ada sesuatu yang harus rakyat lakukan bersama untuk menyikapi kondisi politik yang busuk ini. Rakyat direbut hak untuk menentukan kepala daerahnya, lalu kini rakyat diminta untuk terima saja ketika barisan pimpinan DPR diisi oleh orang orang yang jadi langganan pemeriksaan KPK. Fahri Hamzah & Fadlizon adalah 2 orang terakhir yang saya harapkan untuk jadi pimpinan DPR. Tapi hari ini begitulah keadaaannya.

Yang tadi menyindir & menolak demo salah, karena “Turun ke jalan” kali ini bermakna lebih dari hanya sekadar hadir di jalan raya. Turun ke jalan adalah pernyataan sikap. 2 orang lompat ke sungai pada saat yang bersamaan bisa jadi untuk 2 hal yang berbeda. Yang satu bisa saja sedang ingin berendam, yang satu lagi bisa saja sedang berusaha menyelamatkan orang yang mau tenggelam. Kegiatannya serupa, tapi tujuannya membedakan.

Tapi di sisi lain, yang menolak demo juga benar, sindirannya beralasan. Dia tau bahwa kebanyakan orang di twitter tidak akan turun ke jalan. Click Activism alias aktivisme bermodal ngeklik sesuatu di dunia maya membuat kebanyakan orang merasa yang mereka lakukan sudah cukup. Padahal belum tentu.

Yang mengajak demo juga bisa salah, kalau dia turun ke jalan hanya karena dia merasa perlu turun ke jalan. Dia salah kalau turun ke jalan karena “Malu sama Hongkong! Liat mereka aja turun ke jalan, masak kita cuma main hashtag doang?”

Tidak perlu minder melihat warga Hongkong yang turun ke jalan. Yang Hongkong lakukan kemarin, sudah kita lakukan dulu di tahun 98.
Kita ga perlu mikir “Kok kita ga kayak Hongkong? Kok kita kalah sama Hongkong?”. Di kepala kita harusnya “Akhirnya, Hongkong berani juga kayak kita”

Kita pernah lebih hebat dari mereka. Mereka mah hanya ngumpul-ngumpul. Kita menduduki gedung DPR. LITERALLY.

IMG_7324.JPG

Mereka baru disemprot gas air mata saja hebohnya luar biasa. Karena seumur-umur, baru kemarin mereka dihajar pakai gas air mata.
Kita mah dihajar oleh peluru tajam. Aktivis aktivis kita tewas & kita masih belum mampu menemukan dalang utamanya & mengambil pertanggung jawaban pelakunya.
Itupun, dengan maut sebagai ancaman, kita tetap mampu ubah keadaan.
We did it before, we can always do it again.
Ga perlu kuatir.

Kalau anda bertanya-tanya kenapa rakyat Indonesia belum tergerak untuk turun ke jalan?
Kok tumben ga ada serangkaian aksi massa dari para mahasiswa?

Jawabannya adalah karena Indonesia belum seluruhnya merasa terdesak.

Sekadar mengingatkan kepada anda yang lupa atau anda yang terlalu muda untuk ingat bahkan mungkin belum lahir, di tahun 98 seluruh lapisan masyarakat melakukan perlawanan karena semuanya terdesak krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Semua, dari yang miskin sampai yang kaya, sama sama merasakan dampak dari punya pemimpin politik yang bajingan

Hari ini, kebanyakan rakyat Indonesia masih bisa merasakan hidup enak & selama semuanya belum benar benar merasakan efek buruk dari punya pemimpin busuk, maka tidak akan ada aksi massa secara kolektif sebangsa & se-Tanah Air.

Pokoknya kalau remaja laki laki Indonesia masih lebih memilih untuk mengangkat AK-47 demi membela Cherrybelle idolanya, jangan harap mereka akan turun ke jalan untuk melawan pemerintahnya.

IMG_7260.JPG

Nanti, ketika dia tidak lagi bisa minta uang ke orang tuanya untuk nonton Cherrybelle karena orang tuanya terlilit krisis keuangan, barulah remaja remaja ini turun ke jalan.

Atau nanti, ketika krisis ekonomi membuat harga konser Cherrybelle membumbung tinggi hingga dia tidak mampu beli & tidak bisa menonton, barulah AK-47 tadi diarahkan ke Senayan.

Atan nanti, ketika Cherrybelle dilarang pemerintah karena dianggap infiltrasi budaya asing, baru anak anak remaja ini mau merapatkan barisan.

Tapi sebelum itu terjadi, tidak akan ada revolusi.

Lagipula, revolusi atau setidaknya demonstrasi besar-besaran selalu memakan korban.
Nyawa & kondisi perekomian bangsa.
Setiap kali ada revolusi yang jadi korban adalah perekonomian.
Saya ragu bangsa Indonesia siap kehilangan kemapanan ekonomi yang saat ini kita rasakan. Siapa yang mau hidup susah? Gagal dong segala upaya untuk membangun Indonesia yang bisa jadi landasan pacu terbaik bagi anak anak kita?
Masak usaha kita membangun Indonesia selama ini sia sia? Padahal hari ini kita sudah jadi kekuatan ekonomi yang luar biasa.
Begitu luar biasanya ketika krisis ekonomi dunia di 2008 terjadi, kita tak terdampak. Bahkan saking kuatnya ekonomi kita, artis artis luar negri mengais rejeki di negara kita karena di negara mereka tidak ada yg mampu beli tiket mereka. Tanya saja kepada band yang bernama “Adam Levine dan kawan kawan” yang di Indonesia tiketnya habis dalam 1 hari sementara di Amerika yang harga tiketnya lebih murah dari harga Indonesia masih harus didiskon supaya laku.
Inikah yang mau kita korbankan?
Kalau kita mau, layakkah pengorbanan tersebut?

Lagipula, level perlawanan kita beda lho dengan Hongkong. Mereka baru dilawan pakai gas air mata & mungkin baru sekarang akan dihajar peluru tajam kalau demonstran ngotot menduduki gedung pemerintahan.
Kita sudah dihajar peluru tajam dari dulu. Korban yang kemarin saja pelakunya masih belum ditangkap. Mau kita menambah barisan daftar korban?

Kalaupun kita sepakat mau, berjuang dengan tahu bahwa nyawa akan jadi taruhannya, nyawa nyawa itu harus berkorban dengan alasan yang kuat.
Kalau kita mau maju, apa yang ingin kita perjuangkan?
Apa narasi kita?
Jangan hanya panas kepala saja, jangan kalah cerdik dengan lawan kita.
Pikirkan dengan matang.
Strategize.

Jangan demo hanya karena harus demo.
Bukan kegiatannya yang penting, tapi tujuannya.

Saya rasa, semua mau kok turun ke jalan. Semua mau ikut berjuang.
Tak perlu ragukan patriotisme bangsa Indonesia. Dari dulu sampai sekarang, tidak terkikis & tidak berubah.

Tapi kita perlu sepakati bersama, apa tujuan kita.

Untuk itu, kita harus mulai bersatu. Sebelum terlalu terlambat untuk menyelamatkan Indonesia.

6 thoughts on “Terlambat untuk menyelamatkan Indonesia.”

  1. Boleh jadi sejalan dengan budaya menduduk khusuk dalam gadget.. Rakyat memang makin melek politik, tp sayangnya medan tempurnya cuma sosmed, bahkan cuma modal share link.. Sy pikir orang kita ini pasti gila bgt sama internet, eeh tp gk rame2 amat tuh bgitu intermet di sini terancam punah..
    Entaah bang, sy pun heran.. 🙁

  2. Maaf om panji aku setuju. Tapi utk masalah ‘tumben kenapa belum ada mahasiswa yg turun kejalan?’ Sebenernya udah banyak kok kami mahasiswa dari kemarin turun ke jalan melakukan aksi penolakan, tapi mungkin tidak terlalu terekspose:)

  3. Duh, baru saja kemarin kena omel Ka Puskesmas, “calon dokter (saya koas) kok ikut demo”, jadi bikin nyali ciut.
    Saya setuju sama Bang Pandji. Tunggu terdesak memang motivasi terkuat yang memaksa kita bertindak.
    Izin share ya bang 🙂

  4. Malam ini aku nonton 11 12, mulai kelihatan wajah aslimu, sayang sekali, kata-katamu mulai menghina negaramu, saudaramu, coba simak : kamu cerita nonton ufc malaysia lawan indonesia dari nama atlit, malay michael indonesia ngabdi, kamu bahas si ngabdi, kamu ngerasa nggak sih kalau nada bicaramu mulai merendahkan? menghina? bilang orang gila juga. KAMU LAMA-LAMA GAK MUTU GAK LUCU LELUCONMU BUNG Sayang sekali

Comments are closed.